Mendongengi
Presiden Jokowi
M Subhan SD ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS,
01 November 2014
PASAR Kranggan di Yogyakarta tiba-tiba gempar. Seorang pedagang
beras jatuh pingsan. Padahal, baru saja si pedagang memarahi sopir mobil jip
yang menurunkan karung-karung beras miliknya dan langsung pergi. Rupanya si
sopir enggan menerima ongkos mobil yang ditumpanginya dari arah Kaliurang
itu. Pedagang beras itu ngomel-ngomel, mengira ongkosnya terlalu sedikit.
Seorang polisi menghampiri, ”Apakah Mbakyu tahu, siapa sopir tadi?” Masih
emosional, bakul beras itu menjawab cuek, ”Sopir ya sopir. Tak perlu tahu
namanya. Memang sopir satu itu agak aneh.” ”Kalau Mbakyu belum tahu,” ujar
pak polisi, ”Sopir tadi adalah Sultan Hamengku Buwono IX, raja di
Ngayogyakarta ini.” Pedagang beras itu tak bersuara lagi. Tubuhnya lunglai
terjerembab di tanah.
Kisah 68 tahun silam yang dituturkan SK Trimurti, wartawati dan
tokoh pergerakan yang menjadi Menteri Perburuhan (1947-1948), dalam buku Tahta untuk Rakyat (1982) itu saya
baca ulang saat menyaksikan pelantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan
Wapres Jusuf Kalla (JK) pada 20 Oktober silam. Niatnya, agar kisah itu bisa
dijadikan sebagai alarm pengingat bagi Jokowi-JK saat memulai memimpin bangsa
ini yang ditandai dengan penyambutan pesta rakyat besar-besaran.
Seorang pemimpin adalah mereka yang sudah selesai dengan
tetek-bengek urusan pribadi, keluarga, kelompok, partai. Kehebatan pemimpin
bukan saat berpidato berapi-api atau saat bertitah, melainkan saat melayani
rakyat, rame ing gawe, sepi ing pamrih
(banyak bekerja, tanpa memikirkan imbalan). Pemimpin yang baik mengutamakan
pengabdian (bakti) dan kebajikan (virtue),
bukan puja-puji (praise).
Khalifah Umar bin Katthab (634-644) gemetar ketika dianggap
tidak peduli rakyat. Sepulang dari negeri Syam (kira-kira wilayah Suriah),
secara incognito khalifah mampir ke
gubuk seorang nenek di pinggiran Madinah. Saat ditanya tentang pemerintahan
khalifah, nenek itu bilang khalifah tidak perlu dibalas dengan kebaikan.
Sebab, sejak memerintah, khalifah tidak pernah memberinya uang sedirham pun.
Jika khalifah tidak tahu? ”Demi Tuhan,
aku tidak mengira ada seseorang yang bertanggung jawab terhadap orang lain,
tapi ia tidak tahu keadaan mereka,” jawab si nenek. Khalifah masygul, dan
akhirnya menebus ”kesalahan” dengan memberikan uang kepada nenek tersebut.
Sayang, di negeri ini banyak pemimpin, bukan saja tidak amanah,
tetapi malah merampok uang rakyat. Hingga September 2014, ada 300-an kepala
daerah, 3.600-an anggota parlemen, bahkan 48 anggota parlemen periode
2014-2019 terjerat korupsi. Parahnya, DPR masih terbelah, meributkan
kekuasaan di alat kelengkapan DPR, antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan
Koalisi Indonesia Hebat (KIH), buntut rivalitas pilpres. Hingga ada insiden
meja terjungkal yang sangat memalukan. Tetapi, ”aksi sapu bersih kursi” oleh
KMP dan pimpinan DPR yang tidak menaungi semua kubu lebih memalukan lagi.
Kekuasaan semacam itu hanya sebatas wewenang (authority), tetapi tidak absah (legitimate) sesuai mandat rakyat di pemilu. Sampai-sampai ada
wacana pimpinan DPR tandingan. Di manakah kewarasan berpolitik?
Sebetulnya komposisi legislatif versus eksekutif sangat dinamis.
Ada perimbangan kekuatan. Semestinya perpolitikan ke depan lebih
menggairahkan. Namun, jika semangatnya perseteruan permanen dan balas dendam,
panggung politik akan gaduh tanpa henti. Lalu, apa makna pertemuan Jokowi,
Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto? Mungkin inilah era terkeras
politik ganjal-mengganjal. Korbannya sudah pasti rakyat. Rasanya malu dengan
pemimpin negara lain, yang bukan saja memerangi korupsi, tetapi justru juga
memberikan hartanya untuk rakyat. Ketika APBN Ekuador defisit, Presiden
Rafael Correa memotong setengah gajinya. Kemiskinan juga tidak membuat
Presiden Bolivia Evo Morales kalap dan lupa diri. Saat menjadi presiden,
mulai Januari 2006, ia justru mengumumkan pemotongan setengah gajinya dan
dialokasikan untuk menambah tenaga guru dan dokter.
Dengan adegan politik yang menyebalkan, Presiden Jokowi tidak
perlu resah, termasuk apabila dicerca. Keresahan hanya akan menguras energi.
Fokus dan bergeraklah lebih cepat. ”Kecepatan
merupakan inti sebuah perang,” kata ahli strategi perang Sun Tzu (544-496
SM), dan ”Kehebatan tertinggi dalam
menghancurkan perlawanan musuh justru tanpa pertempuran.”
Ibaratnya, biarkan lawan-lawan politik yang akan kerepotan
mengejar Anda. Ingat, penduduk yang mesti diurus mencapai lebih 240 juta
orang (ada 1.128 suku), termasuk 28,28 juta orang miskin dan 3,6 juta orang
buta aksara. Energi blusukan akan lebih besar mengingat luas daratan negeri
ini 1,9 juta kilometer persegi (km2), luas lautan 5,8 juta km2, ada 13.466
pulau, garis pantai 104.000 km, dan zona ekonomi eksklusif 2,98 juta km2.
Dari hutan paru-paru dunia seluas 130 juta hektar, sekitar 60 persennya
rusak.
Dalam indeks kebebasan (Freedom
House, 2014), Indonesia menurun dari negara free menjadi partly free
karena pelarangan organisasi dan kekerasan. Padahal, negara ini berdasarkan
hukum (rechstaat), bukan kekuasaan
(machstaat), yang artinya semua
orang berkedudukan sama di muka hukum (equality
before the law).
Tetapi, dongeng hukum di negeri ini masih aneh: tajam ke bawah,
majal ke atas. Pada tahun 2009, misalnya, nenek Minah (55), asal Banyumas,
divonis 1,5 tahun penjara karena mencuri tiga buah kakao. Bandingkan dengan
hukuman koruptor rata-rata 1-2 tahun (2010). Di negeri ini terlalu banyak
orang melek hukum, tapi tidak dipatuhi untuk tertib sosial. Maka, revolusi
mental harus benar-benar bergelora. Inilah saatnya menjadi presiden merdeka,
bukan presiden boneka seperti tudingan lawan-lawan politik, yang sebetulnya
juga punya patron. Maaf, di sini saya mesti berhenti mendongeng. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar