Pembangunan
Manusia
Irwanto ; Guru
Besar Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya;
Ko-direktur Pusat Kajian Perlindungan Anak FISIP UI
|
KOMPAS,
01 November 2014
MENYAMBUT diumumkannya Kabinet Kerja awal pekan ini, hiruk pikuk
media lebih terkonsentrasi pada menteri-menteri di bidang politik, hukum, dan
hak asasi manusia serta ekonomi/industri. Hal ini wajar karena diasumsikan
bahwa driver pembangunan adalah stabilitas politik dan kinerja semua pemain
kunci di sektor ekonomi dan industri.
Sektor-sektor lain, seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan
sosial, pemuda, dan olahraga, adalah variabel ”ikutan”—akan ikut membaik jika
ekonomi dan industri perform sehingga terjadi semacam dampak limpahan (spill-over effect) ke sektor
lain. Banyak orang lupa, asumsi spill-over effect dari sektor
ekonomi/industri hanya mitos yang telah dipatahkan sejarah modern
negara-negara miskin yang menjadi kapitalis baru (India) dan negara-negara
komunis yang mulai unjuk gigi (Rusia dan Eropa Timur, Tiongkok). Mereka telah
menunjukkan bahwa investasi yang serius di sektor pembangunan manusia,
khususnya kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial yang dikelola
sungguh-sungguh (militan) justru mampu menjadi driver ekonomi dan politik.
Mereka sadar betul investasi di bidang ekonomi dan industri
penting. Namun, mereka juga sangat menyadari, pembangunan ekonomi hanya akan
dapat dipertahankan, bahkan dikembangkan lebih lanjut, jika sumber daya
manusia-nya siap! Menjaga stabilitas politik juga penting, tetapi stabilitas
politik hanya terwujud ketika kesenjangan karena ketidakmerataan pembangunan
(inequality) diatasi sejak sedini
mungkin. Kesenjangan pembangunan hanya dapat diatasi jika kesenjangan
kualitas SDM dapat diperkecil.
Pembangunan ekonomi yang tidak diikat (dibangun linkage) kuat dengan pembangunan
kualitas SDM akan menjadi otomaton yang bersifat self-serving. Ini karena apa pun nilai tambah yang diperoleh dari
proses ekonomi akan cenderung dimasukkan ke dalam pipa ekonomi lagi, baik
sebagai energi tambahan untuk mengeruk keuntungan yang lebih besar maupun
untuk mengatasi overheating pada mekanismenya. Alhasil, manusia (SDM) di
sejumlah wilayah yang belum dianggap pantas untuk pembangunan ekonomi berdaya
saing ataupun SDM yang menghidupi sektor-sektor pelayanan nonekonomi harus
tetap terseok-seok sambil menunggu kucuran spill-over effect. Akibatnya,
mereka harus merangkul prinsip-prinsip ekonomi untuk bertahan hidup, seperti
yang terjadi di sektor kesehatan dan pendidikan di Indonesia. Kenyataan pahit
yang harus kita kunyah sampai hari ini.
Sektor kesehatan dan pendidikan adalah sektor pelayanan publik
yang didasarkan atas hak-hak dasar manusia. Karena investasi yang kecil
selama puluhan tahun sejak kemerdekaan, kedua sektor ini menggeliat dan
melihat peluang menjadi pemain bisnis di sektor industri. Banyak yang
berhasil dengan menetapkan ongkos yang tinggi bagi yang dapat membayar. Pada
saat yang sama jutaan anak dan orang yang butuh layanan kesehatan dan pendidikan
harus menyerah putus sekolah atau ke layanan alternatif karena kedua sektor
ini telah kehilangan jati dirinya. Bahkan ketika dana di sektor pendidikan
sudah ditingkatkan sesuai dengan undang-undang (20 persen), sektor ini seolah
telah kehilangan akal dan daya inovatifnya untuk mengatur alokasi keuangan
dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan mengatasi kesenjangan yang serius
antarwilayah di Nusantara.
Belum terlambat
Saat ini Koefisien Gini di Indonesia sudah melampaui 0,41 dan
kemungkinan akan terus meningkat (BPS, 2013). Kesenjangan ini dirasakan bukan
hanya di wilayah pendapatan, melainkan juga di beragam sektor lain (akses
untuk memperoleh pekerjaan, tingkat pendidikan, akses untuk makanan bergizi
dan kesehatan dasar, dan lain-lain). Selain itu, kesenjangan terjadi antara
perkotaan dan perdesaan serta antara Indonesia barat dan timur. Kita dapat
berasumsi dan mencari bukti-bukti empiris bahwa kesenjangan tersebut terjadi
karena bias geopolitik-ekonomi pembangunan. Namun, pada kenyataannya kesenjangan
tersebut terjadi karena rendahnya investasi di sektor pembangunan manusia
secara menyeluruh yang diperparah oleh bias tersebut.
Menghadapi beragam pilihan pembangunan jangka panjang, opsi yang
dimiliki Kabinet Kerja tidak banyak. Pertama, membiarkan investasi
pembangunan manusia seperti biasanya (tidak ada koreksi APBN yang signifikan
untuk mendorong pembangunan manusia yang lebih agresif), dikerjakan seperti
biasanya, dan hasilnya tidak mengubah kesenjangan yang ada. Bisa jadi
memperparah dan akhirnya negara ini terpecah belah.
Kedua, tak melakukan koreksi signifikan terhadap APBN, tetapi
mulai membangun mekanisme komunikasi dan kerja sama antara sektor
ekonomi-industri dan sektor pembangunan manusia sehingga setiap hasil yang
diperoleh sektor ekonomi dipastikan ada investasi di sektor pembangunan SDM.
Demikian juga sektor SDM dengan dana yang ada merombak cara berpikir dan
bekerja sehingga SDM unggulan sudah dirancang sejak dini untuk mendukung
sektor ekonomi/industri.
Jika sektor ekonomi/industri dapat memberdayakan pendidikan
keterampilan, politeknik, program jembatan dari sekolah ke dunia kerja
(school to work program), pendidikan atau pelatihan nonformal, dan pembukaan
kesempatan bekerja, sektor pembangunan SDM dapat melakukan investasi dan
relokasi anggaran untuk mengatasi kesenjangan antarwilayah. Sektor pendidikan
memastikan bahwa alokasi anggaran mampu menjawab kesenjangan kualitas
pendidikan—termasuk kualitas guru, ketersediaan laboratorium, alat belajar
mengajar di sejumlah wilayah yang masih tertinggal dalam indeks pembangunan
manusia.
Sektor kesehatan memastikan layanan dasar berkualitas yang
terjangkau, baik secara preventif (ASI, pemenuhan gizi dan vitamin, maupun
imunisasi), deteksi dan pengobatan dini, maupun pengobatan lanjut yang
didukung sistem jaminan kesehatan (dan kerja) yang terpantau. Sektor
kesejahteraan sosial perlu memperkuat SDM profesionalnya untuk program
pemberdayaan dan melakukan demarjinalisasi populasi pemanfaat bantuan negara.
Sektor ini harus lebih inovatif dalam membangun mekanisme pelayanan sehingga
populasi yang paling miskin dan paling tidak terjangkau dapat dilayani dengan
baik dan akhirnya mampu berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja.
Komitmen dan kepemimpinan
Walau perubahan itu perlu, seperti dimandatkan Presiden, untuk
benar-benar berubah tidak mudah. Banyak risiko yang harus diambil jika
benar-benar berubah. Bagaimana kalau asumsi untuk berubah salah? Bagaimana
kalau sebagian masyarakat menolak? Apa risiko politik yang harus kami tanggung
dari perubahan? Oleh karena itu, Kabinet Kerja tidak sekadar membutuhkan
motivasi untuk bekerja, tetapi juga komitmen dan keberanian untuk mengambil
langkah yang tepat walau berisiko tinggi. Jika Kabinet Kerja juga percaya
bahwa pembangunan manusia adalah ”inti” dari pembangunan nasional, mereka
harus percaya diri, bekerja sama di dalam dan lintas sektor. Lebih lanjut,
mereka harus berani mengapitalisasi keterbatasan yang ada menjadi tantangan
performa kinerja mereka. Dalam era global yang makin sulit, kita sulit untuk
membangun Tim Para Juara. Meskipun demikian, kenyataan menunjukkan, lebih
penting membangun tim yang dapat bekerja sama untuk menjadi juara
dibandingkan dengan Tim Para Juara yang belum tentu mampu bekerja sama
menjadi juara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar