Rabu, 12 November 2014

Mencari Uang Sampai Negeri Tiongkok

Mencari Uang Sampai Negeri Tiongkok

Shohib Masykur  ;  Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Global Business and Finance, School of Foreign Service, Georgetown University, AS
JAWA POS, 11 November 2014
                                                
                                                                                                                       


KONON, lima belas abad lalu, Nabi Muhammad bersabda: ’’Carilah ilmu sampai ke Negeri Tiongkok.’’ Sekarang, ungkapan itu mungkin perlu didaur ulang: carilah uang sampai ke Negeri Tiongkok. Presiden Jokowi ingin membangkitkan kembali identitas Indonesia sebagai negara maritim sehingga dibutuhkan dana tidak sedikit untuk membangun banyak pelabuhan dan menyediakan kapal. Lebih dari sebelumnya, Indonesia memerlukan investasi asing dalam jumlah yang sangat besar.

Tiongkok menjadi pilihan yang menarik karena beberapa hal. Pertama, negara itu memiliki sangat banyak uang yang perlu segera diinvestasikan. Sebuah media bisnis yang berbasis di Beijing, Caixin (25/6/2014), menyebutkan, pada 2014, total dana milik orang-orang kaya di Tiongkok (yaitu mereka yang memiliki kekayaan lebih dari USD 9,7 juta) mencapai USD 4,4 triliun. Dari jumlah itu, yang diinvestasikan di luar negeri hanya 5 persen. Mengingat pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang belakangan agak melambat, diprediksi proporsi investasi Tiongkok ke luar negeri akan meningkat dalam waktu dekat.

Belum lagi, negara tersebut memiliki sovereign wealth fund atau dana milik pemerintah hingga USD 575 miliar yang siap diinvestasikan. Benar bahwa tidak semua dana Tiongkok tersebut akan diinvestasikan secara langsung dalam bentuk foreign direct investment (FDI). Namun, bagaimanapun, jumlah itu sangatlah besar sehingga FDI-nya pun akan besar.

Selama ini, kebanyakan uang Tiongkok mengalir ke negara-negara Afrika, Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Timur Tengah. Menurut laporan CNN (27/8/2014), Agustus lalu, untuk kali pertama dalam sejarah AS kehabisan visa investor. Hal itu disebabkan terlalu banyaknya investor dari Tiongkok yang ingin masuk ke AS. Investasi Tiongkok di AS meningkat sangat pesat, dari USD 58 juta pada 2000 menjadi USD 14 miliar pada 2014 atau naik 241 kali lipat. Hal itu menjadi gambaran betapa tidak sabarnya uang Tiongkok untuk segera bisa diinvestasikan.

Berdasar data The American Enterprise Institute and The Heritage Foundation, selama periode 2005 hingga paro pertama 2014, Tiongkok telah menginvestasikan dana USD 870,4 miliar ke luar negeri. Dari jumlah itu, yang masuk ke Indonesia hanya USD 30,7 miliar atau 3,5 persen. Jika kita bisa meningkatkan proporsi investasi Tiongkok ke Indonesia, katakanlah dua kali lipat menjadi 7 persen, sangat banyak dana yang akan masuk ke Indonesia, terlebih mengingat tren investasi asing dari Tiongkok yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Alasan kedua, Tiongkok menjadi pilihan menarik karena memiliki pengalaman luas dalam membangun serta mengoperasikan pelabuhan-pelabuhan besar. Menurut World Shipping Council, tujuh di antara 10 pelabuhan tersibuk dengan volume perdagangan terbesar dunia berada di Tiongkok. Dengan pengalaman yang ekstensif dalam menangani pelabuhan itu, selain sebagai sumber investasi, Tiongkok bisa membagikan know-how-nya kepada Indonesia.

Ketiga, berurusan dengan investor Tiongkok relatif lebih mudah daripada berurusan dengan negara-negara maju. Tiongkok tidak mensyaratkan aspek-aspek di luar kepentingan ekonomi dan bisnis seperti politik atau HAM. Hal itu telah terbukti di negara-negara Afrika, yakni Tiongkok menanamkan banyak investasi tanpa memedulikan kondisi domestik di negara-negara tersebut.

Untuk menjalankan misi menarik masuk uang Tiongkok, pemerintah perlu bekerja keras mengerahkan semua lini serta menggandeng swasta. Para diplomat Indonesia sebagai garda depan perlu semakin agresif dan kreatif melakukan terobosan guna mengundang investor Tiongkok. Di dalam negeri, BKPM juga harus responsif dengan menggelar red carpet, alih-alih red tape, untuk investor Tiongkok yang ingin menanamkan uangnya. Jika perlu, BKPM bisa membuka kantor di perwakilan-perwakilan RI di Tiongkok. Tidak hanya di Beijing, tetapi juga di kota-kota lain yang potensial menjadi sumber investasi.

Sebagaimana setiap misi besar, tantangan pasti selalu ada. Demikian pula dalam misi ini. Tantangan pertama adalah adanya aturan di Tiongkok yang membatasi jumlah uang keluar maksimal USD 50.000 per orang per tahun. Aturan itu bisa mempersulit investor Tiongkok untuk menanamkan uangnya di Indonesia. Namun, sehubungan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok, belakangan aturan tersebut sudah agak dikendurkan.

Selain itu, ada berbagai cara yang bisa digunakan investor untuk tetap membawa uangnya ke luar negeri. Antara lain, mengirimkannya lebih dahulu ke Hongkong atau Makau yang tidak dikenai aturan pembatasan seperti di Tiongkok Daratan. Dari sana, barulah uang tersebut dikirim ke luar negeri. Hal itu juga turut menjadi alasan bagi BKPM untuk perlu membuka kantor perwakilan di kota-kota lain selain Beijing.

Tantangan lain adalah kualitas konstruksi bangunan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kualitas bangunan yang dibangun para investor Tiongkok kurang bagus. Majalah The Economist (20/4/2011) mencontohkan bagaimana sebuah rumah sakit di Angola yang dibangun investor Tiongkok mengalami retak di tembok hanya beberapa bulan setelah diresmikan secara besar-besaran. Di Zambia, jalan yang dibangun investor Tiongkok langsung rusak setelah diterpa hujan deras. Karena itu, quality control harus benar-benar diperhatikan dan dimasukkan dalam klausul kontrak dalam pembangunan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia.

Terakhir, tentu saja, adalah kompetisi dengan negara lain dalam menarik investor Tiongkok, terutama dengan negara-negara sekitar. Malaysia, misalnya, punya target menarik investasi Tiongkok USD 160 miliar pada 2017. Sementara itu, Australia tahun ini meluncurkan program pemberian kemudahan visa bagi investor melalui skema significant investor visa (SIV) guna menarik lebih banyak investor dari Tiongkok. Jika ingin menjadi negara maritim yang kuat, negara yang memiliki semboyan Jalesveva Jayamahe, di laut justru kita jaya, Indonesia harus lebih dahulu memenangi kompetisi tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar