Mencari
Uang Sampai Negeri Tiongkok
Shohib Masykur ; Mahasiswa
Pascasarjana Jurusan Global Business and Finance, School of Foreign Service,
Georgetown University, AS
|
JAWA
POS, 11 November 2014
KONON, lima belas abad lalu, Nabi Muhammad bersabda: ’’Carilah
ilmu sampai ke Negeri Tiongkok.’’ Sekarang, ungkapan itu mungkin perlu didaur
ulang: carilah uang sampai ke Negeri Tiongkok. Presiden Jokowi ingin
membangkitkan kembali identitas Indonesia sebagai negara maritim sehingga
dibutuhkan dana tidak sedikit untuk membangun banyak pelabuhan dan
menyediakan kapal. Lebih dari sebelumnya, Indonesia memerlukan investasi
asing dalam jumlah yang sangat besar.
Tiongkok menjadi pilihan yang menarik karena beberapa hal.
Pertama, negara itu memiliki sangat banyak uang yang perlu segera
diinvestasikan. Sebuah media bisnis yang berbasis di Beijing, Caixin
(25/6/2014), menyebutkan, pada 2014, total dana milik orang-orang kaya di
Tiongkok (yaitu mereka yang memiliki kekayaan lebih dari USD 9,7 juta)
mencapai USD 4,4 triliun. Dari jumlah itu, yang diinvestasikan di luar negeri
hanya 5 persen. Mengingat pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang belakangan agak
melambat, diprediksi proporsi investasi Tiongkok ke luar negeri akan
meningkat dalam waktu dekat.
Belum lagi, negara tersebut memiliki sovereign wealth fund atau
dana milik pemerintah hingga USD 575 miliar yang siap diinvestasikan. Benar
bahwa tidak semua dana Tiongkok tersebut akan diinvestasikan secara langsung
dalam bentuk foreign direct investment (FDI). Namun, bagaimanapun, jumlah itu
sangatlah besar sehingga FDI-nya pun akan besar.
Selama ini, kebanyakan uang Tiongkok mengalir ke negara-negara
Afrika, Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Timur Tengah. Menurut laporan CNN
(27/8/2014), Agustus lalu, untuk kali pertama dalam sejarah AS kehabisan visa
investor. Hal itu disebabkan terlalu banyaknya investor dari Tiongkok yang
ingin masuk ke AS. Investasi Tiongkok di AS meningkat sangat pesat, dari USD 58
juta pada 2000 menjadi USD 14 miliar pada 2014 atau naik 241 kali lipat. Hal
itu menjadi gambaran betapa tidak sabarnya uang Tiongkok untuk segera bisa
diinvestasikan.
Berdasar data The American Enterprise Institute and The Heritage
Foundation, selama periode 2005 hingga paro pertama 2014, Tiongkok telah
menginvestasikan dana USD 870,4 miliar ke luar negeri. Dari jumlah itu, yang
masuk ke Indonesia hanya USD 30,7 miliar atau 3,5 persen. Jika kita bisa
meningkatkan proporsi investasi Tiongkok ke Indonesia, katakanlah dua kali
lipat menjadi 7 persen, sangat banyak dana yang akan masuk ke Indonesia,
terlebih mengingat tren investasi asing dari Tiongkok yang terus meningkat
dari tahun ke tahun.
Alasan kedua, Tiongkok menjadi pilihan menarik karena memiliki pengalaman
luas dalam membangun serta mengoperasikan pelabuhan-pelabuhan besar. Menurut
World Shipping Council, tujuh di antara 10 pelabuhan tersibuk dengan volume
perdagangan terbesar dunia berada di Tiongkok. Dengan pengalaman yang
ekstensif dalam menangani pelabuhan itu, selain sebagai sumber investasi,
Tiongkok bisa membagikan know-how-nya kepada Indonesia.
Ketiga, berurusan dengan investor Tiongkok relatif lebih mudah
daripada berurusan dengan negara-negara maju. Tiongkok tidak mensyaratkan
aspek-aspek di luar kepentingan ekonomi dan bisnis seperti politik atau HAM.
Hal itu telah terbukti di negara-negara Afrika, yakni Tiongkok menanamkan
banyak investasi tanpa memedulikan kondisi domestik di negara-negara
tersebut.
Untuk menjalankan misi menarik masuk uang Tiongkok, pemerintah
perlu bekerja keras mengerahkan semua lini serta menggandeng swasta. Para
diplomat Indonesia sebagai garda depan perlu semakin agresif dan kreatif
melakukan terobosan guna mengundang investor Tiongkok. Di dalam negeri, BKPM
juga harus responsif dengan menggelar red carpet, alih-alih red tape, untuk
investor Tiongkok yang ingin menanamkan uangnya. Jika perlu, BKPM bisa
membuka kantor di perwakilan-perwakilan RI di Tiongkok. Tidak hanya di
Beijing, tetapi juga di kota-kota lain yang potensial menjadi sumber
investasi.
Sebagaimana setiap misi besar, tantangan pasti selalu ada.
Demikian pula dalam misi ini. Tantangan pertama adalah adanya aturan di
Tiongkok yang membatasi jumlah uang keluar maksimal USD 50.000 per orang per
tahun. Aturan itu bisa mempersulit investor Tiongkok untuk menanamkan uangnya
di Indonesia. Namun, sehubungan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi
Tiongkok, belakangan aturan tersebut sudah agak dikendurkan.
Selain itu, ada berbagai cara yang bisa digunakan investor untuk
tetap membawa uangnya ke luar negeri. Antara lain, mengirimkannya lebih
dahulu ke Hongkong atau Makau yang tidak dikenai aturan pembatasan seperti di
Tiongkok Daratan. Dari sana, barulah uang tersebut dikirim ke luar negeri.
Hal itu juga turut menjadi alasan bagi BKPM untuk perlu membuka kantor
perwakilan di kota-kota lain selain Beijing.
Tantangan lain adalah kualitas konstruksi bangunan. Sudah
menjadi pengetahuan umum bahwa kualitas bangunan yang dibangun para investor
Tiongkok kurang bagus. Majalah The Economist (20/4/2011) mencontohkan
bagaimana sebuah rumah sakit di Angola yang dibangun investor Tiongkok
mengalami retak di tembok hanya beberapa bulan setelah diresmikan secara
besar-besaran. Di Zambia, jalan yang dibangun investor Tiongkok langsung
rusak setelah diterpa hujan deras. Karena itu, quality control harus
benar-benar diperhatikan dan dimasukkan dalam klausul kontrak dalam
pembangunan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia.
Terakhir, tentu saja, adalah kompetisi dengan negara lain dalam menarik
investor Tiongkok, terutama dengan negara-negara sekitar. Malaysia, misalnya,
punya target menarik investasi Tiongkok USD 160 miliar pada 2017. Sementara
itu, Australia tahun ini meluncurkan program pemberian kemudahan visa bagi
investor melalui skema significant investor visa (SIV) guna menarik lebih
banyak investor dari Tiongkok. Jika ingin menjadi negara maritim yang kuat,
negara yang memiliki semboyan Jalesveva Jayamahe, di laut justru kita jaya,
Indonesia harus lebih dahulu memenangi kompetisi tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar