Selasa, 11 November 2014

Ketika Menteri Blusukan

Ketika Menteri Blusukan

Putu Setia  ;  Pengarang, Wartawan Senior Tempo
KORAN TEMPO, 11 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Gaya kerja Joko Widodo yang suka blusukan dibawa sampai ia dilantik sebagai presiden. Akhirnya, kita disuguhi gaya yang menyimpang dari presiden yang selama ini kita kenal. Tatkala mengumumkan kabinet, Jokowi-begitu presiden kita disapa-meminta menterinya berlari. Saat ke Sinabung, Jokowi merunyamkan kerja panitia daerah karena tak mau diatur harus lihat ini dan itu. Gaya Jokowi menular kepada para menteri.

Menteri Olahraga meninjau para atlet pelatnas. Menteri Perdagangan bersama Menteri Koperasi meninjau pasar dinihari, Menteri Kelautan dan Perikanan menyapa para nelayan, Menteri Perhubungan memeriksa kakus di Bandara Soekarno-Hatta. Semua bergerak, termasuk Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri meloncat pagar di sebuah rumah saat blusukan pada malam hari. Ulah menteri ini membuat politikus Golkar Nurul Arifin merasa mual. "Saya ingin muntah lihat pejabat yang sering blusukan," kata Nurul, mantan artis yang gagal kembali ke Senayan.

Tak cuma Nurul yang kepingin muntah. Seorang pengacara terkenal juga mengecam gaya Hanif Dhakiri. Kata pengacara, Hanif harus mendapat izin pengadilan untuk melakukan hal tersebut. Hanif membantah melakukan pencitraan. Sejatinya bantahan itu tak lagi diperlukan manakala kita disuguhkan bagaimana nasib puluhan calon TKI yang disekap di kamar sempit. Wanita itu tak berdaya dan harga diri mereka-setelah merasa tertipu dan menderita-diselamatkan oleh seorang menteri. Seharusnya Nurul Arifin menyusul ke penampungan itu, menanyakan sudah berapa kali kaumnya itu muntah-muntah, dibanding mengecam tindakan sang menteri. Apakah seorang pengacara begitu tumpul mata hatinya untuk menyaksikan penyekapan dengan kedok "menunggu pengiriman" yang tak kunjung tiba?

Sekali lagi, kita tak terbiasa melihat menteri blusukan. Kita terbiasa melihat menteri yang tekun di kamarnya dan kita tak tahu apa kesibukannya. Atau menteri keluar dari kantornya dengan berjas lengkap, seraya pura-pura bergegas ke mobil, tapi akhirnya membuka kaca mobil untuk bisa diwawancarai wartawan.

Betul juga, blusukan seperti itu adalah tugas dari staf menteri, mungkin para direktur teknis. Tapi bukankah rutinitas harus didobrak dan bukankah "kejutan" harus ada sesekali untuk memotivasi para staf? Menteri yang terbiasa hanya menerima laporan dari stafnya akan mudah diperdaya. Ia seperti duduk di menara gading dan melihat ke bawah dengan pandangan yang selalu asri. Ia berjarak dan tak melihat ada debu di kaki rakyat.

Lagi pula, tak setiap dinihari Menteri Perdagangan turun ke pasar. Kalau begitu, lebih baik tak usah jadi menteri, sekalian saja jadi pedagang. Blusukan yang sesekali itu pastilah akan menjadi bahan pembahasan, dicari pangkal masalahnya, dikaji, diolah, dan diputuskan bagaimana cara agar kasus-kasus buruk yang ditemui bisa diatasi. Kelak, kalau ada blusukan lagi dan kasusnya serupa, bolehlah kita nyinyir, "Lho, dulu sudah terjadi, kok terulang?"

Artinya, mari kita lihat hasil kerjanya, bukan cara blusukan-nya. Petantang-petenteng Menteri Susi Pudjiastuti harus kita tunggu hasilnya, apakah nelayan menjadi sejahtera dibanding sebelumnya. Efek lompat pagar Menteri Hanif bisa dianggap berhasil setelah tenaga kerja menjadi aman. Juara di SEA Games atau damainya suporter Persija dan Persib boleh dicatat sebagai keberhasilan Menpora. Para menteri belum sebulan bekerja, belum waktunya kita pura-pura mual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar