Ketika
Menteri Blusukan
Putu Setia ; Pengarang,
Wartawan Senior Tempo
|
KORAN
TEMPO, 11 November 2014
Gaya kerja Joko Widodo yang suka blusukan dibawa sampai ia
dilantik sebagai presiden. Akhirnya, kita disuguhi gaya yang menyimpang dari
presiden yang selama ini kita kenal. Tatkala mengumumkan kabinet,
Jokowi-begitu presiden kita disapa-meminta menterinya berlari. Saat ke
Sinabung, Jokowi merunyamkan kerja panitia daerah karena tak mau diatur harus
lihat ini dan itu. Gaya Jokowi menular kepada para menteri.
Menteri Olahraga meninjau para atlet pelatnas. Menteri
Perdagangan bersama Menteri Koperasi meninjau pasar dinihari, Menteri
Kelautan dan Perikanan menyapa para nelayan, Menteri Perhubungan memeriksa
kakus di Bandara Soekarno-Hatta. Semua bergerak, termasuk Menteri
Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri meloncat pagar di sebuah rumah saat blusukan
pada malam hari. Ulah menteri ini membuat politikus Golkar Nurul Arifin
merasa mual. "Saya ingin muntah
lihat pejabat yang sering blusukan," kata Nurul, mantan artis yang
gagal kembali ke Senayan.
Tak cuma Nurul yang kepingin muntah. Seorang pengacara terkenal
juga mengecam gaya Hanif Dhakiri. Kata pengacara, Hanif harus mendapat izin
pengadilan untuk melakukan hal tersebut. Hanif membantah melakukan
pencitraan. Sejatinya bantahan itu tak lagi diperlukan manakala kita
disuguhkan bagaimana nasib puluhan calon TKI yang disekap di kamar sempit.
Wanita itu tak berdaya dan harga diri mereka-setelah merasa tertipu dan
menderita-diselamatkan oleh seorang menteri. Seharusnya Nurul Arifin menyusul
ke penampungan itu, menanyakan sudah berapa kali kaumnya itu muntah-muntah,
dibanding mengecam tindakan sang menteri. Apakah seorang pengacara begitu
tumpul mata hatinya untuk menyaksikan penyekapan dengan kedok "menunggu pengiriman" yang
tak kunjung tiba?
Sekali lagi, kita tak terbiasa melihat menteri blusukan. Kita
terbiasa melihat menteri yang tekun di kamarnya dan kita tak tahu apa
kesibukannya. Atau menteri keluar dari kantornya dengan berjas lengkap,
seraya pura-pura bergegas ke mobil, tapi akhirnya membuka kaca mobil untuk
bisa diwawancarai wartawan.
Betul juga, blusukan seperti itu adalah tugas dari staf menteri,
mungkin para direktur teknis. Tapi bukankah rutinitas harus didobrak dan
bukankah "kejutan" harus ada sesekali untuk memotivasi para staf?
Menteri yang terbiasa hanya menerima laporan dari stafnya akan mudah
diperdaya. Ia seperti duduk di menara gading dan melihat ke bawah dengan pandangan
yang selalu asri. Ia berjarak dan tak melihat ada debu di kaki rakyat.
Lagi pula, tak setiap dinihari Menteri Perdagangan turun ke
pasar. Kalau begitu, lebih baik tak usah jadi menteri, sekalian saja jadi
pedagang. Blusukan yang sesekali itu pastilah akan menjadi bahan pembahasan,
dicari pangkal masalahnya, dikaji, diolah, dan diputuskan bagaimana cara agar
kasus-kasus buruk yang ditemui bisa diatasi. Kelak, kalau ada blusukan lagi
dan kasusnya serupa, bolehlah kita nyinyir, "Lho, dulu sudah terjadi, kok terulang?"
Artinya, mari kita lihat hasil kerjanya, bukan cara
blusukan-nya. Petantang-petenteng Menteri Susi Pudjiastuti harus kita tunggu
hasilnya, apakah nelayan menjadi sejahtera dibanding sebelumnya. Efek lompat
pagar Menteri Hanif bisa dianggap berhasil setelah tenaga kerja menjadi aman.
Juara di SEA Games atau damainya suporter Persija dan Persib boleh dicatat
sebagai keberhasilan Menpora. Para menteri belum sebulan bekerja, belum
waktunya kita pura-pura mual. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar