Sabtu, 15 November 2014

Bola Liar BBM di Negeri Setengah Demokrasi

           Bola Liar BBM di Negeri Setengah Demokrasi

Riduan Situmorang  ;   Staf Pengajar Bahasa Indonesia
dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan
HALUAN,  14 November 2014

                                                                                                                       


Dalam laporan akhir tahunnya pada tahun 2012 di bidang energi, Kompas membikin tulisan “Bola Liar Subsidi BBM” (19/12/2012). Tulisan ini kiranya menjadi jawaban dari sebagian kegelisahan lantaran subsidi BBM kala itu semakin liar. Saat itu, presidennya masih SBY. Dan, saat itu pula, kebijakan yang tidak populer sangat berpotensi merusak nama. Maka, SBY tampak sekali begitu hati-hati me­ngambil kesimpulan karena dia sedikit gelisah.

Andai menaikkan BBM secara cepat, Demokrat yang merupakan partainya bisa dicap sebagai yang tidak prorakyat. Hal itu tentu akan berimbas pada raihan suara pemilu pada tahun 2014 (saat itu masih tahun 2012). Maka, hitung-hitungan saat itu adalah menaikkan BBM jika rakyat setuju. Kalau tidak, menang­guhkan sebentar, sebentar, sebentar, yang lalu makin liar.

Nah, setelah SBY lengser, kini subsidi BBM kembali menjadi pergunjingan, bahkan tampak semakin liar. Baru saja Jokowi mengatakan bahwa harga BBM akan dinaikkan, dia justru sudah disambut dengan huru-hara demonstrasi di berbagai daerah. Sekilas kita bertanya, apakah setiap kebija­kan harus diinterupsi dengan demonstrasi?

Setengah Demokrasi

Ya, begitulah negeri demo­krasi. Diizinkan berbicara sebebasnya, tetapi tentu saja harus masuk akal. Artinya, menolak boleh, tetapi harus “boleh” pula memberi alternatif. Dan, inilah yang tidak kita punya. Kita hanya menolak dan menolak, tetapi miskin solusi. Di pihak lain, selain boleh dituntut dan dikritik, pemerintah pun yang harusnya mampu memilah dan memilih tampak gugup dan tidak peduli. Maka, jadilah demonstrasi sebagai angin lalu yang hampir mustahil ditanggapi. Sekali lagi, di sinilah masalah itu kemu­dian bersarang. Pemerintah mengizinkan de­monstrasi, tapi tam­pak sekali tidak menang­gapi tun­tutan demonstrasi itu.

Maka, de­mon­strasi demi de­mons­trasi ha­nya bagian dari huru-haru yang berlalu begitu saja, bukan ba­gian dari solusi. Hal itu ma­kin buram lagi ke­tika kemudian ba­gian huru-hara ini diha­dapkan secara frontal kepada pe­merintah, yang juga ha­nya mengi­zin­kan demo tan­pa mendengar. Logi­kanya se­derhana, ma­salah diha­dap­kan dengan ma­­salah, akhirnya timbullah masalah yang berli­pat-lipat. Imbasnya, demokrasi yang adalah berbi­cara bebas dan mendengarkan dengan rendah hati justru mengambil se­tengah-setengah. Sebelah pihak hanya berbicara bebas, sebe­lahnya lagi hanya men­dengar tanpa hati. Mung­kin, inilah namanya negeri setengah demokrasi.

Sebagai hasilnya, segala keputusan diambil menjadi lambat. Dan semakin lambat lagi kalau hal itu menyangkut pada masalah populer atau tidak. Pada dikotomi yang seperti ini, mata kita mendadak buta pada sumbu benar atau tidak, bermanfaat atau meru­gikan. Baginya, yang populer diterjemahkan sebagai yang benar dan bermanfaat, sedang­kan yang tidak populer sebagai yang salah dan merugikan. Maka, ketika ramai-ramai rakyat berdemonstrasi—pa­dahal, bisa saja entah siapa yang mengarahkan rakyat kecil itu untuk melakukannya—pemerintah yang doyan populer akan kembali mengulur-ulur masalah. Jika itu menyangkut BBM tidak perlu dinaikkan, pemerintah yang alergi tidak populer ini akan mendengarkan rakyat begitu saja tanpa memerhatikan kalkulasi subsidi yang kian menjepit.

Padahal, jika dibaca secara hati-hati, subsidi itu bisa, dan memang sudah menipu. Subsidi yang harusnya untuk orang miskin malah disapu oleh orang kaya, misalnya. Lihat saja, subsidi lima tahun terakhir telah mencapai angkan 1.300T. Angka ini sangat fantastis karena uang untuk kese­jahteraan rakyat saja tidak sampai 1.000T.

Nah, itulah yang terjadi pada subsidi BBM. Kita tidak (entah sengaja) menyadari bahwa subsidi ini dominan untuk orang kaya. Contoh, rakyat di kampung dan di desa-desa, misalnya, paling banter menghabiskan premium dua liter per hari. Sementara itu, kelas menengah-atas di kota yang menggunakan mobil, yang jalan-jalan ke tempat wisata, yang belanja kemana-mana, yang meng­hidupkan AC walau mobil tidak berjalan, menghabiskan minyak berliter-liter, secara semena-mena pula. Apakah subsidi ini tidak salah arah? Apa tidak lebih bagus kalau sub­sidi yang harus­nya untuk orang mis­kin itu kita alih­kan un­tuk memperba­i­ki infrastruk­tur, irigasi, gedung sekolah, atau­pun pinjaman usaha kecil me­nengah?

Larut dalam Debat

Ya, be­gitu­lah sub­sidi. Ka­rena dia me­nyangkut uru­san politik, bah­kan prag­matis, para po­litisi pun bergiat untuk antara menolak dan me­nerima di da­lam­nya. Yang penting, opor­tunis dan prag­matis men­jadi tuannya. Ha­silnya, po­pularisme berkelindan me­ngikuti. Maka, mereka akan kelihatan berusaha menjadi yang tersibuk dan tervokal dalam perdebatan demi perde­ba­tan. Inilah kisah sebuah ne­geri yang berputar-putar di ling­karan tanpa ujung. Perde­batan berulang-ulang tanpa ada ke­putu­san yang pasti atau kepu­t­u­san­nya diulur-ulur. Argu­men yang mereka berikan pun ka­dang masuk akal, tetapi ada juga yang abstrak dan mustahil.

Bagi yang pro BBM tidak dinaikkan, misalnya, akan memberi analisis sederhana. Kalau harga minyak naik, ongkos angkutan juga naik. Akibatnya, kebutuhan pokok pun naik. Rakyat semakin menjerit karena menanggung beban lebih banyak, sementara penghasilannya tak ikut naik. Wong cilik akan tambah sengsara, buruh-buruh tambah menderita. Lihat demonstrasi sudah meledak di mana-mana. Maka, atas nama rakyat, mereka akan berkoar-koar. Mereka akan mencecar dimana demonstrasi berada, bahkan menjadi orator. Sekilas, tampak­lah dia sebagai pejuang rakyat, ya, rupanya dia pragmatis dan oportunitis, tidak dapat materi, popularisme pun jadi.

Ketika tiba ditanya, apa alternatif yang diberikan, mereka sebisa mungkin akan menghindar, kalau sudah kejebak, mereka berusaha memberi solusi, tapi sifatnya abstrak dan mustahil. Abstrak, misalnya, dibuat aturan dengan memanfaatkan tek­nologi agar minyak untuk rakyat tetap murah, tetapi minyak untuk yang kaya boleh tinggi. Tapi ditanya teknisnya diam seribu bahasa. Yang mustahil, ambil uang negara yang ditilep para koruptor, baik koruptor yang sudah dihukum maupun yang masih dikejar. Lalu, cari energi alternatif dan bikin pabrik minyak supaya tidak meng­ekspor minyak mentah. Apa misalnya? Ya, pemerintah harus berpikir, dong. Mustahil dikerjakan hari ini, bukan?

Nah, lain lagi bagi mereka yang pro harga BBM dinaik­kan. Alasan mereka pun sederhana. Kalau dana sebesar itu tetap diberikan, salah sasaran pula, kapan lagi kita membuat pelabuhan, tol laut, irigasi, sekolah, dan masih banyak lagi?

Ya begitulah, setelah sekian lama, negeri ini rupanya masih sibuk dalam debat demi debat. Apakah Jokowi juga akan linglung di dalam perdebatan antara menaikkan harga BBM atau tidak, mari kita tunggu! Yang pasti, kini kita butuh ketegasan, solusi, sekaligus kepastian. Apa pun itu, asal ada solusi, asal itu demi rakyat, asal itu demi kebaikan bersama, asal itu lebih pro pada warga miskin daripada orang kaya, kita pasti mendu­kung­nya. Sebaliknya, kita akan makin tertatih andai bola liar subsidi yang dari sononya ini sudah sudah liar tiba-tiba tetap berkelindan semakin liar. Singkatnya, kini kita butuh ketegasan, kepastian, sekaligus solusi, bukan perdebatan yang kekal. Apakah bola liar ini bisa dikendalikan Jokowi? Mari kita lihat!  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar