Bola Liar BBM di
Negeri Setengah Demokrasi
Riduan Situmorang ; Staf Pengajar Bahasa Indonesia
dan
Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan
|
HALUAN,
14 November 2014
Dalam laporan akhir tahunnya pada tahun 2012 di bidang energi, Kompas
membikin tulisan “Bola Liar Subsidi BBM” (19/12/2012). Tulisan ini kiranya
menjadi jawaban dari sebagian kegelisahan lantaran subsidi BBM kala itu
semakin liar. Saat itu, presidennya masih SBY. Dan, saat itu pula, kebijakan
yang tidak populer sangat berpotensi merusak nama. Maka, SBY tampak sekali
begitu hati-hati mengambil kesimpulan karena dia sedikit gelisah.
Andai menaikkan BBM secara
cepat, Demokrat yang merupakan partainya bisa dicap sebagai yang tidak
prorakyat. Hal itu tentu akan berimbas pada raihan suara pemilu pada tahun
2014 (saat itu masih tahun 2012). Maka, hitung-hitungan saat itu adalah
menaikkan BBM jika rakyat setuju. Kalau tidak, menangguhkan sebentar,
sebentar, sebentar, yang lalu makin liar.
Nah, setelah SBY lengser, kini
subsidi BBM kembali menjadi pergunjingan, bahkan tampak semakin liar. Baru
saja Jokowi mengatakan bahwa harga BBM akan dinaikkan, dia justru sudah
disambut dengan huru-hara demonstrasi di berbagai daerah. Sekilas kita
bertanya, apakah setiap kebijakan harus diinterupsi dengan demonstrasi?
Setengah Demokrasi
Ya, begitulah negeri demokrasi.
Diizinkan berbicara sebebasnya, tetapi tentu saja harus masuk akal. Artinya,
menolak boleh, tetapi harus “boleh” pula memberi alternatif. Dan, inilah yang
tidak kita punya. Kita hanya menolak dan menolak, tetapi miskin solusi. Di
pihak lain, selain boleh dituntut dan dikritik, pemerintah pun yang harusnya
mampu memilah dan memilih tampak gugup dan tidak peduli. Maka, jadilah
demonstrasi sebagai angin lalu yang hampir mustahil ditanggapi. Sekali lagi,
di sinilah masalah itu kemudian bersarang. Pemerintah mengizinkan demonstrasi,
tapi tampak sekali tidak menanggapi tuntutan demonstrasi itu.
Maka, demonstrasi demi demonstrasi
hanya bagian dari huru-haru yang berlalu begitu saja, bukan bagian dari
solusi. Hal itu makin buram lagi ketika kemudian bagian huru-hara ini dihadapkan
secara frontal kepada pemerintah, yang juga hanya mengizinkan demo tanpa
mendengar. Logikanya sederhana, masalah dihadapkan dengan masalah,
akhirnya timbullah masalah yang berlipat-lipat. Imbasnya, demokrasi yang
adalah berbicara bebas dan mendengarkan dengan rendah hati justru mengambil
setengah-setengah. Sebelah pihak hanya berbicara bebas, sebelahnya lagi
hanya mendengar tanpa hati. Mungkin, inilah namanya negeri setengah
demokrasi.
Sebagai hasilnya, segala
keputusan diambil menjadi lambat. Dan semakin lambat lagi kalau hal itu
menyangkut pada masalah populer atau tidak. Pada dikotomi yang seperti ini,
mata kita mendadak buta pada sumbu benar atau tidak, bermanfaat atau merugikan.
Baginya, yang populer diterjemahkan sebagai yang benar dan bermanfaat, sedangkan
yang tidak populer sebagai yang salah dan merugikan. Maka, ketika ramai-ramai
rakyat berdemonstrasi—padahal, bisa saja entah siapa yang mengarahkan rakyat
kecil itu untuk melakukannya—pemerintah yang doyan populer akan kembali
mengulur-ulur masalah. Jika itu menyangkut BBM tidak perlu dinaikkan,
pemerintah yang alergi tidak populer ini akan mendengarkan rakyat begitu saja
tanpa memerhatikan kalkulasi subsidi yang kian menjepit.
Padahal, jika dibaca secara
hati-hati, subsidi itu bisa, dan memang sudah menipu. Subsidi yang harusnya
untuk orang miskin malah disapu oleh orang kaya, misalnya. Lihat saja,
subsidi lima tahun terakhir telah mencapai angkan 1.300T. Angka ini sangat
fantastis karena uang untuk kesejahteraan rakyat saja tidak sampai 1.000T.
Nah, itulah yang terjadi pada
subsidi BBM. Kita tidak (entah sengaja) menyadari bahwa subsidi ini dominan
untuk orang kaya. Contoh, rakyat di kampung dan di desa-desa, misalnya,
paling banter menghabiskan premium dua liter per hari. Sementara itu, kelas
menengah-atas di kota yang menggunakan mobil, yang jalan-jalan ke tempat
wisata, yang belanja kemana-mana, yang menghidupkan AC walau mobil tidak
berjalan, menghabiskan minyak berliter-liter, secara semena-mena pula. Apakah
subsidi ini tidak salah arah? Apa tidak lebih bagus kalau subsidi yang harusnya
untuk orang miskin itu kita alihkan untuk memperbaiki infrastruktur,
irigasi, gedung sekolah, ataupun pinjaman usaha kecil menengah?
Larut dalam Debat
Ya, begitulah subsidi. Karena
dia menyangkut urusan politik, bahkan pragmatis, para politisi pun
bergiat untuk antara menolak dan menerima di dalamnya. Yang penting, oportunis
dan pragmatis menjadi tuannya. Hasilnya, popularisme berkelindan mengikuti.
Maka, mereka akan kelihatan berusaha menjadi yang tersibuk dan tervokal dalam
perdebatan demi perdebatan. Inilah kisah sebuah negeri yang berputar-putar
di lingkaran tanpa ujung. Perdebatan berulang-ulang tanpa ada keputusan
yang pasti atau keputusannya diulur-ulur. Argumen yang mereka berikan
pun kadang masuk akal, tetapi ada juga yang abstrak dan mustahil.
Bagi yang pro BBM tidak
dinaikkan, misalnya, akan memberi analisis sederhana. Kalau harga minyak
naik, ongkos angkutan juga naik. Akibatnya, kebutuhan pokok pun naik. Rakyat
semakin menjerit karena menanggung beban lebih banyak, sementara penghasilannya
tak ikut naik. Wong cilik akan tambah sengsara, buruh-buruh tambah menderita.
Lihat demonstrasi sudah meledak di mana-mana. Maka, atas nama rakyat, mereka
akan berkoar-koar. Mereka akan mencecar dimana demonstrasi berada, bahkan
menjadi orator. Sekilas, tampaklah dia sebagai pejuang rakyat, ya, rupanya
dia pragmatis dan oportunitis, tidak dapat materi, popularisme pun jadi.
Ketika tiba ditanya, apa
alternatif yang diberikan, mereka sebisa mungkin akan menghindar, kalau sudah
kejebak, mereka berusaha memberi solusi, tapi sifatnya abstrak dan mustahil.
Abstrak, misalnya, dibuat aturan dengan memanfaatkan teknologi agar minyak
untuk rakyat tetap murah, tetapi minyak untuk yang kaya boleh tinggi. Tapi
ditanya teknisnya diam seribu bahasa. Yang mustahil, ambil uang negara yang
ditilep para koruptor, baik koruptor yang sudah dihukum maupun yang masih
dikejar. Lalu, cari energi alternatif dan bikin pabrik minyak supaya tidak
mengekspor minyak mentah. Apa misalnya? Ya, pemerintah harus berpikir, dong.
Mustahil dikerjakan hari ini, bukan?
Nah, lain lagi bagi mereka yang
pro harga BBM dinaikkan. Alasan mereka pun sederhana. Kalau dana sebesar itu
tetap diberikan, salah sasaran pula, kapan lagi kita membuat pelabuhan, tol
laut, irigasi, sekolah, dan masih banyak lagi?
Ya begitulah, setelah sekian
lama, negeri ini rupanya masih sibuk dalam debat demi debat. Apakah Jokowi
juga akan linglung di dalam perdebatan antara menaikkan harga BBM atau tidak,
mari kita tunggu! Yang pasti, kini kita butuh ketegasan, solusi, sekaligus
kepastian. Apa pun itu, asal ada solusi, asal itu demi rakyat, asal itu demi
kebaikan bersama, asal itu lebih pro pada warga miskin daripada orang kaya,
kita pasti mendukungnya. Sebaliknya, kita akan makin tertatih andai bola
liar subsidi yang dari sononya ini sudah sudah liar tiba-tiba tetap
berkelindan semakin liar. Singkatnya, kini kita butuh ketegasan, kepastian,
sekaligus solusi, bukan perdebatan yang kekal. Apakah bola liar ini bisa
dikendalikan Jokowi? Mari kita lihat! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar