Membangun
Kesejahteraan di Perbatasan
Dinna Wisnu ; Co-founder dan Direktur Pascasarjana
Universitas Paramadina
|
MEDIA
INDONESIA, 18 November 2014
KITA dihentak berita bahwa ada
sejumlah desa di Kabupaten Nunukan, Kecamatan Lumbis Ogong, Kalimantan Utara,
yang dikabarkan telah diklaim sebagai wilayah Kerajaan Malaysia. Lebih
memprihatinkan, beredar kabar bahwa telah terjadi eksodus sejumlah besar
kepala keluarga dari wilayah tersebut ke Kota Kinabalu Negeri Sabah,
Malaysia.
Kita masih menunggu kabar resmi
dari Menteri Dalam Negeri yang telah mengirimkan tim untuk memverifi kasi
informasi tersebut dan menyatakan hasil temuannya secara resmi. Di sisi lain,
Kementerian Luar Negeri sudah mengeluarkan pernyataan melalui Dirjen
Pemerintahan Umum bahwa tidak ada pencaplokan wilayah meskipun batas wilayah
memang masih dibicarakan dan dalam proses penanganan. Sementara itu, Atase
Pertahanan Kedutaan Besar RI di Malaysia menginfokan bahwa Wakil Bupati
Nunukan dan Kepala Desa Tau Lubis menyangkal info eksodus tersebut karena
yang terjadi hanyalah kunjungan kekerabatan atau kegiatan mencari nafkah.
Terlepas dari simpang siurnya
berita itu, kabar tentang problem di wilayah perbatasan bukanlah berita baru.
Di awal 2012 sudah ada pemberitaan bahwa perbatasan RI-Malaysia di Lumbis
Ogong tidak diakui oleh Malaysia; bahkan lima desa di sekitar muara Sungai
Sumantipal telah diklaim masuk sebagai wilayah Malaysia. Menurut informasi,
Malaysia tidak pernah menerima patok wilayah Indonesia di sana sejak
berakhirnya konfrontasi RI-Malaysia pada 1965. Alih-alih mendapatkan
perhatian, kejadian tersebut belum membuahkan perubahan situasi. Apa yang
hilang dari mekanisme pemerintah dalam menanggapi masalah wilayah perbatasan
di negeri ini?
Lihat sejarah
Untuk menjawab pertanyaan
tersebut kita perlu melihat dua hal yang saling terkait, yaitu sejarah
sosiologis wilayah perbatasan dan kegiatan ekonomi dan politik yang
berkembang di wilayah perbatasan. Dalam konteks sejarah dan sosiologi, kita
perlu memahami bahwa wilayah dan penduduk yang tinggal di perbatasan memiliki
tali ikatan persaudaraan lintas batas, secara adat, sosial, dan ekonomi telah
dipelihara bahkan sebelum lahirnya negara-bangsa.
Contohnya ialah penduduk
yang tinggal di wilayah Kalimantan di Indonesia dan Sabah di Malaysia. Para
penduduk memiliki kepercayaan dan keyakinan suku Dayak yang telah hidup
ratusan tahun di wilayah tersebut. Mereka tidak hanya hidup berdampingan,
tetapi juga melakukan aktivitas sosial dan ekonomi perdagangan bersama.
Seiiring dengan lahirnya negara
Indonesia dan Malaysia pada 1950-an, hubungan sosial masyarakat di sana mulai
berubah. Dengan semakin majunya ekonomi Malaysia jika dibandingkan dengan
Indonesia, penanda antara warga Indonesia dan warga Malaysia ditampilkan
melalui perbedaan kesejahteraan. Liberalisasi ekonomi Malaysia telah memacu
pertumbuhan ekonomi di beberapa negara bagian, khususnya yang berbatasan
langsung dengan Indonesia di Pulau Kalimantan. Struktur perdagangan yang dulu
sebatas pertukaran tradisional lambat laun menjadi hubungan perdagangan
berbasis sistem ekonomi pasar. Sabah dan Sarawak yang berbatasan dengan
Kalimantan memiliki GDP per kapita 2012 masing-masing US$5.604 dan US$12.000,
sementara Kalimantan Barat hanya US$934.
Di titik ini, kita menemukan
pengelolaan perbatasan selama 69 tahun di RI bergerak sangat lamban dan tanpa
dorongan menyelesaikan masalah dengan sesegera mungkin, baik di tingkat pusat
maupun daerah. Peluang jalan keluar untuk masalah tersebut sebetulnya sudah
terbuka. Di tingkat kerja sama regional ASEAN, ada Masterplan of ASEAN Connectivity yang mencari prioritas dan kerja
sama antarpemerintah maupun swasta terkait pengembangan konektivitas
antarnegara (termasuk pulau dan daerah perbatasan) anggota ASEAN. Ada pula
kerja sama subregional ASEAN yang disebut BIMP-EAGA (Brunei, Indonesia,
Malaysia, Philippines – East ASEAN
Growth Area) yang bertujuan mengembangkan wilayah perbatasan Kalimantan
sebagai daerah pengelolaan bersama di bidang ecotourism dan sumber penanaman sumber pangan.
Tiap tahun ada pertemuan rutin
pimpinan dari kementerian terkait, termasuk yang mengundang pakar, untuk
mencari model kerja sama dan mendorong implementasinya. Bahkan ada dukungan
teknis dan finansial juga dari Asian
Development Bank.
Perlu pendampingan
Di sisi lain, kita juga perlu
pikirkan cara membawa payung kerja sama regional tersebut menjadi sumber
peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat lokal. Kalimantan Utara dan daerah
perbatasan darat dengan Malaysia yang lain sebenarnya bisa diuntungkan dengan
strategi Malaysia mengembangkan investasi turisme di wilayah-wilayah
perbatasan. Sayangnya, masyarakat perbatasan dari sisi Indonesia justru
kurang diuntungkan karena maraknya kegiatan ekonomi bawah tanah dan kegiatan
informal lainnya.
Solusi perbaikan ekonomi di
wilayah perbatasan harus partisipatif melibatkan masyarakat dan pemerintah
daerah. Apabila memang masalah perbatasan menjadi penting, perlu ada affirmative policies bagi
wilayah-wilayah tersebut. Pemerintah pusat perlu mengalokasikan tidak hanya
dana, tetapi juga sumber daya manusia dan pendampingan untuk pengembangan
kapasitas warga setempat.
Tambahan
lagi, pendekatan pengembangan wilayah perbatasan harus diubah dari perspektif
donasi/amal ke perspektif investasi dengan skenario hasil investasi jangka
pendek dan menengah yang jelas bagi masyarakat setempat, pemerintah daerah,
dan pemerintah pusat. Jenis investasinya jangan dipilih yang menimbulkan
kesenjangan sosial dan menguras kekayaan alam. Sebaliknya pilihlah kegiatan
yang membantu merawat alam sambil melibatkan keterampilan masyarakat setempat
(misalnya ecotourism atau turisme
yang memperkenalkan adat istiadat dan kuliner setempat). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar