Rabu, 19 November 2014

Membangun Kesejahteraan di Perbatasan

                 Membangun Kesejahteraan di Perbatasan

Dinna Wisnu  ;   Co-founder dan Direktur Pascasarjana Universitas Paramadina
MEDIA INDONESIA,  18 November 2014

                                                                                                                       


KITA dihentak berita bahwa ada sejumlah desa di Kabupaten Nunukan, Kecamatan Lumbis Ogong, Kalimantan Utara, yang dikabarkan telah diklaim sebagai wilayah Kerajaan Malaysia. Lebih memprihatinkan, beredar kabar bahwa telah terjadi eksodus sejumlah besar kepala keluarga dari wilayah tersebut ke Kota Kinabalu Negeri Sabah, Malaysia.

Kita masih menunggu kabar resmi dari Menteri Dalam Negeri yang telah mengirimkan tim untuk memverifi kasi informasi tersebut dan menyatakan hasil temuannya secara resmi. Di sisi lain, Kementerian Luar Negeri sudah mengeluarkan pernyataan melalui Dirjen Pemerintahan Umum bahwa tidak ada pencaplokan wilayah meskipun batas wilayah memang masih dibicarakan dan dalam proses penanganan. Sementara itu, Atase Pertahanan Kedutaan Besar RI di Malaysia menginfokan bahwa Wakil Bupati Nunukan dan Kepala Desa Tau Lubis menyangkal info eksodus tersebut karena yang terjadi hanyalah kunjungan kekerabatan atau kegiatan mencari nafkah.

Terlepas dari simpang siurnya berita itu, kabar tentang problem di wilayah perbatasan bukanlah berita baru. Di awal 2012 sudah ada pemberitaan bahwa perbatasan RI-Malaysia di Lumbis Ogong tidak diakui oleh Malaysia; bahkan lima desa di sekitar muara Sungai Sumantipal telah diklaim masuk sebagai wilayah Malaysia. Menurut informasi, Malaysia tidak pernah menerima patok wilayah Indonesia di sana sejak berakhirnya konfrontasi RI-Malaysia pada 1965. Alih-alih mendapatkan perhatian, kejadian tersebut belum membuahkan perubahan situasi. Apa yang hilang dari mekanisme pemerintah dalam menanggapi masalah wilayah perbatasan di negeri ini?

Lihat sejarah

Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu melihat dua hal yang saling terkait, yaitu sejarah sosiologis wilayah perbatasan dan kegiatan ekonomi dan politik yang berkembang di wilayah perbatasan. Dalam konteks sejarah dan sosiologi, kita perlu memahami bahwa wilayah dan penduduk yang tinggal di perbatasan memiliki tali ikatan persaudaraan lintas batas, secara adat, sosial, dan ekonomi telah dipelihara bahkan sebelum lahirnya negara-bangsa. 

Contohnya ialah penduduk yang tinggal di wilayah Kalimantan di Indonesia dan Sabah di Malaysia. Para penduduk memiliki kepercayaan dan keyakinan suku Dayak yang telah hidup ratusan tahun di wilayah tersebut. Mereka tidak hanya hidup berdampingan, tetapi juga melakukan aktivitas sosial dan ekonomi perdagangan bersama.

Seiiring dengan lahirnya negara Indonesia dan Malaysia pada 1950-an, hubungan sosial masyarakat di sana mulai berubah. Dengan semakin majunya ekonomi Malaysia jika dibandingkan dengan Indonesia, penanda antara warga Indonesia dan warga Malaysia ditampilkan melalui perbedaan kesejahteraan. Liberalisasi ekonomi Malaysia telah memacu pertumbuhan ekonomi di beberapa negara bagian, khususnya yang berbatasan langsung dengan Indonesia di Pulau Kalimantan. Struktur perdagangan yang dulu sebatas pertukaran tradisional lambat laun menjadi hubungan perdagangan berbasis sistem ekonomi pasar. Sabah dan Sarawak yang berbatasan dengan Kalimantan memiliki GDP per kapita 2012 masing-masing US$5.604 dan US$12.000, sementara Kalimantan Barat hanya US$934.

Di titik ini, kita menemukan pengelolaan perbatasan selama 69 tahun di RI bergerak sangat lamban dan tanpa dorongan menyelesaikan masalah dengan sesegera mungkin, baik di tingkat pusat maupun daerah. Peluang jalan keluar untuk masalah tersebut sebetulnya sudah terbuka. Di tingkat kerja sama regional ASEAN, ada Masterplan of ASEAN Connectivity yang mencari prioritas dan kerja sama antarpemerintah maupun swasta terkait pengembangan konektivitas antarnegara (termasuk pulau dan daerah perbatasan) anggota ASEAN. Ada pula kerja sama subregional ASEAN yang disebut BIMP-EAGA (Brunei, Indonesia, Malaysia, Philippines – East ASEAN Growth Area) yang bertujuan mengembangkan wilayah perbatasan Kalimantan sebagai daerah pengelolaan bersama di bidang ecotourism dan sumber penanaman sumber pangan.
Tiap tahun ada pertemuan rutin pimpinan dari kementerian terkait, termasuk yang mengundang pakar, untuk mencari model kerja sama dan mendorong implementasinya. Bahkan ada dukungan teknis dan finansial juga dari Asian Development Bank.

Perlu pendampingan

Di sisi lain, kita juga perlu pikirkan cara membawa payung kerja sama regional tersebut menjadi sumber peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat lokal. Kalimantan Utara dan daerah perbatasan darat dengan Malaysia yang lain sebenarnya bisa diuntungkan dengan strategi Malaysia mengembangkan investasi turisme di wilayah-wilayah perbatasan. Sayangnya, masyarakat perbatasan dari sisi Indonesia justru kurang diuntungkan karena maraknya kegiatan ekonomi bawah tanah dan kegiatan informal lainnya.

Solusi perbaikan ekonomi di wilayah perbatasan harus partisipatif melibatkan masyarakat dan pemerintah daerah. Apabila memang masalah perbatasan menjadi penting, perlu ada affirmative policies bagi wilayah-wilayah tersebut. Pemerintah pusat perlu mengalokasikan tidak hanya dana, tetapi juga sumber daya manusia dan pendampingan untuk pengembangan kapasitas warga setempat.

Tambahan lagi, pendekatan pengembangan wilayah perbatasan harus diubah dari perspektif donasi/amal ke perspektif investasi dengan skenario hasil investasi jangka pendek dan menengah yang jelas bagi masyarakat setempat, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat. Jenis investasinya jangan dipilih yang menimbulkan kesenjangan sosial dan menguras kekayaan alam. Sebaliknya pilihlah kegiatan yang membantu merawat alam sambil melibatkan keterampilan masyarakat setempat (misalnya ecotourism atau turisme yang memperkenalkan adat istiadat dan kuliner setempat).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar