Menegakkan
Sistem Presidensial
Ikrar Nusa Bhakti ; Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik-LIPI
|
MEDIA
INDONESIA, 18 November 2014
SETELAH berdialog cukup lama,
hiruk pikuk antara kubu Koalisi Merah putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat
(KIH) tampaknya akan segera berakhir. Senin (17/11), atau Selasa (18/11),
kedua kubu akan menandatangani kesepakatan mengenai penentuan pimpinan
alat-alat kelengkapan DPR RI dan juga penghapusan ayat-ayat krusial di dalam
UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) seperti Pasal 74 ayat (3) sampai dengan ayat
(5) serta Pasal 98 ayat (7) dan ayat (8).
Dari Pasal 74 UU MD3 yang
ditiadakan ialah ayat 3: `Setiap pejabat negara atau pejabat pemerintah yang
mengabaikan rekomendasi DPR, DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak
angket, hak menyatakan pendapat, atau hak anggota DPR mengajukan pertanyaan'.
Ayat 4: `Dalam hal pejabat
negara atau pejabat pemerintah mengabaikan atau tidak melaksanakan
rekomendasi DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR dapat menggunakan hak
interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, atau hak anggota DPR
mengajukan pertanyaan'.
Ayat 5: `DPR dapat meminta
presiden untuk memberikan sanksi administratif kepada pejabat negara atau
pejabat pemerintah yang tidak melaksanakan atau mengabaikan rekomendasi DPR'.
Dari Pasal 98 UU MD3 ayat yang
tetap atau tidak diubah ialah ayat 6: `Keputusan dan/atau kesimpulan rapat
kerja komisi atau rapat kerja gabungan komisi bersifat mengikat antara DPR
dan pemerintah serta wajib dilaksanakan oleh pemerintah'. Yang ditiadakan
ialah ayat 7 yang berbunyi `Dalam hal pejabat negara dan pejabat pemerintah
tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (6), komisi dapat
mengusulkan penggunaan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat,
atau hak anggota mengajukan pertanyaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan' dan ayat 8: `DPR dapat meminta presiden untuk memberikan
sanksi administratif kepada pejabat negara dan pejabat pemerintah yang tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (6)'.
Mencegah legislative heavy
Bila kita amati apa yang terjadi
di DPR saat ini, secara adil harus diakui bahwa hiruk pikuk di dewan bukan
melulu urusan perebutan jabatan atau kursi pimpinan DPR dan juga alat-alat
kelengkapan dewan, melainkan juga dan terlebih penting lagi ialah bagaimana
DPR dapat berperan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai lembaga
legislatif di dalam sistem presidensial, dan bukan sebagai institusi superbody dalam sistem parlementer.
Ada perbedaan yang amat menonjol
antara sistem parlementer dan sistem presidensial. Di dalam sistem
parlementer, lembaga eksekutif dan legislatif merupakan satu kesatuan.
Artinya, anggota kabinet dari perdana menteri sampai ke menteri-menterinya
ialah juga anggota legislatif. Pembedaannya ialah para anggota kabinet
merupakan kelompok garis depan (front
bencher), sedangkan anggota DPR pendukungnya ialah kelompok garis
belakang atau back bencher.
Sistem parlementer juga
memungkinkan para anggota DPR melakukan mosi tidak percaya terhadap perdana
menteri, wakil perdana menteri, dan para menteri kabinet bila ada kebijakan
yang dibuat dan atau dijalankan bertentangan dengan konstitusi negara, UU,
atau ideologi dan kebijakan pokok yang dianut negara. Kabinet Sukiman,
misalnya, jatuh akibat Menlu Achmad Soebardjo saat itu dituduh menandatangani
kesepakatan dengan Amerika Serikat (AS) yang bertentangan dengan garis pokok
politik luar negeri RI yang bebas dan aktif.
Dalam sejarah Indonesia, saat
kita masih menerapkan sistem demokrasi parlementer 1945-1949
(pasca-Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai dengan praKonferensi
Meja Bundar 27 Desember 1949) dan 1950-1959 (setelah Republik Indonesia
Serikat dibubarkan pada 17 Agustus 1950 sampai dengan Dekrit Presiden 5 Juli
1959), pemerintahan sering jatuh bangun dalam kurun waktu yang amat singkat,
dan tidak sedikit perdana menteri atau menteri yang dicopot melalui mosi
tidak percaya di parlemen.
Sebaliknya, sistem parlementer
juga memungkinkan presiden sebagai kepala negara membubarkan parlemen,
seperti yang dilakukan Presiden Soekarno melalui Dekrit 5 Juli 1959 yang
membubarkan Konstituante dan kembali ke UUD 1945 yang asli, disusul dengan
pembubaran DPR hasil pemilihan umum yang demokratis 1955.
Di dalam sistem presidensial,
kedudukan DPR dan presiden bersifat sejajar atau neben. Di satu sisi DPR
tidak dapat mela neben. Di satu sisi DPR tidak dapat kukan mosi tidak percaya
terhadap presiden dan para menterinya dan di sisi lain presiden juga tidak
dapat membubarkan parlemen. Dua institusi tersebut, legislatif dan eksekutif,
benar-benar terpisah dan memiliki wewenang, tugas, dan fungsi yang berbeda
sesuai dengan aturan konstitusi negara, dalam hal ini UUD Negara Republik
Indonesia 1945 yang meru pakan hasil dari empat kali amendemen terhadap UUD
1945 yang asli.
Pasca-1998 atau yang dikenal dengan
era reformasi, memang ada upaya-upaya untuk memperkuat lembaga legislatif
(DPR) karena selama era Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dan era Demokrasi
Pancasila (1966-1998), DPR Gotong Royong dan DPR hanyalah pelengkap penyerta
di dalam sistem politik Indonesia, kalau tidak dapat dikatakan sebagai
pelengkap penderita atau sekadar lembaga stempel untuk menyetujui segala
kebijakan pemerintah.
Tidaklah mengherankan jika di
era reformasi ini ada anggapan bahwa DPR ingin memperkuat diri mereka bukan
saja dalam fungsi legislatif, melainkan juga ingin memiliki fungsi eksekutif
seperti menentukan pejabat negara, duta besar, pimpinan lembaga negara
nonstruktural, dan macam-macam jabatan lainnya melalui proses fit and proper test. DPR juga dituduh
ingin memiliki kekuasaan dalam ranah yudisial, seperti dalam kasus
penyelesaian Bank Century yang sejak 2009 hingga kini belum juga selesai. Kondisi
itulah yang disebut dengan legislative heavy.
Perdebatan antara KMP dan KIH
soal beberapa ayat di dalam Pasal 74 dan Pasal 98 harus dipahami sebagai
kekhawatiran bahwa DPR akan menerapkan gaya politik parlementer seperti era
1940-an dan 1950-an yang menyebabkan jatuh bangun kabinet dan sulit nya
kabinet bekerja secara tenang. Intinya, KIH meng inginkan tidak terjadinya
pelemahan terhadap sistem presidensial.
Belajar dari pemakzulan Gus Dur
Meskipun tidak sama dan
sebangun, koalisi partai pendukung Prabowo-Hatta yang menyebut dirinya
Koalisi Merah Putih (KMP) memiliki kemiripan dengan koalisi Poros Tengah
pasca-Pemilu Legislatif 1999. Koalisi Poros Tengah juga terdiri atas partai-partai
nasionalis dan Islam yang dimotori Amien Rais. Koalisi tersebut saat itu
berupaya menjegal Megawati Soekarnoputri untuk dipilih MPR-RI menjadi
Presiden RI pasca-Pemilu 1999 dan mendukung Abdurrahman Wahid sebagai
Presiden RI pertama era reformasi. Apa lacur, kurang dari dua tahun Gus Dur
menjadi presiden, pada Juli 2001 koalisi Poros Tengah itu pula yang
mengajukan pemakzulan terhadap Presiden Wahid.
Untuk mencegah begitu mudahnya
seorang presiden dimakzulkan, MPR melakukan amendemen untuk mengatur tata
cara pemakzulan seorang presiden. Hasilnya ialah keluarnya Pasal 7B yang
membuat tata cara pemakzulan begitu sulit, tidak seperti yang terjadi pada
Gus Dur. Seorang presiden atau wakil presiden dapat dimakzulkan apabila
melanggar UUD 1945 dan melakukan tindak pidana hukum yang amat berat. Proses
pemakzulan begitu panjang, harus diajukan di DPR, jika disetujui DPR harus
diuji kelayakan legalnya melalui Mahkamah Konstitusi, dan jika MK menyetujui
kemudian dibawa Sidang Paripurna MPR dengan syarat disetujui tiga perempat
dari dua pertiga anggota MPR yang hadir.
Hak-hak pengawasan DPR, yaitu
hak bertanya, hak angket, dan hak interpelasi, yang bisa mengarah ke hak
menyatakan pendapat DPR memang membutuhkan aturan pelaksanaan. Karena yang
akan diatur hanya terkait dengan posisi menteri atau pejabat negara lainnya,
pelaksanaan cukup diatur di UU. Selama ini pelaksanaan hak-hak DPR seperti
hak bertanya, hak angket, dan hak interpelasi sudah berjalan khususnya selama
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2014. Namun, apakah
kemudian DPR dapat merekomendasikan pencopotan seorang pejabat setingkat
menteri, inilah soalnya. Hak untuk mengangkat dan memberhentikan menteri atau
pejabat tinggi negara ialah hak prerogatif presiden. Karena itu, DPR tidak
boleh mengintervensi kekuasaan eksekutif presiden yang sudah diatur dan
dijamin konstitusi negara kita.
Komisi
atau alat-alat kelengkapan dewan dapat saja berdebat tajam dengan mitra
mereka, para menteri di kabinet. Namun, itu bukan berarti DPR dapat
merekomendasikan kepada presiden untuk memberikan sanksi keras seperti
pencopotan jabatan. DPR dan Presiden ialah dua
lembaga yang terpisah, tidak seperti PM dan DPR pada sistem parlementer.
Karena itu, adalah tugas kita bersama meluruskan tugas dan fungsi DPR, agar
sistem demokrasi kita semakin matang dan sistem presidensial yang kita anut
semakin baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar