Rabu, 19 November 2014

Menegakkan Sistem Presidensial

                               Menegakkan Sistem Presidensial

Ikrar Nusa Bhakti  ;   Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik-LIPI
MEDIA INDONESIA,  18 November 2014

                                                                                                                       


SETELAH berdialog cukup lama, hiruk pikuk antara kubu Koalisi Merah putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tampaknya akan segera berakhir. Senin (17/11), atau Selasa (18/11), kedua kubu akan menandatangani kesepakatan mengenai penentuan pimpinan alat-alat kelengkapan DPR RI dan juga penghapusan ayat-ayat krusial di dalam UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) seperti Pasal 74 ayat (3) sampai dengan ayat (5) serta Pasal 98 ayat (7) dan ayat (8).

Dari Pasal 74 UU MD3 yang ditiadakan ialah ayat 3: `Setiap pejabat negara atau pejabat pemerintah yang mengabaikan rekomendasi DPR, DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, atau hak anggota DPR mengajukan pertanyaan'.

Ayat 4: `Dalam hal pejabat negara atau pejabat pemerintah mengabaikan atau tidak melaksanakan rekomendasi DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, atau hak anggota DPR mengajukan pertanyaan'.

Ayat 5: `DPR dapat meminta presiden untuk memberikan sanksi administratif kepada pejabat negara atau pejabat pemerintah yang tidak melaksanakan atau mengabaikan rekomendasi DPR'.

Dari Pasal 98 UU MD3 ayat yang tetap atau tidak diubah ialah ayat 6: `Keputusan dan/atau kesimpulan rapat kerja komisi atau rapat kerja gabungan komisi bersifat mengikat antara DPR dan pemerintah serta wajib dilaksanakan oleh pemerintah'. Yang ditiadakan ialah ayat 7 yang berbunyi `Dalam hal pejabat negara dan pejabat pemerintah tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (6), komisi dapat mengusulkan penggunaan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, atau hak anggota mengajukan pertanyaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan' dan ayat 8: `DPR dapat meminta presiden untuk memberikan sanksi administratif kepada pejabat negara dan pejabat pemerintah yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (6)'.

Mencegah legislative heavy

Bila kita amati apa yang terjadi di DPR saat ini, secara adil harus diakui bahwa hiruk pikuk di dewan bukan melulu urusan perebutan jabatan atau kursi pimpinan DPR dan juga alat-alat kelengkapan dewan, melainkan juga dan terlebih penting lagi ialah bagaimana DPR dapat berperan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai lembaga legislatif di dalam sistem presidensial, dan bukan sebagai institusi superbody dalam sistem parlementer.

Ada perbedaan yang amat menonjol antara sistem parlementer dan sistem presidensial. Di dalam sistem parlementer, lembaga eksekutif dan legislatif merupakan satu kesatuan. Artinya, anggota kabinet dari perdana menteri sampai ke menteri-menterinya ialah juga anggota legislatif. Pembedaannya ialah para anggota kabinet merupakan kelompok garis depan (front bencher), sedangkan anggota DPR pendukungnya ialah kelompok garis belakang atau back bencher.

Sistem parlementer juga memungkinkan para anggota DPR melakukan mosi tidak percaya terhadap perdana menteri, wakil perdana menteri, dan para menteri kabinet bila ada kebijakan yang dibuat dan atau dijalankan bertentangan dengan konstitusi negara, UU, atau ideologi dan kebijakan pokok yang dianut negara. Kabinet Sukiman, misalnya, jatuh akibat Menlu Achmad Soebardjo saat itu dituduh menandatangani kesepakatan dengan Amerika Serikat (AS) yang bertentangan dengan garis pokok politik luar negeri RI yang bebas dan aktif.

Dalam sejarah Indonesia, saat kita masih menerapkan sistem demokrasi parlementer 1945-1949 (pasca-Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai dengan praKonferensi Meja Bundar 27 Desember 1949) dan 1950-1959 (setelah Republik Indonesia Serikat dibubarkan pada 17 Agustus 1950 sampai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959), pemerintahan sering jatuh bangun dalam kurun waktu yang amat singkat, dan tidak sedikit perdana menteri atau menteri yang dicopot melalui mosi tidak percaya di parlemen.

Sebaliknya, sistem parlementer juga memungkinkan presiden sebagai kepala negara membubarkan parlemen, seperti yang dilakukan Presiden Soekarno melalui Dekrit 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan kembali ke UUD 1945 yang asli, disusul dengan pembubaran DPR hasil pemilihan umum yang demokratis 1955.

Di dalam sistem presidensial, kedudukan DPR dan presiden bersifat sejajar atau neben. Di satu sisi DPR tidak dapat mela neben. Di satu sisi DPR tidak dapat kukan mosi tidak percaya terhadap presiden dan para menterinya dan di sisi lain presiden juga tidak dapat membubarkan parlemen. Dua institusi tersebut, legislatif dan eksekutif, benar-benar terpisah dan memiliki wewenang, tugas, dan fungsi yang berbeda sesuai dengan aturan konstitusi negara, dalam hal ini UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang meru pakan hasil dari empat kali amendemen terhadap UUD 1945 yang asli.

Pasca-1998 atau yang dikenal dengan era reformasi, memang ada upaya-upaya untuk memperkuat lembaga legislatif (DPR) karena selama era Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dan era Demokrasi Pancasila (1966-1998), DPR Gotong Royong dan DPR hanyalah pelengkap penyerta di dalam sistem politik Indonesia, kalau tidak dapat dikatakan sebagai pelengkap penderita atau sekadar lembaga stempel untuk menyetujui segala kebijakan pemerintah.

Tidaklah mengherankan jika di era reformasi ini ada anggapan bahwa DPR ingin memperkuat diri mereka bukan saja dalam fungsi legislatif, melainkan juga ingin memiliki fungsi eksekutif seperti menentukan pejabat negara, duta besar, pimpinan lembaga negara nonstruktural, dan macam-macam jabatan lainnya melalui proses fit and proper test. DPR juga dituduh ingin memiliki kekuasaan dalam ranah yudisial, seperti dalam kasus penyelesaian Bank Century yang sejak 2009 hingga kini belum juga selesai. Kondisi itulah yang disebut dengan legislative heavy.

Perdebatan antara KMP dan KIH soal beberapa ayat di dalam Pasal 74 dan Pasal 98 harus dipahami sebagai kekhawatiran bahwa DPR akan menerapkan gaya politik parlementer seperti era 1940-an dan 1950-an yang menyebabkan jatuh bangun kabinet dan sulit nya kabinet bekerja secara tenang. Intinya, KIH meng inginkan tidak terjadinya pelemahan terhadap sistem presidensial.

Belajar dari pemakzulan Gus Dur

Meskipun tidak sama dan sebangun, koalisi partai pendukung Prabowo-Hatta yang menyebut dirinya Koalisi Merah Putih (KMP) memiliki kemiripan dengan koalisi Poros Tengah pasca-Pemilu Legislatif 1999. Koalisi Poros Tengah juga terdiri atas partai-partai nasionalis dan Islam yang dimotori Amien Rais. Koalisi tersebut saat itu berupaya menjegal Megawati Soekarnoputri untuk dipilih MPR-RI menjadi Presiden RI pasca-Pemilu 1999 dan mendukung Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI pertama era reformasi. Apa lacur, kurang dari dua tahun Gus Dur menjadi presiden, pada Juli 2001 koalisi Poros Tengah itu pula yang mengajukan pemakzulan terhadap Presiden Wahid.

Untuk mencegah begitu mudahnya seorang presiden dimakzulkan, MPR melakukan amendemen untuk mengatur tata cara pemakzulan seorang presiden. Hasilnya ialah keluarnya Pasal 7B yang membuat tata cara pemakzulan begitu sulit, tidak seperti yang terjadi pada Gus Dur. Seorang presiden atau wakil presiden dapat dimakzulkan apabila melanggar UUD 1945 dan melakukan tindak pidana hukum yang amat berat. Proses pemakzulan begitu panjang, harus diajukan di DPR, jika disetujui DPR harus diuji kelayakan legalnya melalui Mahkamah Konstitusi, dan jika MK menyetujui kemudian dibawa Sidang Paripurna MPR dengan syarat disetujui tiga perempat dari dua pertiga anggota MPR yang hadir.

Hak-hak pengawasan DPR, yaitu hak bertanya, hak angket, dan hak interpelasi, yang bisa mengarah ke hak menyatakan pendapat DPR memang membutuhkan aturan pelaksanaan. Karena yang akan diatur hanya terkait dengan posisi menteri atau pejabat negara lainnya, pelaksanaan cukup diatur di UU. Selama ini pelaksanaan hak-hak DPR seperti hak bertanya, hak angket, dan hak interpelasi sudah berjalan khususnya selama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2014. Namun, apakah kemudian DPR dapat merekomendasikan pencopotan seorang pejabat setingkat menteri, inilah soalnya. Hak untuk mengangkat dan memberhentikan menteri atau pejabat tinggi negara ialah hak prerogatif presiden. Karena itu, DPR tidak boleh mengintervensi kekuasaan eksekutif presiden yang sudah diatur dan dijamin konstitusi negara kita.

Komisi atau alat-alat kelengkapan dewan dapat saja berdebat tajam dengan mitra mereka, para menteri di kabinet. Namun, itu bukan berarti DPR dapat merekomendasikan kepada presiden untuk memberikan sanksi keras seperti pencopotan jabatan. DPR dan Presiden ialah dua lembaga yang terpisah, tidak seperti PM dan DPR pada sistem parlementer. Karena itu, adalah tugas kita bersama meluruskan tugas dan fungsi DPR, agar sistem demokrasi kita semakin matang dan sistem presidensial yang kita anut semakin baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar