BBM
dan Dilema Jokowi
Ade Wiharso ; Peneliti Media Survei Nasional (Median)
|
REPUBLIKA,
18 November 2014
Terpilihnya
Joko Widodo sebagai presiden RI tak terlepas dari dukungan signifikan
pemilih, terutama rakyat kecil. Hasil exit poll beberapa lembaga survei pada
pilpres lalu setidaknya membuktikan itu. Lembaga survei Indikator pada
Pilpres 2014 mencatat, mayoritas pemilih yang berpendapatan di bawah Rp 1
juta per bulan sebanyak 47 persen memilih Jokowi-Jusuf Kalla, 37 persen
memilih Prabowo-Hatta, dan sisanya tidak menjawab.
Dilihat
dari sisi penokohan pada saat kampanye Pilpres 2014, pasangan Jokowi-Jusuf
Kalla lebih mengesankan sebagai pihak yang mewakili rakyat kecil (wong cilik).
Terlihat dari salah satu iklan kampanye Jokowi-JK yang memuat adegan mereka
makan bareng rakyat kecil di atas tikar secara lesehan. Tidak heran jika
Pilpres 2014 dikatakan sebagai pertarungan antara masyarakat priayi
(bangsawan) versus masyarakat wong cilik.
Selain
kuatnya dukungan wong cilik, kemunculan Jokowi sebagai kandidat capres juga
tidak terlepas dari usaha rakyat di luar partai yang telah mendorongnya
mendapatkan restu dari PDIP sebagai pengusung. Kentalnya keberadaan kekuatan
rakyat "ekstrapartai" itu sangat terasa ketika sejumlah relawan
mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi sebagai capres 2014.
Setidaknya
dukungan dari kalangan rakyat "ekstrapartai" itu membuat Jokowi
menemukan "kaki politik"-nya di luar partai-partai politik.
"Kaki politik" Jokowi ini kian berpijak pada landasan yang mapan
ketika lembaga-lembaga survei mengumumkan hasil jajak pendapat yang
menempatkan Jokowi sebagai tokoh dengan elektabilitas tertinggi sebagai
presiden mengungguli seluruh elite yang telah lama dikenal publik, seperti
Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, dan Aburizal Bakrie. Dalam arti
lain, secara tak disadari gerakan "ekstrapartai" yang menciptakan
"kaki politik" Jokowi ini menedapatkan pengukuhan empiris melalui
hasil-hasil survei yang diumumkan ke hadapan publik. Dan, pada akhirnya
Jokowi yang berpasangan dengan JK memenangi perebutan kursi presiden.
Dari
fenomena itu, bisa dikatakan kemenangan Jokowi ini sebagai kemenangan rakyat
kecil yang sebagian besar mendukungnya. Kemenangan Jokowi juga perlu dianggap
sebagai kemenangan rakyat di luar partai yang mampu mengungguli dominasi para
elite partai politik dengan "memperalat" Jokowi untuk tampil
sebagai (calon) presiden. Sebuah terobosan yang hampir tak diperhitungkan
sama sekali dalam sejarah politik Indonesia modern. Karena itu, tidak
berlebihan jika dikatakan corak paling mencolok pemerintahan Jokowi-JK adalah
popular-based government
(pemerintah didasarkan dukungan rakyat).
Realitas sulit
Sayangnya,
kuatnya kesan pemerintahan Jokowi-JK sebagai representasi pemerintahan
berdasarkan dukungan rakyat, akhirnya harus dihadapkan pada realitas
dilematis, ketika pemerintahan baru ini berencana
mengeluarkan kebijakan yang akan memberatkan konstituen terbanyaknya sendiri,
melalui kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di awal-awal pemerintahannya.
Kepastian
pemerintah menaikkan harga BBM itu bisa dilihat dari pernyataan Wapres Jusuf
Kalla bahwa pengumuman kenaikan harga BBM bersubsidi akan langsung
disampaikan oleh Presiden Jokowi. Bagi pemerintahan baru ini, menaikkan harga
BBM adalah kenyataan pahit yang harus diambil berdasarkan argumen selama ini
subsidi BBM yang hingga ratusan triliun bisa mengguncang APBN. Mengingat
sepanjang 2014 total subsidi energi diprediksi mencetak rekor hingga lebih
dari Rp 350 triliun. Jumlahnya mencapai sekitar 21 persen dari total anggaran
pemerintah atau sekitar 3,4 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Keberadaan
subsidi BBM yang terlampau tinggi dan hanya dinikmati sebagian besar kalangan
kelas menengah ke atas membuat pemerintah memiliki alasan rasional untuk
mengurangi subsidi BBM. Namun, rasionalisasi alasan itu harus berbenturan
dengan kenyataan pahit yang harus ditanggung rakyat, terutama wong cilik,
yang selama ini menjadi konstituen terbesar Jokowi.
Rakyat
terutama kalangan menengah ke bawah adalah pihak yang akan terdampak paling
kuat jika harga BBM naik. Mengingat, efek domino berupa kenaikan barang
kebutuhan pokok karena meningkatnya inflasi. Di sisi lain, pendapatan rakyat
tidak meningkat atau hanya sedikit kenaikannya, padahal mereka harus
mengeluarkan uang untuk konsumsi makanan, transportasi, pendidikan,
kesehatan, dan sebagainya.
Jadi,
walaupun pemerintahan Jokowi-JK telah menyiapkan cadangan sekitar Rp 10
triliun (Rp 5 triliun dana bantuan sosial dari APBNP 2014 dan Rp 5 triliun
dari APBN 2015) yang dapat dibagi kepada penduduk miskin untuk mengurangi
dampak langsung kenaikan harga BBM. Pada kenyataannya, pengurangan subsidi
BBM itu secara langsung diperkirakan akan lebih memukul daya tahan rakyat kecil.
Sebab, setiap kenaikan harga BBM sebesar Rp 3.000 per liter akan menambah
tingkat inflasi 3,2 persen.
Kenyataan
pahit itu semakin urgen untuk dilakukan ketika Jokowi harus mengakomodiasi
kalangan investor. Kita tahu sejak awal pemerintahan Jokowi-JK amat berambisi
mengajak para investor menanamkan modalnya di Indonesia, seperti di
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC di Beijing, Cina. Pada saat itu, Jokowi
menawarkan sejumlah peluang investasi kepada para CEO dunia dengan meyakinkan
akan tingginya potensi Indonesia.
Keinginan
untuk menarik sebanyak-banyaknya investasi itu harus dibarengi kebijakan
ekonomi yang sejalan dengan kepercayaan investor. Kondisi selama ini terlihat
bahwa investor cemas dengan berlarutnya defisit transaksi berjalan dan fiskal
di Indonesia. Para investor pasti memahami, selama ini transaksi berjalan dan
fiskal pemerintah telah mengalami defisit, setidaknya sejak akhir
pemerintahan SBY. Dan, bagi para investor itu, solusi yang harus diambil
untuk mengurangi dual deficits ini, di samping peningkatan ekspor, adalah
pengurangan subsidi BBM. Kebijakan menaikkan harga BBM itu penting di mata
investor untuk menunjukkan ketegasan pemerintah dalam mengambil keputusan
yang tidak populer.
Di sinilah kenyataan pahit yang harus diambil Jokowi, sebagai
pemerintahan yang didukung sebagian besar kalangan wong cilik dan didorong
oleh kalangan rakyat "ekstrapartai. Di sisi lain harus mengeluarkan
kebijakan yang tidak populis demi mengurangi membengkaknya pengeluaran
subsidi BBM dan meningkatkan kepercayaan kalangan investor. Dengan kondisi
begitu, bisa diperkirakan masa awal pemerintahan Jokowi-JK akan dihadapkan
pada posisi dilematis karena berada di antara dua potensi, yaitu kemarahan
rakyat pendukung Jokowi akibat efek domino kenaikan harga BBM atau absennya
kepercayaan dari kaum investor atas kebijakan ekonomi karena keengganan
mereformasi politik subsidi.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar