Membaca
Visi Pendidikan dan Kebudayaan Jokowi
Junaidi Abdul Munif ; Direktur
el-Wahid Center, Semarang
|
MEDIA
INDONESIA, 17 November 2014
PRESIDEN
Joko Widodo telah `memangkas' Kemendikbud menjadi Kementerian Kebudayaan
Pendidikan Dasar dan Menengah (Anies Baswedan) dan menggabung Kementerian
Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi (Mohammad Nasir). Nomenklatur baru itu
akan membawa konsekuensi dunia pendidikan berjalan pada dua arah. Pendidikan
dasar dan menengah tetap berada jalur kebudayaan, sementara pendidikan tinggi
diarahkan memiliki korelasi dengan riset dan teknologi.
Dipertahankannya
nomenklatur kebudayaan untuk Kemendikbud-Dikdasmen, tapi tidak untuk
Kementerian Riset dan Dikti, menuai banyak kritik dari budayawan dan
intelektual. Menurut mereka, kebudayaan bermakna luas, tidak semata berurusan
dengan produk material, tetapi mencakup banyak aspek; mental, spirit,
identitas, dan karakter manusia Indonesia. Daoed Joesoef (Kompas, 7/10) menyesalkan penghapusan
kebudayaan dari pendidikan tinggi seraya mempertanyakan nasib fakultas ilmu
budaya dan PT yang secara khusus mengajarkan rumpun ilmu budaya dan seni.
Setelah
pengembalian kebudayaan ke dalam kementerian pendidikan yang dilakukan pada
2011 Kita patut bertanya; kebudayaan apa yang
akan diurusi Anies Baswedan dan mana yang diurusi Puan Maharani, agar tidak
terjadi tumpang-tindih kebijakan dan berujung pada `rebutan' anggaran untuk
mengurusi kebudayaan? Sejauh mana kebudayaan akan dielaborasi pemerintahan
Jokowi-JK untuk melahirkan revolusi mental harus mendapat perhatian serius.
Kebudayaan tanpa pembangunan mental ialah nonsens.
Luaran kebudayaan
Teknologi
merupakan salah satu hasil dari budi dan daya manusia. Inilah tantangan yang
harus dihadapi setiap negara-bangsa untuk unggul dalam percaturan global.
Meskipun
sebelumnya Indonesia memiliki Kementerian Riset dan Teknologi serta beberapa
lembaga penelitian yang kredibel, agaknya Jokowi merasa itu belum berhasil
membuat hasil riset kita terpublikasi dan termanfaatkan secara luas. Di era
teknologi, penemuan dan pengembangan teknologi mutlak adanya agar Indonesia
dapat sejajar dengan negara-negara dengan riset yang maju. Jokowi tentu masih
ingat betul dengan mobil Esemka yang kini `mati angin' karena kurangnya
pendalaman riset.
Pembagian
pendidikan menjadi dua kementerian ini menunjukkan motivasi `kabinet kerja'
pemerintahan Jokowi-JK. Output (luaran) dari proses pendidikan ialah adanya
riset dan teknologi yang gigantik. Hasil dari riset itu diarahkan ke ke
maslahatan masyarakat.
Menentukan
prioritas antara luaran kebudayaan yang konkeit (hasil riset/ teknologi) dan
kebudayaan yang abstrak merupakan pilihan yang pahit. Namun, hal itu cukup
perlu dilakukan daripada kita gagal mendapatkan keduanya. Selama ini banyak
pemikir yang cenderung skeptis dan gelisah melihat Indonesia. Secara
teknologi masih ketinggalan, sementara identitas kebudayaan Indonesia
dianggap telah meluntur seiring invasi kebudayaan global.
Ignas
Kleden (1987) mengatakan di Indonesia kebudayaan lebih sering berbicara
tentang nilai daripada pengetahuan. Pendekatannya pun lebih pada kerja
`romantik', yakni menggali nilai lama yang luhur. Jika kebudayaan didekati
sebagai sistem pengetahuan dengan di imbangi penelitian, ada dua tipologi
penelitian, yakni menguatkan body of
knowledge yang bertujuan memperkuat keilmuan dan teori tertentu, serta
penelitian terapan, dengan hasil yang berguna untuk masyarakat. Jokowi-JK
memilih memprioritaskan tujuan yang kedua.
Pilihan itu diambil mengingat
selama ini hasil-hasil penelitian, baik untuk ke dalam dan ke luar, belum
optimal. Kalau keduanya tak bisa dipenuhi, harus ada satu yang bisa dipenuhi.
Sepertinya Indonesia belum sampai pada tahap negara gagal, yang seperti mobil
sudah saatnya turun mesin.
Sering
kali kita menganggap bahwa kebudayaan adalah hal-hal yang kasatmata, dalam
wujud kesenian dan benda cagar budaya yang memiliki nilai komoditas-ekonomis.
Pandangan demikian nyaris menggejala di masyarakat. Namun, hal itu tidak
sepenuhnya keliru karena kesenian dan cagar budaya memang salah satu aspek
dari kebudayaan yang maknanya sangat luas itu.
Persoalannya
kalau kebudayaan seolah dipisahkan dari pendidikan, di manakah `kebudayaan'
akan bekerja? Leo Tolstoy, novelis Rusia, memiliki pemikiran yang cukup unik,
bahwa pendidikan adalah kebudayaan. Kebudayaan adalah lumbung nilai yang
besar, luas, heterogen, yang bergerak untuk memenuhi kebu tuhan masa kini dan
masa depan yang lebih baik (Archambault,
1999). Artinya, tanpa embel-embel pendidikan dan kebudayaan, sudah secara
otomatis pendidikan adalah sama dengan kebudayaan.
Sangat
mungkin, urusan kebudayaan yang berkaitan dengan nilai dan anasir yang tak
kasatmata akan menjadi pekerjaan menko bidang pembangunan manusia dan
kebudayaan. Di sinilah kebudayaan yang bekerja secara invisible dirumuskan
dan diberdayakan agar menjadi nilai, pengetahuan, sikap, dan mental manusia
Indonesia. Tentu sebagai kementerian yang baru, perlu dilakukan kajian yang
mendalam untuk menyeleksi kebudayaan yang pas untuk karakter masyarakat
Indonesia.
Kebudayaan kerja
Ketika
Jokowi-JK memilih nama Kabinet Kerja, dengan simbol baju yang dilipat
lengannya, pemerintah mengajak masyarakat untuk bekerja bersama pemerintah
demi Indonesia yang lebih baik. Dengan kata lain, Jokowi sedang mengajak
kabinet dan masyarakat untuk meningkatkan etos kerja. Bagi masyarakat yang
mengalami `luka politik' yang diakibatkan ulah elite politik, ajakan itu bisa
ditolak. Masyarakat merasa sudah bekerja dan memenuhi kewajiban sebagai warga
negara, tapi korupsi merajalela. Etos kerja harus diimbangi dengan tanggung
jawab elite, kerendahan hati, dan tahu diri agar bisa menghormati masyarakat,
dan merasa malu terhadap perbedaan (kesenjangan) sosial yang mencolok (Frans van Magnis, Prisma, No 11, Desember
1978).
Pengalaman
menunjukkan, pada saat Jokowi menjadi Wali Kota Surakarta, ia melakukan
pemindahan PKL dengan kirab budaya, setelah dilakukan dialog yang beruntun
bersama PKL. Pemindahan PKL bertujuan kebijakan yang mungkin tak ada sangkut
pautnya dengan kebudayaan secara an sich. Namun, kebudayaan menjadi strategi
untuk mewujud kan kebijakan-kebijakan yang berurusan dengan publik.
Pendidikan
merupakan proses investasi jangka panjang. Dengan memecah kementerian
pendidikan, bukan Jokowi-JK lagi yang akan merasakan hasilnya. Pemerintahan
selanjutnya yang harus meneruskan prakarsa Jokowi-JK ini. Generasi 20-30
tahun setelah generasi sekarang yang akan memanen hasilnya. Kalau pemisahan
itu dilakukan, Jokowi sedang mengupayakan kebudayaan layaknya hidden strategy atau cara tersembunyi.
Kebudayaan secara seminormatif hadir pada nomenklatur pendidikan serta juklak
dan juknisnya, tetapi menjadi spirit dan cara bagi proses pendidikan itu
sendiri.
Di
sinilah, perwujudan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kementerian
Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi memerlukan peta jalan (road map) yang komprehensif dan
kontinu. Pada anak-anak usia sekolah dasar dan menengah, kebudayaan tak boleh
sama sekali absen. Pada usia itulah penanaman nilai budaya dan karakter harus
diberikan secara penuh. Diharapkan, anak-anak itu ketika mencapai masa remaja
akhir dan dewasa sudah mempunyai budaya yang unggul. Di usia dewasa, mereka
tinggal menghasilkan `produk kebudayaan' baru.
Hal itu
memerlukan padu visi-misi dari hulu hingga hilir, yakni birokrat, teknokrat,
dan guru yang memahami kebudayaan sebagai roh dalam merealisasikan
tujuan-tujuan pendidikan dan kebudayaan yang bersifat konkret. Pertanyaannya,
sudah siapkah kita dengan orang-orang yang telah memahami kebudayaan
sedemikian rupa? Ini yang juga mesti dijawab oleh pemerintahan Jokowi-JK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar