Selasa, 18 November 2014

Membaca Visi Pendidikan dan Kebudayaan Jokowi

Membaca Visi Pendidikan dan Kebudayaan Jokowi

Junaidi Abdul Munif  ;   Direktur el-Wahid Center, Semarang
MEDIA INDONESIA, 17 November 2014

                                                                                                                       


PRESIDEN Joko Widodo telah `memangkas' Kemendikbud menjadi Kementerian Kebudayaan Pendidikan Dasar dan Menengah (Anies Baswedan) dan menggabung Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi (Mohammad Nasir). Nomenklatur baru itu akan membawa konsekuensi dunia pendidikan berjalan pada dua arah. Pendidikan dasar dan menengah tetap berada jalur kebudayaan, sementara pendidikan tinggi diarahkan memiliki korelasi dengan riset dan teknologi.

Dipertahankannya nomenklatur kebudayaan untuk Kemendikbud-Dikdasmen, tapi tidak untuk Kementerian Riset dan Dikti, menuai banyak kritik dari budayawan dan intelektual. Menurut mereka, kebudayaan bermakna luas, tidak semata berurusan dengan produk material, tetapi mencakup banyak aspek; mental, spirit, identitas, dan karakter manusia Indonesia. Daoed Joesoef (Kompas, 7/10) menyesalkan penghapusan kebudayaan dari pendidikan tinggi seraya mempertanyakan nasib fakultas ilmu budaya dan PT yang secara khusus mengajarkan rumpun ilmu budaya dan seni.

Setelah pengembalian kebudayaan ke dalam kementerian pendidikan yang dilakukan pada 2011 Kita patut bertanya; kebudayaan apa yang akan diurusi Anies Baswedan dan mana yang diurusi Puan Maharani, agar tidak terjadi tumpang-tindih kebijakan dan berujung pada `rebutan' anggaran untuk mengurusi kebudayaan? Sejauh mana kebudayaan akan dielaborasi pemerintahan Jokowi-JK untuk melahirkan revolusi mental harus mendapat perhatian serius. Kebudayaan tanpa pembangunan mental ialah nonsens.

Luaran kebudayaan

Teknologi merupakan salah satu hasil dari budi dan daya manusia. Inilah tantangan yang harus dihadapi setiap negara-bangsa untuk unggul dalam percaturan global.

Meskipun sebelumnya Indonesia memiliki Kementerian Riset dan Teknologi serta beberapa lembaga penelitian yang kredibel, agaknya Jokowi merasa itu belum berhasil membuat hasil riset kita terpublikasi dan termanfaatkan secara luas. Di era teknologi, penemuan dan pengembangan teknologi mutlak adanya agar Indonesia dapat sejajar dengan negara-negara dengan riset yang maju. Jokowi tentu masih ingat betul dengan mobil Esemka yang kini `mati angin' karena kurangnya pendalaman riset.

Pembagian pendidikan menjadi dua kementerian ini menunjukkan motivasi `kabinet kerja' pemerintahan Jokowi-JK. Output (luaran) dari proses pendidikan ialah adanya riset dan teknologi yang gigantik. Hasil dari riset itu diarahkan ke ke maslahatan masyarakat.

Menentukan prioritas antara luaran kebudayaan yang konkeit (hasil riset/ teknologi) dan kebudayaan yang abstrak merupakan pilihan yang pahit. Namun, hal itu cukup perlu dilakukan daripada kita gagal mendapatkan keduanya. Selama ini banyak pemikir yang cenderung skeptis dan gelisah melihat Indonesia. Secara teknologi masih ketinggalan, sementara identitas kebudayaan Indonesia dianggap telah meluntur seiring invasi kebudayaan global.

Ignas Kleden (1987) mengatakan di Indonesia kebudayaan lebih sering berbicara tentang nilai daripada pengetahuan. Pendekatannya pun lebih pada kerja `romantik', yakni menggali nilai lama yang luhur. Jika kebudayaan didekati sebagai sistem pengetahuan dengan di imbangi penelitian, ada dua tipologi penelitian, yakni menguatkan body of knowledge yang bertujuan memperkuat keilmuan dan teori tertentu, serta penelitian terapan, dengan hasil yang berguna untuk masyarakat. Jokowi-JK memilih memprioritaskan tujuan yang kedua. 
Pilihan itu diambil mengingat selama ini hasil-hasil penelitian, baik untuk ke dalam dan ke luar, belum optimal. Kalau keduanya tak bisa dipenuhi, harus ada satu yang bisa dipenuhi. Sepertinya Indonesia belum sampai pada tahap negara gagal, yang seperti mobil sudah saatnya turun mesin.

Sering kali kita menganggap bahwa kebudayaan adalah hal-hal yang kasatmata, dalam wujud kesenian dan benda cagar budaya yang memiliki nilai komoditas-ekonomis. Pandangan demikian nyaris menggejala di masyarakat. Namun, hal itu tidak sepenuhnya keliru karena kesenian dan cagar budaya memang salah satu aspek dari kebudayaan yang maknanya sangat luas itu.

Persoalannya kalau kebudayaan seolah dipisahkan dari pendidikan, di manakah `kebudayaan' akan bekerja? Leo Tolstoy, novelis Rusia, memiliki pemikiran yang cukup unik, bahwa pendidikan adalah kebudayaan. Kebudayaan adalah lumbung nilai yang besar, luas, heterogen, yang bergerak untuk memenuhi kebu tuhan masa kini dan masa depan yang lebih baik (Archambault, 1999). Artinya, tanpa embel-embel pendidikan dan kebudayaan, sudah secara otomatis pendidikan adalah sama dengan kebudayaan.

Sangat mungkin, urusan kebudayaan yang berkaitan dengan nilai dan anasir yang tak kasatmata akan menjadi pekerjaan menko bidang pembangunan manusia dan kebudayaan. Di sinilah kebudayaan yang bekerja secara invisible dirumuskan dan diberdayakan agar menjadi nilai, pengetahuan, sikap, dan mental manusia Indonesia. Tentu sebagai kementerian yang baru, perlu dilakukan kajian yang mendalam untuk menyeleksi kebudayaan yang pas untuk karakter masyarakat Indonesia.

Kebudayaan kerja

Ketika Jokowi-JK memilih nama Kabinet Kerja, dengan simbol baju yang dilipat lengannya, pemerintah mengajak masyarakat untuk bekerja bersama pemerintah demi Indonesia yang lebih baik. Dengan kata lain, Jokowi sedang mengajak kabinet dan masyarakat untuk meningkatkan etos kerja. Bagi masyarakat yang mengalami `luka politik' yang diakibatkan ulah elite politik, ajakan itu bisa ditolak. Masyarakat merasa sudah bekerja dan memenuhi kewajiban sebagai warga negara, tapi korupsi merajalela. Etos kerja harus diimbangi dengan tanggung jawab elite, kerendahan hati, dan tahu diri agar bisa menghormati masyarakat, dan merasa malu terhadap perbedaan (kesenjangan) sosial yang mencolok (Frans van Magnis, Prisma, No 11, Desember 1978).

Pengalaman menunjukkan, pada saat Jokowi menjadi Wali Kota Surakarta, ia melakukan pemindahan PKL dengan kirab budaya, setelah dilakukan dialog yang beruntun bersama PKL. Pemindahan PKL bertujuan kebijakan yang mungkin tak ada sangkut pautnya dengan kebudayaan secara an sich. Namun, kebudayaan menjadi strategi untuk mewujud kan kebijakan-kebijakan yang berurusan dengan publik.

Pendidikan merupakan proses investasi jangka panjang. Dengan memecah kementerian pendidikan, bukan Jokowi-JK lagi yang akan merasakan hasilnya. Pemerintahan selanjutnya yang harus meneruskan prakarsa Jokowi-JK ini. Generasi 20-30 tahun setelah generasi sekarang yang akan memanen hasilnya. Kalau pemisahan itu dilakukan, Jokowi sedang mengupayakan kebudayaan layaknya hidden strategy atau cara tersembunyi. Kebudayaan secara seminormatif hadir pada nomenklatur pendidikan serta juklak dan juknisnya, tetapi menjadi spirit dan cara bagi proses pendidikan itu sendiri.

Di sinilah, perwujudan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi memerlukan peta jalan (road map) yang komprehensif dan kontinu. Pada anak-anak usia sekolah dasar dan menengah, kebudayaan tak boleh sama sekali absen. Pada usia itulah penanaman nilai budaya dan karakter harus diberikan secara penuh. Diharapkan, anak-anak itu ketika mencapai masa remaja akhir dan dewasa sudah mempunyai budaya yang unggul. Di usia dewasa, mereka tinggal menghasilkan `produk kebudayaan' baru.

Hal itu memerlukan padu visi-misi dari hulu hingga hilir, yakni birokrat, teknokrat, dan guru yang memahami kebudayaan sebagai roh dalam merealisasikan tujuan-tujuan pendidikan dan kebudayaan yang bersifat konkret. Pertanyaannya, sudah siapkah kita dengan orang-orang yang telah memahami kebudayaan sedemikian rupa? Ini yang juga mesti dijawab oleh pemerintahan Jokowi-JK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar