Logika
Sosialisme
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif
Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 14 November 2014
Empat tahun lalu saya ke Kunming, China, menikmati udaranya yang sejuk,
alamnya yang indah, dan kulinernya yang lezat. Tak kalah menarik adalah
lapangan golfnya yang memikat dan menantang.
Lantaran keasyikan bermain golf dan kurang istirahat, malam harinya
saya merasa dada sesak sehingga minta tolong petugas hotel untuk memanggil
dokter. Sekitar jam 21.00 dokter datang ditemani tiga orang lain, lengkap
dengan peralatannya. Singkat cerita, layanan medis selesai, saya merasa
nyaman kembali.
Ketika saya tanya berapa mesti membayar, mereka menjawab, semua ini
gratis. Kami semata melaksanakan tugas melayani warga yang sakit, termasuk
tamu yang berkunjung ke sini. Layanan medis yang begitu bagus serta gratis
itu tentu memberikan kesan tersendiri di hati saya.
Sebuah negara dengan penduduk sekitar 1,3 miliar jiwa, namun bisa
melayani kesehatan tamunya dengan baik. Kenangan yang sudah cukup lama itu
muncul kembali pekan lalu ketika saya bertemu seorang teman yang berkarier
sebagai eksportir kayu, sebagian besar dikirim ke Jepang.
Dia merasa iri terhadap kemudahan yang diberikan oleh Pemerintah China
kepada para pengusaha di sana. Produk China
selalu lebih murah harganya dibanding produk Indonesia. Mengapa? Dia
bercerita, Pemerintah China selalu memberi bantuan berupa kemudahan dan
kecepatan izin kepada setiap pengusaha. Bahkan juga keringanan pajak.
Alasannya, tugas negara untuk menciptakan lapangan kerja dan memberikan
kesejahteraan bagi warganya. Jika ada pihak swasta yang berniat dan mampu
menciptakan lapangan kerja, berarti telah membantu meringankan tugas dan
beban negara sehingga pemerintah wajib berterima kasih dan membantu
kelancaran usahanya.
Jika pemerintah pusat menerima laporan bahwa birokrasi layanannya
mempersulit, langsung ditindak. Ada cerita lain dari seorang teman yang
memiliki usaha perhotelan di Shanghai. Pada 1998 ketika dilanda krisis
keuangan, pada malam hari beberapa lampu penerangan hotel dimatikan untuk
menghemat biaya karena tamu sedang sepi.
Selang beberapa hari kemudian pemilik hotel ditegur, lampu hotelnya tak
boleh dimatikan. Meski dunia sedang mengalami krisis ekonomi, Shanghai di
malam hari mesti gemerlap terang benderang. Kemegahan kota tidak boleh
terpengaruh. Ketika bertemu petugas kota yang mengurusi perhotelan, pemiliknya
menceritakan bahwa tamu sedang sepi, pemasukan menurun, sehingga manajemen
mesti melakukan penghematan biaya.
Mendengar penjelasan itu, pemerintah langsung memberikan bantuan berupa
pengurangan pajak. Kalau memang urgen, pemerintah memberikan pembebasan pajak
sampai keadaan kembali normal. Semua cerita di atas bukan hasil riset ataupun
baca buku, tetapi mendengar langsung dari seorang teman.
Pemerintah China sadar betul, tanpa partisipasi rakyat, tugas negara
sangat berat. Terlebih China yang menamakan dirinya sebagai negara
sosialisme-komunisme, negara memiliki peran dan tanggung jawab jauh lebih
besar dalam melayani rakyatnya ketimbang negara yang menganut ideologi
kapitalisme yang menekankan kebebasan bagi warganya.
Meski demikian, sesungguhnya sekarang tengah berlangsung proses
konvergensi antara narasi besar kapitalisme dan sosialisme. Negara penganut ideologi kapitalisme semakin bergerak
mendekati sosialisme, sementara negara sosialisme-komunisme bergerak ke arah
kapitalisme.
Secara ideal-konseptual, ideologi Pancasila
merupakan konvergensi antara pertarungan dua narasi besar itu. Hanya,
realisasinya masih kedodoran. Tentang pelayanan birokrasi pemerintah terhadap
inisiatif rakyat dalam melakukan usaha ekonomi, cerita dan praktik
diIndonesia sangat mengecewakan.
Lagi-lagi sambil bermain golf saya berulangkali mendengarkan cerita dan
keluhan teman-teman pengusaha, misalnya saja pertambangan, yang dipersulit
memperoleh izin, kecuali mesti menyertakan saham kosong atau suap dengan
jumlah yang fantastis untuk ukuran saya sebagai dosen yang berstatus pegawai
negeri sipil.
Alih-alih memberi kemudahan dan dorongan seperti cerita di atas,
melainkan malah memeras. Gosip bahwa pejabat birokrasi kita doyan duit ini
juga beredar di kalangan pengusaha asing. Akibat itu, citra dan wibawa
birokrasi rusak, produk dalam negeri harganya lebih mahal ketimbang barang
impor, khususnya dari China.
Isi dan semangat Pancasila dan UUD 45 sesungguhnya lebih dekat pada
mazhab sosialisme yang sangat menekankan nilai dan praktik gotong-royong,
bukan pasar bebas yang memberikan panggung kompetisi bebas bagi para
aktor-aktor ekonomi kelas kakap sehingga peran negara semakin lemah dalam
melindungi pemain-pemain kecil.
Kita menyaksikan, baik kompetisi di lautan, daratan, maupun udara,
negara sangat lemah dalam melindungi dan memfasilitasi pengusaha kecil.
Aktor-aktor besar sudah pasti yang memenangkan pertarungan. Lalu, di mana
peran pemerintah dan wakil rakyat yang lahir karena pilihan rakyat untuk
memperjuangkan dan melindungi nasib mereka?
Di sini terjadi inkonsistensi logika politik dan penyimpangan moral.
Pesan dan gerakan agama mestinya juga diarahkan ke wilayah ini demi
kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa. Jangan hanya untuk kepentingan
komunal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar