Senin, 03 November 2014

Laut Asia Tenggara Kepentingan RI

Laut Asia Tenggara Kepentingan RI

Rene L Pattiradjawane  ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 03 November 2014
                                                
                                                                                                                       


DALAM pidato pertamanya sebagai menteri, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berbicara tentang realisasi poros maritim, Rabu (29/10), melalui penegakan kedaulatan, keamanan, dan kesejahteraan tanpa merinci pengejawantahannya secara konkret. Sebagai konsep, kita menganggap poros maritim yang dibahas Menlu Marsudi tidak merinci substansi yang ingin dicapai, apalagi menjelaskan bagaimana ”poros” ini diproyeksikan dalam diplomasi Indonesia di masa mendatang.

Persoalan diplomasi Indonesia kurun lima tahun mendatang tidak lagi berbicara tentang sekadar konektivitas dan ekspansi maritim dan jalur-jalur lautnya. Kedaulatan maritim pun tidak hanya bisa sekadar berbicara masalah negosiasi yang terkait dengan persoalan perbatasan. Kita tidak melihat ada kesinambungan penting dalam pelaksanaan diplomasi yang ingin diproyeksikan dalam sentralitas kebijakan luar negeri Indonesia dalam masalah regional dan global.

Ada perubahan dinamis yang terjadi, khususnya di kawasan Asia Tenggara, ketika Tiongkok mengejawantahkan gagasan Jalur Sutra Maritim (JSM) dengan pembentukan Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB). Semua negara ASEAN, kecuali Indonesia, menandatangani memorandum pembentukan bank dengan modal awal disediakan RRT sebesar 50 miliar dollar AS.

Masalah ini, yang akan menjadi bagian pembahasan dengan Menlu RRT Wang Yi, perlu dikaji sangat mendalam apakah gagasan poros maritim Indonesia ini sejalan dengan JSM? Apakah Indonesia berbeda pandangan dengan negara-negara ASEAN yang menyetujui JSM? Apa pilihan strategis Indonesia yang tersedia, seperti gagasan Dr Rizal Sukma tentang Prakarsa Kemitraan Maritim Indonesia (IMPI, Kompas, 20/8)?

Kita harus memahami JSM adalah proposal serius Tiongkok dan pilihan strategis Indonesia adalah mengambil jalan berbeda dengan pro aktif menajamkan pemahaman atas prakarsa RRT. Atau, ikut masuk dalam lingkup pengaruh JSM mengembangkan keterkaitan ekonomi melalui investasi infrastruktur masuk ke dalam lingkup pengaruh orbit RRT yang secara perlahan tetapi pasti mempertajam gagasan tata dunia baru yang berbeda dalam bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan.

Ketika Presiden Joko Widodo berbicara tentang Poros Maritim Dunia, kita memahaminya sebagai kebutuhan domestik menghubungkan wilayah kepulauan seluruh Indonesia, sekaligus proyeksi keinginannya sebagai kebangkitan Indonesia sebagai negara maritim di kawasan dan di dunia karena posisi geostrategis di antara dua samudra.

Kita perlu menyadari dalam konsep poros maritim ini, persoalan paling mendesak adalah masalah serius di Laut Tiongkok Selatan yang berpotensi menjadi kawasan konflik klaim tumpang tindih kedaulatan. Ada dua hal perlu dipertimbangkan Indonesia terkait pengejawantahan poros maritim ini.

Pertama, mendesak RRT mempercepat perundingan tata perilaku (code of conduct) yang sedang berlangsung dan sudah mencapai kemajuan berarti tetapi tidak cukup luas mendukung gagasan JSM yang dikembangkannya. Kita tidak ingin terjebak, JSM menjadi iming-iming bagi negara ASEAN masuk ke dalam lingkup pengaruh politik, ekonomi, dan perdagangan pengembangan kekuatan lunak (softpower) RRT.

Kedua, dalam perspektif kita, JSM adalah proyeksi serius yang harus ditanggapi serius oleh Indonesia. Sejak lama, Laut Tiongkok Selatan dalam pandangan strategis Indonesia sebagai wilayah dominasi dan pengaruh Asia Tenggara, khususnya ASEAN. Seperti halnya RRT, kita perlu melindungi wilayah kepentingan inti laut tersebut, seperti perdagangan, ekonomi, dan sumber daya dalam konteks konsep poros maritim.

Oleh karena itu, kita mengusulkan tugas yang harus diemban Menlu baru adalah menamakan kawasan pengaruh inti kita di laut itu sebagai Laut Asia Tenggara, seperti halnya Tiongkok menamakannya Laut Selatan (Nan Hai) atau Vietnam menamakan Laut Timur (Bien Dong), atau Filipina menamakan Laut Filipina Barat (Dagat Kanlurang Pilipinas).

Dengan demikian, kepentingan poros maritim kita bisa terjangkau dalam lingkup kedaulatan, keamanan, dan kesejahteraan, tanpa khawatir terjebak dalam lingkup pengaruh JSM dikembangkan RRT atas nama kesejahteraan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar