Jumat, 07 November 2014

Kemaritiman dan Jiwa Cakrawati Samudra

Kemaritiman dan Jiwa Cakrawati Samudra

Ardinanda Sinulangga   ;  Aktivis dan Peneliti Indonesia Media Watch (IMW)
SINAR HARAPAN, 27 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Setidaknya ada tiga hal penting dalam pidato kenegaraan pertama Jokowi sebagai Presiden RI yang disampaikan di gedung MPR/DPR, Senin (20/10).
Pertama, ia menggarisbawahi pemikiran Bung Karno mengenai Trisakti sebagai pedoman dan prinsip mendasar jalannya pemerintahan untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Terwujudnya pemikiran Bung Karno tersebut sebagai satu tugas sejarah membutuhkan persatuan, gotong royong, dan kerja keras semua komponen bangsa.

Kedua, ia ingin memastikan setiap rakyat merasakan kehadiran pelayanan pemerintah di seluruh pelosok Tanah Air. Dengan kata lain, pemerintahan ke depan ingin memastikan tidak ada lagi satu daerah pun yang tidak merasakan pelayanan pemerintah. Ketiga, pembangunan berbasiskan maritim dan jiwa cakrawati samudra. Inilah yang menjadi poin penting dalam pidato tersebut.

Poin ketiga ini menjadi arah pembangunan yang menempatkan maritim sebagai kekuatan utama dan jiwa kepemimpinan cakrawati samudra, sebagai karakter dan gaya kepemimpinan nasional ke depan. Dalam pidatonya, secara puitis ia mengatakan jiwa cakrawati sa­mudra merupakan satu jiwa yang berani mengarungi gelombang dan empasan ombak yang menggulung.

Pernyataannya tersebut secara garis besar hampir sama dengan gagasan Bung Karno yang disampaikan di Pembukaan Munas Maritim 1963, “Kita satu per satu, seorang demi seorang harus mengetahui bahwa Indonesia, ia tidak bisa menjadi kuat, sentosa sejahtera, jikalau kita tidak menguasai samudra, jikalau kita tidak kembali menjadi bangsa samudra, jikalau kita tidak kembali menjadi bangsa bahari, bangsa pelaut sebagaimana kita kenal pada zaman bahari.”

Bagi Indonesia, pembangunan berbasiskan maritim hendaknya bukanlah sekadar retorika, melainkan haruslah menjadi kesadaran kolektif baik individual ataupun institusional penyelenggara negara mengingat kondisi geografis Indonesia yang sepertiga wilayahnya adalah lautan. Meminjam ucapan Napoleon Bonaparte, politik negara berada dalam geografinya.

Dengan kata lain, idealnya dasar politik dan pembangunan kita seharusnya sesuai kondisi geografis yang kita miliki, yakni visi maritim sebagai penuntun.

Lantas bagaimana kita memaknai kemaritiman dalam konteks Indonesia? Apa saja yang menjadi domain maritim? Pemahaman ini menjadi penting, mengingat masih adanya perbedaan pemahaman mengenai apa yang dimaksud dengan kelautan dan maritim.

Perbedaan pemahaman ini secara akademik dapat dimaknai sebagai satu diskurus ilmiah yang dinamis. Namun, jika tidak terselesaikan akan berimplikasi pada tataran implementasi bagaimana kemaritiman tersebut ditempatkan dalam tata kelola pemerintahan.

Menurut Prof Hasim Djalal (2014), kelautan adalah fisikal. Indonesia adalah negara kelautan karena fisik Indonesia adalah laut. Maritim adalah jiwa dan pikiran yang pandai memanfaatkan laut. Jika dilihat dari sisi tata bahasa, kelautan adalah kata benda, maritim adalah kata sifat.

Dengan demikian, tatkala membicarakan mengenai kemaritiman, sesungguhnya yang dikedepankan tidaklah dalam pengertian yang sempit hanya fisiknya, tetapi bagaimana suatu negara mempunyai sifat untuk menggunakan dan mengendalikan laut (sea control), serta mencegah pihak lain menggunakannya (sea denial).

Aspek penggunaannya tentunya berhubungan dengan kemampuan sumber daya untuk memanfaatkannya, baik itu sumber daya manusia maupun teknologi, sehingga menjadi sumber pendapatan ekonomi nasional. Juga untuk mencegah pihak lain menggunakannya (sea denial), sehingga yang dikedepankan adalah aspek pertahanan dan keamanan.

Mengacu Prof Indra Jaya (2012), ada tiga hal sebagai pilar utama negara berbasiskan maritim. Pertama, laut sebagai sumber kehidupan dan penghidupan yang dikelola secara optimal dan berkelanjutan. Kedua, perdagangan yang dominan. Dalam konteks ini sudah sepatutnya mengoptimalkan armada pelayaran nasional, termasuk industri pelayaran nasional dan kapasitas kepelabuhan.

Ketiga, kekuatan laut yang mampu melindungi dan menegakkan kedaulatan nasional. Dengan pemahaman demikian, dimensi kemaritiman meski ditempatkan dalam satu kerangka kerja pemerintahan yang menyeluruh dan terkoordinasi. Jadi, tidak terjadi lagi tumpang-tindih kewenangan antara satu instansi dengan yang instansi lainnya.

Secara antropologi, jiwa cakrawati samudra dapat dimaknai sebagai interaksi manusia dengan laut yang kemudian melahirkan budaya. Juga karakter kebaharian seperti seorang pelaut yang tidak bisa menghindar dari badai dan topan, tetapi menghadapi dan berusaha menaklukkannya sekuat tenaga. Dalam konteks kepemimpinan, dapat dimaknai sebagai suatu gaya kepemimpinan bersendikan model kepemimpinan maritim yang bercirikan terbuka, egaliter, dan tidak lari dari masalah, tetapi menghadapi dan menyelesaikannya.

Dengan kata lain, dalam model kepemimpinan maritim yang diutamakan adalah pengalaman, kemampuan, dan prestasi. Seseorang baru mungkin menjadi kapitan laut setelah melalui pengalaman berjenjang mulai dari anak tangga terbawah dari fungsi-fungsi kehidupan berperahu secara berhasil. Hal ini sangat mungkin dapat dikatakan sebagai masyarakat yang berorientasi prestasi, tidak memandang status sosial, sebaliknya semua orang memiliki kesempatan yang sama menduduki fungsi-fungsi kerja di dalam perahu selagi ia mampu memenangi persaingan.

Ringkasnya, prestasi dan kemampuan adalah yang utama, bukan asal-usul status bangsawan di kelompok masyarakat ataupun di internal partai. Pada titik ini, rakyat akan mengawasi apakah pidato Jokowi sebatas retorika belaka ataukah satu manifesto politik yang menempatkan satunya kata dan perbuatan menjadi garda terdepan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar