Minggu, 23 November 2014

Keanekaragaman dalam Pembelajaran

                      Keanekaragaman dalam Pembelajaran

Iwan Pranoto  ;   Pengamat Pendidikan
KORAN TEMPO,  20 November 2014

                                                                                                                       


Cara menyampaikan pelajaran rumus luas segitiga dan luas cakram tentu berbeda. Walau sama-sama bertema luas, ciri dan sifat kedua konsep tersebut berbeda. Rumus luas segitiga melibatkan penghitungan eksak semata dan terkait dengan persegi panjang, sedangkan rumus luas cakram pada tingkat SD melibatkan penghitungan yang harus dinyatakan dalam penaksiran.

Tanpa memahami perbedaan ini, pemahaman tentang gagasan luas dan keterampilan berhitung eksak serta penaksiran murid mungkin tak bisa dikuasai. Guru yang tak memahaminya sangat mungkin akan menyampaikan kedua rumus tersebut bak turun dari langit dan harus dipercaya. Ketakpahaman guru tentang konsep keilmuan merupakan cikal-bakal pembelajaran dogmatis. Sebaliknya, pemahaman keilmuan guru yang mendalam akan menghasilkan kelas dengan suasana ilmiah dan toleran.

Profesor H. Wu dari Universitas Berkeley menegaskan bahwa content dictates pedagogy in mathematics education atau bahan ajar mendikte pedagogi dalam pendidikan matematika (Wu, 2004). Dapat dibayangkan, pelajaran geometri dan pengukuran yang sama-sama membahas luas saja begitu berbeda cara penyampaiannya, apalagi cara mengajarkan ilmu hayat dan sejarah.

Keanekaragaman metode pembelajaran merupakan keniscayaan. Tak mungkin ada satu metode pembelajaran yang sama dan dapat dijejalkan ke semua mata pelajaran di seluruh Indonesia. Bahkan, sementara pada hari ini seorang guru memilih sebuah metode pembelajaran tertentu, sangat mungkin pada hari lain guru tersebut menerapkan metode lain.

Namun, walau berbineka dalam pembelajaran, pendidikan Indonesia tetap mempunyai unsur kebersatuan, yakni prinsip. Misalnya, pembelajaran matematika di Merauke dan pembelajaran seni di Nias berbeda. Alat bantu ajar keduanya berbeda, tapi harus berprinsip sama, yakni berpusat pada murid. Kedua pendidik yang mengelola dua mata pelajaran yang berlainan itu perlu berprinsip sama: tindakan pembelajaran dilakukan terutama demi perkembangan murid. Keduanya juga perlu berprinsip sama, bahwa perkembangan setiap murid hanya mungkin dicapai melalui proses belajar yang menempatkan siswa sebagai pelaku aktif utama dan dengan cara sukacita. Prinsiplah yang mempersatukan pendidikan Indonesia. Semoga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat segera merumuskan prinsip pendidikan Indonesia.

Adapun anggapan bahwa penyeragaman kecakapan anak merupakan pemersatu pendidikan Indonesia harus ditanggalkan. Justru keanekaragaman kecakapan setiap anak yang perlu dirayakan dan didorong. Jika keanekaragaman berkecambah di negara kepulauan dengan panjang dari London sampai Turki ini, sungguh tak masuk akal jika kecakapan warga harus diseragamkan, terutama dengan alat pemangkas keanekaragaman sistematis seperti ujian nasional. Barang yang diproduksi pabrik memang perlu distandarkan, tapi pendidikan umum tak boleh menyeragamkan satu pun anak manusia dan kecakapannya. Pendidikan umum tidak sama dengan pelatihan profesi yang memang menyeragamkan keterampilan khusus.

Satu kurikulum nasional yang tak cuma berisi pengetahuan-tapi juga menetapkan suatu cara untuk menyampaikannya kepada seluruh sekolah di Indonesia-tentu aneh. Di samping keanekaragaman keilmuan seperti diterangkan di atas, keadaan lingkungan dan masyarakat Indonesia juga sangat beragam.

Sejalan dengan kenyataan ini, idealnya kurikulum setiap mata pelajaran dirancang dari bawah, yang artinya perlu berangkat dari keunikan keilmuan. Misalnya, mata pelajaran sejarah tentunya memiliki karakteristik yang berbeda dengan mata pelajaran ilmu pengetahuan alam. Proporsi pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam setiap mata pelajaran juga berbeda.

Dengan dasar itu, Kemendikbud sebaiknya tidak bertindak sebagai penentu kurikulum sekolah, seperti pesan UU Sisdiknas. Kemendikbud sebaliknya mendorong setiap sekolah, bahkan setiap pendidik, agar berinovasi mengembangkan kurikulum mata pelajaran yang menurut nalar mereka paling sesuai. Penghargaan atas kemandirian ini merupakan pengejawantahan penghargaan bagi profesionalisme guru.

Kemendikbud cukup menetapkan kerangka kurikulum serta pengetahuan atau keterampilan paling minimum yang harus diajarkan sampai akhir jenjang SD, SMP, dan SMA. Ini dapat merujuk pada standar isi buatan BSNP untuk sementara waktu. Soal kapan harus mengajarkan materi tertentu, serahkan kepada pendidik.

Kurikulum 2013 sebaiknya dianggap sebagai sebuah pilihan kurikulum saja. Tak perlu menghabiskan dana, tenaga, dan waktu lagi untuk membuat penggantinya. Sudah ada beberapa kurikulum nasional. Dari yang sudah ada saat ini, berikan kebebasan kepada sekolah dan pendidik untuk memilih kurikulum dan memodifikasinya agar sesuai dengan keadaan siswa dan sekolah mereka. Perlu pula anjuran soal keanekaragaman sumber belajar, misalnya dengan anjuran penggunaan lebih dari satu sumber buku ajar (gratis dan elektronik). Dengan cara ini, keanekaragaman benar-benar mengejawantah hingga ke inti praktek pendidikan. Bukankah keanekaragaman itu yang diangankan Presiden Joko Widodo dalam bidang pendidikan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar