Kamis, 20 November 2014

IKM, MEA, dan Komitmen

                                       IKM, MEA, dan Komitmen

Achmad Maulani  ;   Pengamat Ekonomi Politik,
Kandidat Doktor Universitas Indonesia
SUARA MERDEKA, 19 November 2014

                                                                                                                       


IBARAT papan catur, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 diisi bidak pelaku industri besar, menengah, dan kecil, yang akan saling bertarung. Satu hukum yang pasti, MEA meniscayakan kebebasan aliran barang, jasa, modal, dan tenaga kerja di antara negara-negara ASEAN. Pada titik itulah posisi industri kecil menengah (IKM) punya peran strategis. IKM yang selama ini punya banyak keterbatasan dalam menggarap pasar ekspor akan menjadi benteng utama dalam menjaga pasar dalam negeri.

Karenanya, keberadaan IKM diharapkan menjadi pengaman pasar, paling tidak di sekitar lokasi usaha masing-masing. Di sinilah komitmen negara diperlukan agar pelaku IKM mampu bertarung dan tidak terlempar dari arena pasar.

Komitmen dan peran politik negara (pusat dan daerah) bisa dilakukan melalui langkah-langkah strategis untuk memberi daya hidup atas keberadaan IKM dengan berbagai paket regulasi.

Awal November 2014 BPS merilis laporan bahwa tingkat pengangguran terbuka per Agustus 2014 mencapai 5,94 % dari jumlah penduduk atau 7,24 juta orang. Sementara angkatan kerja Indonesia 182,99 juta orang. Yang lebih membuat kita prihatin tingkat pengangguran terbuka tersebut didominasi lulusan menengah kejuruan, diploma, dan universitas.

Deretan angka yang menunjukkan lonjakan pengangguran 7,4 juta orang tentu bukan fakta yang bisa dianggap remeh. Kesalahan sekecil apa pun menangani masalah justru dapat merembet ke arah problem sosial lebih akut. Terlebih ketika bangsa ini berada dalam pusaran pasar bebas di mana arus barang dan jasa, termasuk tenaga kerja dari luar bisa masuk secara bebas tanpa hambatan.

Katup Pengaman

Di sinilah peran dan keberadaan IKM sebagai katup pengaman krisis dan pelampung masalah ketenagakerjaan menjadi signifikan. Fokus perekonomian Indonesia yang selama cenderung dititikberatkan pada konglomerasi usaha tentu masih sah dijalankan.

Namun, catatan tebalnya bahwa kebijakan makro tersebut tidak boleh menganaktirikan, apalagi meminggirkan keberadaan sektor kecil menengah melalui kebijakan dan regulasi yang sama sekali tak memberi daya hidup bagi mereka.

Komitmen ini tentu harus menjadi sesuatu yang inheren dalam kebijakan pemerintah dalam semua level pemerintahan, pusat dan daerah. Harus diingat, IKM punya peran sangat berarti bagi perekonomian bangsa. Data BPS menunjukkan, produk domestik bruto IKM pada 2013 mencapai Rp 212,9 triliun. Sumbangan IKM ini setara dengan 34,28 persen terhadap PDB industri tahun 2013 sebesar Rp 621,2 triliun.

Persoalannya adalah saat ini masih terjadi ketimpangan dalam sebaran IKM dan ini saya kira menjadi pekerjaan rumah pemeritahan Jokowi-JK. Jumlah IKM di Indonesia pada 2013 sebanyak 56,53 juta unit, 62,3 persen di antaranya berada di Jawa.

Dalam konteks menghadapi pasar MEA yang diberlakukan akhir 2015, sinergitas antara usaha berskala besar dan menengah, dan IKM wajib dilakukan. Pemerintah harus mencari formula yang tepat dalam soal ini. Misalnya, kewajiban usaha berskala besar untuk menyerap produk IKM, baik dalam bentuk bahan baku maupun bahan setengah jadi.

Dengan itu usaha skala besar benar-benar menopang keberadaan IKM dalam bertarung menghadapi pasar bebas ASEAN.

Basis Utama

Karena itu, kemajuan dan pengembangan sektor IKM di tengah penetrasi pasar global harus bertumpu pada mekanisme pasar yang sehat dan adil. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh. Pertama; sumber daya lokal harus dijadikan basis utama. Kedua; perlunya pembentukan infrastruktur pendamping yang dapat membantu pelaku IKM menghadapi lembaga pembiayaan, mengadopsi teknologi, dan dalam mengakses pasar yang luas.

Ketiga; perlunya lembaga penjamin kredit. Hal ini penting karena rendahnya aksesibilitas IKM terhadap lembaga pembiayaan seringkali berpangkal dari ketiadaan agunan. Keempat; penggunaan teknologi yang berbasis pengetahuan lokal. Ini harus dilakukan pemerintah bersama perguruan tinggi karena ketergantungan terhadap teknologi asing akan berakibat pada beban biaya tinggi dan kadang tidak tepat guna. Kelima; meningkatkan promosi produk bermuatan lokal tinggi ke kancah perdagangan internasional.

Langkah, kebijakan, dan regulasi pemerintah dalam melindungi keberadaan IKM adalah sebuah keharusan. Ini penting diingatkan kepada pemerintah karena penyerapan tenaga kerja di sektor ini sangatlah besar. Usaha mikro menyerap setidak-tidaknya lebih 77 juta tenaga kerja dan usaha kecil sekitar 10 juta lebih pekerja. Sementara usaha menengah hampir di atas 5 juta tenaga kerja. Ini baru yang tercatat resmi. Jumlah UMKM pun diperkirakan sekitar 56 juta. Sebuah potensi yang luar biasa.

Karena itu, ketika kini mereka dihadapkan pada tantangan berupa persaingan dan kompetisi, tentu kita tidak bisa tinggal diam. Pemerintah harus berada di garda terdepan dalam melindungi keberadaan mereka di tengah kompetisi yang kadang tak adil dan bahkan bisa mengempaskan mereka dari arena persaingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar