Kamis, 20 November 2014

Masa Depan Penegakan Hukum

                                Masa Depan Penegakan Hukum

R Widyopramono  ;   Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus
(Jampidsus) Kejakgung
SUARA MERDEKA, 19 November 2014

                                                                                                                       


“Penegakan hukum tak hanya butuh menggunakan pendekatan yuridis tapi perlu pendekatan sosiologis dan filosofis”

SALAH satu tuntutan yang disuarakan rakyat pada saat menapak era reformasi tahun 1998 adalah keterwujudan clean government dan good governance. Tuntutan itu merupakan reaksi terhadap kondisi pemerintahan Orde Baru, terutama adanya pemusatan kekuasaan pada presiden, dan jabatan presiden yang ’’tanpa batas’’. Presiden menjabat selama 5 tahun dan setelah itu kembali dipilih.

Kondisi itu sebagai akibat berbagai hal antara lain karena perintah konstitusi ataupun tidak berfungsinya lembaga tertinggi dan tinggi negara. Selain itu, tersumbatnya saluran partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol sosial dan kemerebakan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Namun setelah lebih dari 10 tahun era reformasi berjalan tuntutan keterwujudan clean government dan good governance belum juga memperoleh hasil sebagaimana diharapkan. Bahkan kita tetap dihadapkan pada berbagai macam kompleksitas permasalahan bangsa.

Pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu, perlu metode penegakan hukum secara luar biasa, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional, dan berkesinambungan. Permasalahan paling krusial dalam 100 hari pertama kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kalla di antaranya pemberantasan mafia yang berakar dari masalah birokrasi dan korupsi.

Pentingnya nilai dan norma dalam masyarakat Indonesia pada umumnya demi penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, berawal dari nilai-nilai luhur yang merupakan budaya bangsa yang dibangun leluhur kita. Di antaranya prinsip kepemimpinan: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Dalam perkembangannya, nilai-nilai tersebut meluntur, bahkan ditinggalkan sehingga terjadi praktik yang bertolak belakang dari nilai-nilai itu.

Kualitas Moral

Mengenai alasan koruptor sulit diberantas sampai ke akar-akarnya dapat kita lihat dari sebab terjadinya tindak pidana korupsi. Hal yang paling mendasar di antaranya karena rendahnya kualitas moral dan bukan karena kebutuhan (corruption by need). Rendahnya kualitas mental sebagian masyarakat antara lain disebabkan makin lunturnya budaya bangsa yang dibangun pendahulu kita.

Korupsi sulit diberantas karena sudah dianggap sebagai kebiasaan bagi sebagian orang, dan korupsi sulit diungkap karena kadang melibatkan banyak pihak. Karena itulah, rendahnya kualitas mental sangat erat kaitannya dengan sulitnya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Praktik penyelenggaraan pemerintahan yang bersih membutuhkan pemimpin yang tegas, disiplin, berani, dan bertanggung jawab dalam mengemban amanat kepemimpinannya. Di samping itu, pemimpin harus berwawasan luas sehingga mampu menjawab perkembangan zaman serta senantiasa tanggap dengan segala perubahan.

Dengan berfungsinya hukum, berbagai keadaan yang mencerminkan ketidakadilan dapat dihindari. Ketika ada konflik kepentingan di tengah masyarakat, upaya penegakan hukum sebagai jalan untuk menyelesaikan konflik harus didasarkan pada aturan yang berorientasi pada kepentingan dan nilai-nilai objektif. Upaya itu tidak membedakan antara yang kuat dan yang lemah sehingga hak dan kewajiban yang dimiliki masing-masing pihak, baik pelapor maupun terlapor, baik korban maupun pelaku, sama-sama mendapatkan jaminan perlindungan.

Terkait dengan keberadaan kejaksaan sebagai institusi penegak hukum yang menjadi bagian dari integrated criminal justice system, saya berpandangan bahwa penegakan hukum merupakan satu dimensi penting dari tata kelola pemerintahan yang baik. Good governance tidak bakal terwujud tanpa adanya jaminan penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen serta berjalan atas dasar prinsip keadilan, keterbukaan, dan nondiskriminatif.

Penegakan hukum yang lemah hanya akan membuat instrumen hukum menjadi kehilangan legitimasi sebagai norma pengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hukum yang tidak lagi dihormati akan memunculkan budaya politik kekuasaan ketika hukum tunduk kepada penguasa dan mengabaikan kepentingan keadilan masyarakat.

Terobosan Kejaksaan Agung dalam menegakkan hukum dan mengaplikasikan hukum yang baik bukan terpacu pada pasal terberat dan memperhatikan keadilan substantif agar menciptakan perfect justice melainkan harus sesuai dengan cita-cita penegakan hukum. Selain itu, mempertimbangkan dinamika dan perkembangan masyarakat, dan tak hanya menggunakan pendekatan yuridis tapi perlu disertai pendekatan sosiologis dan filosofis.

Pendekatan yuridis dalam upaya menegakkan hukum dimaksudkan sebagai penerapan norma atau ketentuan hukum secara tepat dan benar sesuai keyakinan aparat penegak hukum. Adapun pendekatan sosiologis dimaksudkan guna mewujudkan ketertiban, stabilitas sosial kemasyarakatan, dan kondisi-kondisi yang diperlukan bagi kelangsungan pembangunan nasional serta kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa.

Pendekatan filosofis dalam penegakan hukum berarti bahwa nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tetap mendapatkan perhatian secara serius sehingga rasa keadilan masyarakat bisa lebih terpenuhi. Semua itu dapat meningkatkan kepercayaan dan dukungan masyarakat terhadap upaya penegakan hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar