Masa
Depan Penegakan Hukum
R Widyopramono ; Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus
(Jampidsus) Kejakgung
|
SUARA
MERDEKA, 19 November 2014
“Penegakan hukum tak hanya butuh menggunakan
pendekatan yuridis tapi perlu pendekatan sosiologis dan filosofis”
SALAH
satu tuntutan yang disuarakan rakyat pada saat menapak era reformasi tahun
1998 adalah keterwujudan clean
government dan good governance.
Tuntutan itu merupakan reaksi terhadap kondisi pemerintahan Orde Baru,
terutama adanya pemusatan kekuasaan pada presiden, dan jabatan presiden yang
’’tanpa batas’’. Presiden menjabat selama 5 tahun dan setelah itu kembali
dipilih.
Kondisi
itu sebagai akibat berbagai hal antara lain karena perintah konstitusi
ataupun tidak berfungsinya lembaga tertinggi dan tinggi negara. Selain itu,
tersumbatnya saluran partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol sosial
dan kemerebakan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Namun
setelah lebih dari 10 tahun era reformasi berjalan tuntutan keterwujudan
clean government dan good governance belum juga memperoleh hasil sebagaimana
diharapkan. Bahkan kita tetap dihadapkan pada berbagai macam kompleksitas
permasalahan bangsa.
Pemberantasan
tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti
mengalami berbagai hambatan. Untuk itu, perlu metode penegakan hukum secara
luar biasa, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif,
profesional, dan berkesinambungan. Permasalahan paling krusial dalam 100 hari
pertama kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kalla di antaranya pemberantasan mafia yang
berakar dari masalah birokrasi dan korupsi.
Pentingnya
nilai dan norma dalam masyarakat Indonesia pada umumnya demi penegakan hukum,
khususnya pemberantasan korupsi, berawal dari nilai-nilai luhur yang
merupakan budaya bangsa yang dibangun leluhur kita. Di antaranya prinsip
kepemimpinan: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri
handayani. Dalam perkembangannya, nilai-nilai tersebut meluntur, bahkan
ditinggalkan sehingga terjadi praktik yang bertolak belakang dari nilai-nilai
itu.
Kualitas Moral
Mengenai
alasan koruptor sulit diberantas sampai ke akar-akarnya dapat kita lihat dari
sebab terjadinya tindak pidana korupsi. Hal yang paling mendasar di antaranya
karena rendahnya kualitas moral dan bukan karena kebutuhan (corruption by need). Rendahnya
kualitas mental sebagian masyarakat antara lain disebabkan makin lunturnya
budaya bangsa yang dibangun pendahulu kita.
Korupsi
sulit diberantas karena sudah dianggap sebagai kebiasaan bagi sebagian orang,
dan korupsi sulit diungkap karena kadang melibatkan banyak pihak. Karena
itulah, rendahnya kualitas mental sangat erat kaitannya dengan sulitnya
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Praktik
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih membutuhkan pemimpin yang tegas,
disiplin, berani, dan bertanggung jawab dalam mengemban amanat
kepemimpinannya. Di samping itu, pemimpin harus berwawasan luas sehingga
mampu menjawab perkembangan zaman serta senantiasa tanggap dengan segala
perubahan.
Dengan
berfungsinya hukum, berbagai keadaan yang mencerminkan ketidakadilan dapat
dihindari. Ketika ada konflik kepentingan di tengah masyarakat, upaya
penegakan hukum sebagai jalan untuk menyelesaikan konflik harus didasarkan
pada aturan yang berorientasi pada kepentingan dan nilai-nilai objektif.
Upaya itu tidak membedakan antara yang kuat dan yang lemah sehingga hak dan
kewajiban yang dimiliki masing-masing pihak, baik pelapor maupun terlapor,
baik korban maupun pelaku, sama-sama mendapatkan jaminan perlindungan.
Terkait
dengan keberadaan kejaksaan sebagai institusi penegak hukum yang menjadi
bagian dari integrated criminal justice
system, saya berpandangan bahwa penegakan hukum merupakan satu dimensi
penting dari tata kelola pemerintahan yang baik. Good governance tidak bakal terwujud tanpa adanya jaminan
penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen serta berjalan atas dasar
prinsip keadilan, keterbukaan, dan nondiskriminatif.
Penegakan
hukum yang lemah hanya akan membuat instrumen hukum menjadi kehilangan
legitimasi sebagai norma pengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Hukum yang tidak lagi dihormati akan memunculkan budaya politik
kekuasaan ketika hukum tunduk kepada penguasa dan mengabaikan kepentingan
keadilan masyarakat.
Terobosan
Kejaksaan Agung dalam menegakkan hukum dan mengaplikasikan hukum yang baik
bukan terpacu pada pasal terberat dan memperhatikan keadilan substantif agar
menciptakan perfect justice melainkan harus sesuai dengan cita-cita penegakan
hukum. Selain itu, mempertimbangkan dinamika dan perkembangan masyarakat, dan
tak hanya menggunakan pendekatan yuridis tapi perlu disertai pendekatan
sosiologis dan filosofis.
Pendekatan
yuridis dalam upaya menegakkan hukum dimaksudkan sebagai penerapan norma atau
ketentuan hukum secara tepat dan benar sesuai keyakinan aparat penegak hukum.
Adapun pendekatan sosiologis dimaksudkan guna mewujudkan ketertiban,
stabilitas sosial kemasyarakatan, dan kondisi-kondisi yang diperlukan bagi
kelangsungan pembangunan nasional serta kokohnya persatuan dan kesatuan
bangsa.
Pendekatan filosofis dalam penegakan hukum berarti bahwa nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat tetap mendapatkan perhatian secara serius
sehingga rasa keadilan masyarakat bisa lebih terpenuhi. Semua itu dapat
meningkatkan kepercayaan dan dukungan masyarakat terhadap upaya penegakan
hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar