Hak
Ingkar atas Arbiter
Hikmahanto Juwana ; Guru
Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 11 November 2014
Arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa yang kerap
digunakan pelaku usaha. Arbitrase merupakan alternatif dari pengadilan
sebagai lembaga penyelesaian sengketa.
Meski dalam arbitrase dimungkinkan peran dari pengadilan,
pengadilan harus ekstra-hati-hati dalam menjalankan perannya. Jangan sampai
peran pengadilan dianggap sebagai intervensi dari penyelesaian sengketa
melalui arbitrase.
Hak Ingkar
Salah satu yang mungkin dikesankan sebagai intervensi pengadilan
atas proses arbitrase adalah hak ingkar dari arbiter yang ditunjuk. Hak
ingkar atas arbiter adalah hak yang diberikan kepada pihak yang beperkara
untuk diajukan keberatan atas arbiter yang menyelesaikan perkara.
Dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase disebutkan,
”Terhadap arbiter dapat diajukan tuntutan ingkar apabila terdapat cukup
alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan
melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil
putusan.” Intinya arbiter yang diajukan hak ingkar dapat dicoret dan diminta
tidak menjadi arbiter dalam suatu perkara.
Memang dalam Pasal 25 ayat (1) UU Arbitrase pengadilan diberi
peran. Pasal tersebut menyebutkan, ”Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan
oleh salah satu pihak tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang
bersangkutan tidak bersedia mengundurkan diri, pihak yang berkepentingan
dapat mengajukan tuntutan kepada ketua pengadilan negeri yang putusannya
mengikat kedua pihak, dan tidak dapat diajukan perlawanan.”
Menjadi pertanyaan apakah ketentuan itu berlaku bagi arbitrase
yang dilakukan secara permanen seperti di Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI)? Apakah pengadilan mempunyai peran? Bolehkah pengadilan menerima
tuntutan hak ingkar dari salah satu pihak yang beperkara? Jawaban secara
tegas adalah pengadilan tidak dapat berperan ketika para pihak yang
bersengketa memilih arbitrase permanen.
Hal ini mengacu pada Pasal 34 ayat (2) UU Arbitrase. Pasal
tersebut menyebutkan, ”Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut peraturan dan acara
dari lembaga yang dipilih, kecuali ditetapkan lain oleh para pihak.”
Artinya apabila para pihak telah menunjuk BANI sebagai lembaga
arbitrase yang menyelesaikan perkara mereka maka hukum acara yang berlaku
adalah hukum acara BANI yang disebut sebagai Peraturan BANI. Perlu dipahami
ketentuan Pasal 25 ayat (1) UU Arbitrase hanya berlaku bagi arbitrase yang
bersifat ad hoc atau arbitrase yang tidak permanen.
Peraturan BANI
Dalam Peraturan BANI disebutkan mengenai situasi di mana para
pihak dalam beperkara tidak menyetujui arbiter tertentu. Dalam Pasal 10 ayat
(5) paragraf (2) Peraturan BANI disebutkan, ”Dalam hal pihak-pihak tersebut
tidak setuju dengan penunjukan seorang arbiter dalam jangka waktu yang telah
ditentukan, maka pilihan mereka terhadap seorang arbiter harus dianggap telah
diserahkan kepada ketua BANI yang akan memilih atas nama pihak-pihak
tersebut.”
Dari ketentuan di sini jelas bila ada hak ingkar atas arbiter
tertentu, adalah kewenangan dari ketua BANI untuk memilih. Bahkan dalam Pasal
10 ayat (6) Peraturan BANI disebutkan, ”Keputusan atau persetujuan akhir
mengenai penunjukan semua arbiter berada di tangan ketua BANI.”
Oleh karenanya adalah tidak tepat bila pengadilan berperan saat
para pihak telah sepakat menyelesaikan sengketa mereka ke BANI dan ada pihak
tertentu yang menuntut dicoretnya arbiter tertentu. Peraturan BANI harus
menjadi acuan. Dalam proses berarbitrase, peran pengadilan harus dibatasi.
Peran tersebut hanya dilakukan apabila memang diperbolehkan oleh
undang-undang. Peran yang besar dari pengadilan bahkan yang tidak didasarkan
aturan yang jelas akan membuat proses penyelesaian perkara melalui arbitrase
tidak berwibawa. Bahkan arbitrase sebagai alternatif lembaga penyelesaian
sengketa selain pengadilan akan dijauhi dan ditinggalkan. Di sini pentingnya
pengadilan tegas untuk menolak segala upaya untuk melibatkan dirinya dalam
proses berarbitrase yang dilakukan pihak yang beperkara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar