Kamis, 20 November 2014

Plagiarisme dari Semak-Semak Afrika

                       Plagiarisme dari Semak-Semak Afrika

AS Laksana  ;   Sastrawan, Pengarang, Kritikus Sastra yang dikenal aktif menulis di berbagai media cetak nasional di Indonesia
JAWA POS,  19 November 2014

                                                                                                                       


LINDA Christanty, nama penting dalam sastra Indonesia hari ini dan kawan yang menyenangkan untuk membahas buku-buku serta berbagai topik lain, termasuk tentang sinshe di kampung halamannya yang mempunyai diagnosis-diagnosis mengejutkan dan nama-nama makanan yang terdengar lebih cocok sebagai nama hewan, menelepon saya suatu siang. Saya tidak menanggapi panggilan tersebut karena situasi saya tidak memungkinkan untuk menerima telepon. Dia menelepon satu kali lagi dan saya tetap tidak mengangkatnya. Pada malam hari, saya periksa telepon seluler saya. Ada beberapa panggilan masuk, dari nomor-nomor yang saya kenal maupun tidak saya kenal, dan dua panggilan tak terjawab dari Linda. Dia menelepon ketika saya sedang berada di jalan tol dan telepon saya tertinggal di rumah.

Besoknya, saya menelepon Linda dan dia menerima panggilan telepon saya. Kami pun tidak membicarakan ikan hiu yang hidup abadi atau manusia yang berubah menjadi pohon kemboja dalam cerita-cerita yang kurang meyakinkan. Linda menyampaikan bahwa dia sudah mendapatkan tiga novel Patrick Modiano, pengarang Prancis pemenang Nobel Sastra 2014, yang hendak dibicarakan dalam klub diskusi bulanan yang kami adakan sekadar untuk bersenang-senang.

’’Kupikir kau hendak menceritakan mimpi bahwa kita benar-benar berubah menjadi jenglot,’’ kata saya.

Kami pernah membicarakan kemungkinan tentang umur panjang seperti manusia di zaman Nabi Nuh dan kami akan hidup sampai umur 250 tahun. Pada saat itu tubuh kami tentu mengecil dan kulit kami menjadi keriput sekali sehingga orang-orang akan menyangka kami sebagai jenglot, makhluk gaib produksi dalam negeri yang wujudnya menyerupai jahe atau ginseng.

Sebentar membicarakan Modiano, saya tiba-tiba ingat satu hal yang saya ingin tanyakan kepadanya, yakni tentang isu plagiarisme di kalangan perancang busana yang sekarang sedang ramai dibicarakan. Linda bekerja di majalah Dewi dan saya membaca berita bahwa Priyo Oktaviano, satu di antara lima perancang yang dipilih majalah tersebut sebagai Ksatria Mode (Fashion Knight) 2014, dituding telah menjiplak rancangan Prabal Gurung, perancang Amerika Serikat berdarah Nepal.

Dia tak terlalu bersemangat menanggapi pertanyaan saya dan saya sendiri sebenarnya tidak tahu apa-apa soal mode. Namun, dia berusaha menjelaskan juga soal mode dan itu adalah urusan yang sangat sulit untuk saya cerna. Pengetahuan maksimum yang saya miliki tentang adibusana hanyalah sebatas kain sarung.

Menurut saya, sarung adalah rancangan busana terbaik yang pernah diciptakan orang. Dengan sarung, Anda bisa tampak anggun dan khusyuk saat menghadap Tuhan. Selain itu, ia bisa memiliki fungsi lain yang nyaris tak terbatas. Para pedagang buku keliling menggunakannya untuk mengangkut barang dagangan mereka. Saya menggunakannya sebagai mantel pada masa kanak-kanak jika saya ingin menjadi Zorro, kesatria pembela rakyat miskin dari negeri Latin, dan sebagai properti untuk bermain hantu-hantuan. Jika Anda mau, Anda bisa menggunakan kain sarung untuk mengubah diri menjadi Batman, Superman, Godam, atau Kapten Mar.

Tentang plagiarisme yang saya tanyakan, Linda mengatakan, ’’Plagiarisme sama buruknya dengan korupsi. Ia adalah perkara mentalitas. Dalam kasus semacam ini, jika pelakunya sudah punya nama, kita harus melacak ke belakang.’’

Kami lalu membicarakan kasus plagiarisme Fareed Zakaria yang sangat menghebohkan pada 2012. Fareed, warga AS keturunan India, adalah jurnalis, kolumnis, dan figur yang cemerlang pada era multimedia. Dia cemerlang sejak kuliah di Yale University dan mengawali karir cemerlangnya dengan menjadi pemimpin redaksi Yale Political Monthly. Pada 1993, di usia 28 tahun, dia meraih gelar doktor dari Harvard, memimpin proyek riset tentang politik luar negeri AS di universitas tersebut, menjadi redaktur pelaksana jurnal Foreign Affairs, serta menjadi profesor tamu di Columbia University.

Pada 2000, dia menjadi editor di Newsweek International dan menulis kolom tetap untuk Newsweek, sebelum pindah sepuluh tahun kemudian ke Time dan menjadi penulis kolom tetap di majalah tersebut dan Washington Post, CNN, serta menjadi penulis untuk banyak media dan jurnal di AS. Dia juga menulis tiga buku serta menjadi pembawa acara mingguan Fareed Zakaria GPS (Global Public Square) di stasiun televisi CNN. Pada 2003, New York Magazine menurunkan sebuah artikel feature tentang Fareed, berjudul Man of The World, yang antara lain mengutip komentar Henry Kissinger, mantan menteri luar negeri AS, tentang Fareed Zakaria sebagai ’’otak kelas satu dan orang yang gemar menantang suara-suara konvensional.’’

Kasus plagiarisme pada 2012, yang dia akui sebagai ’’kekeliruan yang mengerikan’’, meredupkan kecemerlangannya. Setelah meledaknya kasus itu, ada tulisan yang menyebutkan bahwa plagiarisme juga ditemukan dalam artikelnya pada 2009. Pada tahun itu juga muncul lagi tuduhan-tuduhan tentang plagiarisme di beberapa artikelnya yang lain.

Kami menyinggung sedikit tentang kenapa orang melakukan penjiplakan terhadap karya orang lain. Saya menyampaikan pendapat yang saat itu terpikir bahwa para pelaku plagiarisme, tampaknya, bersandar pada satu harapan, yakni semoga tidak ada satu orang pun yang akan tahu bahwa dia menjiplak. Dia berharap pencipta karya aslinya tidak tahu, redaktur (dalam hal tulisan) tidak tahu, atau juri (jika karya tersebut diikutkan lomba) tidak tahu. Dalam beberapa saat, mungkin harapan itu terwujud: pencipta, juri, redaktur, dan orang-orang yang dianggap otoritatif di bidang tersebut tidak tahu. Seluas apa pun pengetahuan seorang juri atau redaktur, Anda tahu, mereka tetap bukan orang yang mahatahu. Pengetahuan yang mereka miliki tidak mungkin mencakup semua informasi.

Namun, yang sering dilupakan para penjiplak, publik mahatahu dan selalu bisa diandalkan untuk mendeteksi terjadinya plagiarisme. Pengetahuan yang dimiliki publik adalah kumpulan pengetahuan yang dimiliki individu-individu yang menyusun sebuah himpunan raksasa yang kita sebut ’’publik’’. Kasus-kasus plagiarisme biasanya terbongkar karena publik mengetahuinya.

Sekarang, dalam era media sosial, informasi tentang plagiarisme bisa disampaikan lebih cepat karena setiap orang punya media yang bisa digunakan untuk menyiarkan temuannya kepada siapa saja dan orang-orang lain segera menyebarluaskannya serta menjadikannya pembicaraan umum.

Karena itulah, kita sekarang ini cepat tahu ada penjiplakan dalam musik, dalam karang-mengarang, dalam dunia mode, dan lain-lain. Dalam musik, jika ada kesamaan delapan bar saja antara satu komposisi dan komposisi lain yang lebih dulu diciptakan, pencipta yang belakangan disebut melakukan tindakan plagiarisme. Itu hal yang saya dengar kali pertama dari obrolan ringan bertahun-tahun lalu dengan mendiang Franky Sahilatua. Saya pikir musik memang lebih matematis ketimbang, misalnya, karangan. Dalam karangan, mungkin kita tidak bisa menetapkan standar eksak semacam itu. Saya kira begitu juga dalam dunia mode.

Dalam perbukuan, ada pula kreativitas yang memalukan. Seorang pembeli buku pernah mengeluhkan bahwa dia membeli dua buku yang sama persis, dari penerbit yang sama, dengan desain sampul dan nama pengarang yang berbeda.

’’Saya mengira itu dua buku yang membahas topik yang sama. Jadi, saya beli dua-duanya,’’ katanya. Jadi, dia membeli buku tersebut karena sedang mendalami topik yang dibahas buku tersebut. Beberapa bulan kemudian, muncul buku lain yang membahas topik itu dan dia membeli buku tersebut. Ternyata, dua buku tersebut sama persis.

Ini bukan kasus plagiarisme, melainkan kelicikan pengusaha penerbitan.

Pada malam harinya, karena masih penasaran dengan kasus plagiarisme di dunia mode, saya mengakses internet dan membuka akun Instragram yang mengungkap kasus tersebut. Akun bernama Nyinyirfashion itu, yang tampaknya memang membaktikan diri untuk mencereweti dunia adibusana, dengan sengaja menyandingkan foto-foto rancangan desainer dalam negeri dan luar negeri yang dianggap serupa. Sekali lagi, saya tidak paham tentang mode busana. Beberapa yang dia sandingkan memang tampak sama. Beberapa yang lain tidak tampak kesamaannya di mata saya dan untuk hal ini ada pengikut-pengikut akun tersebut yang berkomentar: ’’Beda keleeeeuss!’’ atau ’’Maksaaaa...’’

Mengenai Priyo Oktaviano, perancang yang kemudian menyatakan mengundurkan diri dari acara Jakarta Fashion Week yang digelar pekan lalu oleh majalah Dewi, yang foto-foto rancangannya disandingkan dengan rancangan Prabal Gurung, saya melihat bahwa keduanya memang nyaris identik. Memang ada bedanya, yakni pada aksesori di hidung si peragawati. Dalam rancangan Priyo yang menampilkan koleksi rancangan berjudul African Blu, saya melihat ada panah kecil yang menembus hidung peragawatinya, seolah-olah dia baru keluar dari semak-semak setelah lepas dari kejaran para pemburu Afrika.

Pagi-pagi saya kembali menelepon Linda untuk mengatakan, ’’Apa boleh buat, kedua rancangan itu nyaris identik.’’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar