Sabtu, 08 November 2014

Citilink Angkat Gengsi Semen LCC

Citilink Angkat Gengsi Semen LCC

Afrianita  ;  Redaktur Haluan
HALUAN, 04 November 2014

                                                                                                                       


Dulu naik pesawat udara adalah sesuatu yang “wah”. Sesuatu yang hanya bisa di­nik­mati oleh kalangan tertentu saja. Namun lain dulu lain sekarang, naik si burung besi kini sudah menjadi hal yang lumrah saja.

Ya, sejak fenomena pener­bangan bertarif murah (low cost carrier/LCC), maka trans­portasi udara menjadi sebuah hal yang terjangkau. Bahkan biayanya kerap lebih murah ketimbang angkutan darat seperti bus atau kapal.

Kelas ekonomi pun tidak lagi dipandang sebelah mata, karena volumenya yang sangat besar. Sebaliknya, jumlah maskapai penerbangan yang ingin menjajal pasar di segmen tersebut pun terus bertambah.

Apalagi sejak dibukanya deregulasi penerbangan niaga oleh pemerintah pada 2001, yang memberikan kesempatan pada pengusaha untuk menja­lankan jasa penerbangan meski dengan hanya memiliki satu pesawat dan bermodal cekak.
Sejumlah maskapai yang mengklaim dirinya berbasis biaya murah pun bermunculan seperti Lion Air, Adam Air, Citilink, Jatayu, Kartika Airlines, Sriwijaya, Indonesia Airlines, Star Air juga Batavia Air.

Data terakhir ada 28 peru­sahaan penerbangan terjadwal dengan lebih dari 400 pesawat yang dioperasikan. Meskipun maskapai LCC menjamur, namun tidak sedikit pula diantaranya yang salah dalam kalkulasi sehingga berujung pailit.

Sejak era penerbangan murah, maka pelanggan pun bermigrasi dari moda transpor­tasi darat dan laut ke era burung besi di udara. Dari data statistik penerbangan, jumlah penumpang pesawat melonjak signifikan.

Jumlah penumpang pesawat pada tahun 2004, naik hingga dua kali lipat dari jumlah penumpang pada 2002 yakni menjadi 24 juta dari  angka dua tahun sebelumnya yang hanya sebanyak 12,3 juta penumpang.

Namun sayangnya pertum­buhan penumpang itu juga dibarengi dengan meningkatnya angka kecelakaan maskapai bertarif murah. Mulai dari pecah ban, tergelincir di landasan, tersesat karena kerusakan navigasi hingga terjatuh seperti Adam Air awal tahun 2007.

Hal ini juga semakin me­nguat­kan anggapan banyak pihak, bahwa konsep LCC yang dilakukan dengan menekan biaya operasional ternyata abai terhadap faktor keselamatan. Ujung-ujungnya kita diembargo asosiasi penerbangan dunia.
LCC memang membawa dampak positif  bagi dunia penerbangan di Indonesia. Load factor penumpang meningkat, tapi di sisi lain juga diikuti oleh tingginya angka kecela­kaan pesawat. Kecelakaan pesawat di Indonesia bahkan termasuk yang paling tinggi di dunia.

Padahal sejatinya LCC merupakan redefinisi bisnis jasa angkutan udara menuju pelaya­nan yang serba efisien, sederhana dan ringkas. Kecuali soal yang menyang­kut safety, apa­pun yang he­mat da­pat dite­rapkan.

Maskapai LCC sesung­guhnya lahir dengan memi­nimalkan pe­nge­luaran yang tidak per­lu tanpa harus mengurangi k­e­­se­lamatan dan keamanan penerbangan. Misal­nya me­ngu­rangi peng­­gunaan agen perja­la­nan, a­tau men­­­cetak boarding pass di kertas mu­rah.

Lalu harga tiket belum termasuk biaya bagasi  dan makan/minum, harga tiket bisa berubah setiap menit, ruang kabin yang sempit karena dioptimalkan untuk sebanyak mungkin mengangkut penum­pang, jika terlambat check in tiket hangus dan lainnya.

Ongkos transportasi udara selama ini dirasa terlalu mahal dengan segala pelayanan ekstra­nya yang sesungguhnya tidak diperlukan oleh konsumen tersebut. Kemunculan LCC, lantas menjawab kebutuhan yang ada.

Tak ada yang salah sebe­narnya dengan konsep pener­bangan murah. Tidak salah juga jika kemudian jika faktor kenyamanan harus dipangkas demi ongkos yang lebih irit. Namun akan menjadi perta­nyaan jika hal itu terkait dengan keterlambatan pener­bangan (delay) hingga aspek keselamatan.

Tapi dua hal ini pulalah yang kemudian menjadi image buruk yang sudah kadung melekat pada penerbangan LCC. Selain abai terhadap faktorsafety, penerbangan murah juga sering tak tepat waktu. Terlalu sering delay.

Belum lagi ada maskapai LCC yang penumpangnya sampai rebutan kursi.Sehingga katanya naik maskapai LCC tak ubahnya dengan naik “metro mini”. Hal itu lagi-lagi membuat penerbangan LCC menjadi kurang  bergengsi.
Sampai kemudian maskapai Citilink, kembali meramaikan pasar penerbangan LCC di tanah air. Didirikan pada tahun 2001 sebagai Unit Bisnis Strategis Garuda Indonesia, maskapai Citilink sempat berhenti beroperasi pada 2008.
Lalu pada 5 Juli 2012, setelah Citilink meresmikan penerimaan sertifikat Air Operation Certificate (AOC) dari Kementerian Perhubungan, moment itu kemudian menjadi era baru Citilink dalam mana­jemen dan bisnisnya.

Di bawah kepemimpinan Arif Wibowo, Citilink bertekad menjadi LCC terbaik. Sokongan armada yang memadai dan on time performance(OTP) yang tinggi, menjadi kunci untuk merebut pasar LCC.

Ya, meskipun dengan tarif murah, namun demikian Citilink tak lantas mening­galkan aspek – aspek kesela­matan dan kenyamanan pe­num­pang. Sebaliknya, justru pesawat ini meskipun low cost namun mampu memberikan layanan yang bagus.

Hingga kini, Citilink sudah punya 29 unit pesawat. Terdiri dari 25 unit Airbus 320-200 dan empat unit Boeing 737-300. Akhir tahun akan ada tambahan dua pesawat, sehing­ga nanti menutup tahun 2014 ini jumlah armada ada 31 pesawat.

Hingga tahun 2017, akan didatangkan 70 pesawat baru jenis A320. Setiap tahun akan datang 10 pesawat. Citilink pada akhirnya mengarah kesingle aircraft type, yakni Airbus 320, sehingga Boeing 737 tidak akan dipakai lagi.

Keistimewaan A320 dian­taranya menggunakan teknologi fly-by-wire digital perdana di dunia untuk kelas pesawat transport sipil single aisleberkapasitas 180 tempat duduk konfigurasi ekonomi. Juga memakai piranti ECAM (Elec­tronic Centralized Aircraft Monitor).

ECAM memungkinkan pilot memonitor semua aktivitas penerbangan dari dalam kokpit serta membantu pilot dan teknisi memberi peringatan dini dan mendiagnosis jika terjadi kelainan fungsi berbagai instrumen dan sistem di dalam tubuh A320 itu.

Intinya pilot akan sangat dibantu dalam mengendalikan penerbangan yang pada akhir­nya akan berujung pada peningkatan kualitas kesela­matan, keamanan, dan kenya­manan penerbangan. Hmm, semakin yakin bukan untuk terbang dengan Citilink?

Sebanyak  5 juta penum­pang berhasil diterbangkan Citilink sampai kuartal III 2014, meningkat 100 persen dari kuartal III 2013 yang hanya 2,5 juta penumpang. Dengan du­ku­ngan ar­mada baru, mem­buat orang lebih ya­kin  terbang dengan Citilink.

“Penggunaan pesawat baru meningkatkan produksi per pe­sa­wat sekitar 26 persen. Saat ini kami mampu menyediakan 170 pe­ner­ba­ngan per hari dari 23 kota,” ujar CEO Mas­kapai Citilink Arif Wibowo. (CNN Indonesia, 16 Oktober 2014).

Arif menga­takan mas­ka­painya masih harus bekerja keras mengejar target 8,2 juta penump­ang sampai akhir tahun 2014. Apalagi tahun 2017, Citilink menargetkan mampu menerbang­kan 33,6 juta pe­num­pang .

Jumlah itu melompat sa­ngat jauh dari hanya 2,6 juta di tahun 2012. Jumlah fre­kuensi penerbangan juga naik tajam dari sebelumnya hanya 686 per minggu, menjadi 5.000 frekuensi per minggu.

Berbasis di Jakarta dan Surabaya, hingga September 2014 Citilink telah melayani 170 frekuensi penerbangan harian dari Jakarta (Soekarno-Hatta dan Halim Perdana­kusuma), Surabaya dan Batam ke sejumlah kota besar di Indonesia.

Diantaranya Banjarmasin, Denpasar, Balikpapan, Yogya­karta, Medan, Palembang, Padang, Ujung Pandang, Pekan­baru, Lombok, Beng­kulu, Jambi, Semarang, Malang, Kupang, Pangkal Pinang, Tanjung Pandan, Bandung dan Solo.

Bahkan Citilink juga sudah mengantongi izin untuk rute penerbangan ke Jayapura. Vice President Corporate Com­muni­cations Citilink Indonesia Benny S Butarbutar mengaku sudah mengantongi izin rute penerba­ngan ke Jaya­pu­ra. (Tribun­news.com, 23 Oktober 2014)

Rute penerbangan ke wila­yah Indonesia timur menjadi target ekspansi bisnis Citilink ke depan. Kota-kota yang menjadi incaran antara lain Palu, Manado, dan Jayapura.

Selain tingkat safety yang terus dijaga dengan ketat,  Citilink juga terus mening­katkan performanya dalam hal ketepatan waktu terbang. Saat ini OPT Citilink sudah berada di kisaran 87 persen.

Untuk diketahui, berda­sarkan Kementerian Perhu­bungan, tingkat OTP di bawah 70 persen digolongkan jelek,  OTP 70-80 persen tergolong biasa dan OTP di atas itu  bisa dikatakan baik. Dapat disim­pulkan, dalam hal ketepatan waktu terbang, Citilink sudah tepat waktu.

Banyak kemudian yang menyampaikan rasa puasnya karena terbang dengan Citilink meninggalkan kesan yang baik selain karena jam terbang yang tepat waktu juga layanan berkualitas yang diberikan.

Mempunyai induk usaha sekelas Garuda Indonesia yang bergerak di segmen Full Service , diakui memiliki keuntungan sendiri bagi Citilink. Selain kucuran yang besar dalam hal investasi, nama besar Garuda juga bernilai tambah bagi peru­sahaan ini.

Ada beberapa konsep dari Garuda Indonesia yang ke­mudian disadur Citilink yang semakin menaikkan pamor Citilink yang menggarap segmen LCC. Misalnya saja kebijakan menyatukan airport tax ke dalam harga tiket yang dimulai 1 Februari 2014 lalu.

Bayar tiket Citilink pun semakin mudah karena ba­nyaknya opsi pembayaran. Mulai dari kartu kredit, internet banking, hingga ATM. Ada website nya juga. Tak kalah penting, admin facebook dan twitter Citilink sangat membantu saat terjadi per­masalahan.

Lalu ada juga kebijakan bagasi gratis hingga 15 kilo­gram. Tak hanya itu, masih banyak lagi keunggulan Citilink yang pada akhirnya membuat terbang dengan Citilink berasa terbang dengan pesawat LCC yang “tak biasa”.

Keunggulan Citilink per­lahan mampu mengikis stigma buruk dari penerbangan LCC yang selama ini tidak safety dan molor terbang yang pada akhirnya mampu menaik­kan pamor atau gengsi pener­bangan segmen LCC.

Puja-puji atas performa Citilink bukan semata ung­kapan atau tulisan di atas kertas. Beberapa penghargaan yang diraih menjadi bukti atas performa gemilang yang dito­rehkan “si hijau “ yang kini telah semakin dewasa.

Diantara penghargaan yang diraih yakni dari Indonesia Travel and Tourism Foun­dation untuk kategori Leading Low Cost Airline 2011/2012, dan The Budgies and Travel Awards 2012 untuk kategori Best Overall Marketing Campaign.

Lalu penghargaan Service To Care Award 2012 untuk Airlines Category dari Markplus Insight, dan Indonesia Leading Low Cost Airlines selama tiga tahun yaitu 2011/2012, 2012/2013, dan 2013/2014 dari ITTA Foundation serta Maskapai Penerbangan Nasional Terbaik oleh Adikarya Wisata Award 2012.

Harga murah memang kerapkali diidentikkan dengan kualitas yang rendah. Namun tak demikian halnya dengan Citilink. Meskipun bergerak di segmen low cost, namun demikian layanan yang dibe­rikan berkualitas.

Harga boleh  saja murah, namun pelayanan yang dibe­rikan tidak murahan. Murah dan berkualitas sepertinya menjadi padanan kata yang saling melengkapi untuk Citilink yang kini semakin terbang tinggi mengepakkan sayapnya di langit ibu per­tiwi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar