Sabtu, 01 November 2014

Era Baru BUMN Size Does Matter (3)

Era Baru BUMN Size Does Matter (3)

Rhenald Kasali  ;  Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
KORAN SINDO, 30 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Barangkali Anda memiliki kegemasan yang sama dengan saya, setiap kali menyaksikan begitu banyak peluang lalu lalang di hadapan bangsa ini, tapi kita tidak bisa berbuat apapun. Lalu, ketika itu tak kunjung berubah, rasa gemas itu berubah menjadi stres.

Lucius Annaeus Seneca, filsuf Romawi, mengatakan, keberuntungan itu terjadi ketika peluang bertemu dengan kesiapan. Peluang yang terus-menerus hanya lalu-lalang, menunjukkan betapa kita sama sekali belum mempersiapkan diri untuk menangkapnya. Lagian, siapa yang bisa menangkap peluang kalau tak siap?

Fenomena itulah yang saya saksikan dalam industri maritim selama bertahun-tahun. Sebagai ilustrasi, saat ini sekitar 70% kegiatan perdagangan dunia terjadi di kawasan Asia-Pasifik bergeser dari sebelumnya di kawasan Atlantik. Lalu, dari seluruh perdagangan diAsia-Pasifik, 75% nya dikirimkan melalui transportasi laut.

Di mana peluang bisnisnya? Selama ini kapal-kapal kontainer yang mengangkut barang di seputar kawasan Asia-Pasifik tersebut selalu lalu lalang melalui Selat Malaka, Selat Lombok, Selat Makassar, dan perairan Indonesia lainnya. Nilainya luar biasa, bisa mencapai USD1.500 triliun, atau hampir 9.000 kali nilai APBN kita.

Sayangnya dari nilai perdagangan yang sebesar itu, kita belum berhasil memetik banyak manfaat. Itu akibat ketidaksiapan kita sendiri. Di mana saja masalahnya, sehingga kita tak kunjung siap" Kita bisa melihatnya dari banyak faktor. Saya ajak Anda untuk melihat beberapa di antaranya.

Empat Faktor

Pertama, kebijakan pembangunan yang sama sekali tidak berpihak ke laut. Meski dua per tiga wilayah kita terdiri atas lautan, dan kita memiliki 17.508 pulau, kebijakan pembangunan kita selama ini terlalu berorientasi ke darat. Kita bangga menyebut diri kita sebagai bangsa agraris, bukan bangsa maritim.

Kondisi ini, antara lain, tecermin dari minimnya anggaran. Contohnya, pada APBN 2013, anggaran untuk sektor kelautan kita hanya 0,3% dari volume APBN. Contoh lainnya, setelah 69 tahun merdeka, baru kita memiliki UU Kelautan. Lama sekali.

Kedua, sebagai akibat kurangnya keberpihakan terhadap kelautan, transportasi kita pun lebih berorientasi ke darat ketimbang ke laut. Utamanya untuk transportasi barang.

Contohnya, angkutan barang untuk jalur Jakarta-Surabaya yang jaraknya sekitar 800 kilometer, hanya kurang dari 10% yang menggunakan angkutan laut. Selebihnya menggunakan angkutan darat yang terdiri atas truk termasuk truk kontainer sebanyak 89% dan kereta yang hanya berkisar 1%.

Kondisi ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara maju. Di Jepang, misalnya, untukangkutanbarangrute Tokyo-Miyagi, 51% menggunakan angkutan laut. Hanya 44% yang memakai truk dan 5% dengan kereta. Begitu pula di Norwegia. Penggunaan angkutan laut berimbang dengan angkutan darat.

Masih dominannya penggunaan angkutan darat ini sungguh ironis. Sebab biaya angkutan laut sejatinya lebih murah jika dibandingkan dengan angkutan darat. Kondisi inilah, antara lain, yang menjadi salah satu penyebab tingginya biaya logistik kita.

Ketiga, kurang keberpihakan juga tercermin dari industri perkapalan kita. Sekarang ini bagi perusahaan-perusahaan pelayaran kita, membeli kapal impor lebih murah ketimbang membeli kapal dari industri galangan kapal di dalam negeri. Mengapa? Sebab tingginya bea masuk impor komponen kapal. Kondisi ini pulalah yang menyebabkan perbankan nasional kurang tertarik untuk mengucurkan kredit ke industri pelayaran.

Keempat, kurangnya keberpihakan juga membuat pelabuhan-pelabuhan kita menjadi kurang terurus. Kita bisa melihat potret itu dari rendahnya kinerja pelabuhan-pelabuhan kita. Contohnya, waktu yang dibutuhkan oleh satu kapal untuk singgah di pelabuhan, membongkar muatannya, lalu mengisinya kembali dengan muatan dan akhirnya berlayar lagi meninggalkan pelabuhan tersebut bisa mencapai 80 jam. Bandingkan dengan Pelabuhan Singapura yang hanya membutuhkan waktu 12 jam.

Kondisi itu pula yang menyebabkan rasio pemanfaatan dermaga, atau kerap dikenal dengan istilah Berth Occupancy Rate (BOR), terbilang rendah. Menurut data dari AT Kearney, angka BOR dari pelabuhan-pelabuhan kita ratarata hanya 57,6%.

Semua itu diperburuk dengan belum samanya Service Level Guarantee dan Service Level Agreement dari pelabuhan-pelabuhan kita. Masih banyak urusan administrasi di pelabuhan yang dikelola secara manual, dengan format dokumen yang berbeda-beda dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya. Sistem TI masing-masing pelabuhan juga belum terkoneksi satu sama lain.

Belum lagi masalah yang terkait dengan kedalaman masingmasing pelabuhan. Ini menyebabkan tak semua pelabuhan kita siap disinggahi oleh kapalkapal yang berukuran besar sekelas Panamax, atau lebih dari 3.000 TEUs. Apalagi untuk kapal kapal yang berukuran lebih besar, seperti jenis ultra large container vessel (>14.500 TEUs).

Momentum

Baiklah kita punya segudang masalah. Lalu, apa yang mesti kita lakukan untuk membenahinya?

Saat ini saya lihat kita punya momentum yang luar biasa untuk membenahi industri kelautan kita. Kita punya Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menaruh perhatian luar biasa terhadap industri maritim. Kita juga punya menko kemaritiman, yang dijabat oleh Indroyono Soesilo. Kita juga punya Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang berlatar belakang entrepreneur. Lalu, kita juga punya Ignasius Jonan sebagai menteri perhubungan, yang terkenal dengan gerak cepatnya dan kemampuannya dalam melakukan transformasi perusahaan.

Sosok-sosok tersebut, saya lihat, punya daya ungkit yang luar biasa untuk membenahi industri kelautan kita. Kini, bagaimana kita memulainya? Bicara soal ini, saya punya resep sederhana. Kita bisa mulai dari hal-hal yang paling mudah, dan harus mulai sekarang juga (baca, secepatnya). Ini perlu sebab akhir tahun 2015 kita akan memasuki era ASEAN Economic Community (AEC).

Pada era ini, saya lihat, dunia usaha akan berkompetisi dengan mengandalkan size (ukuran) dan efisiensi. Semakin besar skala usahanya, dan semakin efisien perusahaan tersebut, semakin besar peluangnya untuk memenangkan persaingan bisnis.

Kita tahu, sinergi merupakan masalah besar di negeri ini. Juga, sinergi antar-BUMN. Tapi, di industri perkebunan dan kehutanan kita sudah berhasil melakukannya. Mereka sudah membentuk holding company. Saya lihat kini tiba gilirannya untuk perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri kelautan, termasuk pelabuhannya. Saya berangan-angan, andai PT Pelindo I, III dan IV, serta Indonesia Port Corporation bisa bergabung menjadi satu, betapa besar daya ungkitnya bagi perekonomian nasional.

Biaya logistik pasti akan jadi lebih murah. Produk-produk kita akan menjadi lebih kompetitif di pasar ekspor. Keseimbangan perdagangan antara kawasan barat dan timur Indonesia akan bisa kita wujudkan. Indonesia pasti akan jauh lebih diuntungkan. Jadi, mari kita manfaatkan momentum ini. Jangan sampai lepas lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar