Luka
Kemanusiaan yang Belum Sembuh
Todung Mulya Lubis ; Ketua Dewan Pendiri Imparsial
|
KOMPAS,
20 November 2014
SELAMA 98 menit saya tak berkedip menyaksikan
luka-luka sejarah diputar kembali dalam sebuah film berjudul Senyap (The Look of Silence). Film ini menyulut amarah dan rasa berdosa
atas pembantaian kejam yang terjadi pada tahun 1965 dan tahun-tahun setelahnya.
Meski tidak ada yang bisa mengonfirmasi berapa jumlah manusia yang terbantai
pada kurun waktu 10 tahun sesudahnya, satu hal jelas tak terbantahkan bahwa yang
menjadi korban tidak semata-mata mereka yang terbunuh, tetapi juga keluarga
mereka dalam bilangan generasi. Konon, hingga hari ini stigma pengkhianat
negara, pelaku kudeta dan tak beragama, terus dihidupkan.
Stigma yang membunuh
Sering
kita mendengar ada pernyataan mengingatkan bahaya komunisme, bahaya Partai
Komunis Indonesia (PKI). Apakah masih ada komunisme yang berjaya? Apakah
masih ada PKI? Apakah ideologi komunisme masih belum pailit?
Stigma
ini membunuh harapan dan masa depan jutaan anak-anak yang sama sekali tak
tahu-menahu apa yang terjadi tahun 1965, tak terlibat, dan tak berdosa. Mereka
menjadi paria, golongan warga negara kelas tiga atau kelas empat.
Ada yang
menyebut angka 1,5 juta orang terbunuh. Ada yang menyebut 750.000 orang
terbunuh. Ada yang di bawah itu. Tak ada yang tahu berapa persisnya jumlah
yang terbunuh, tetapi tak ada yang membantah bahwa jumlahnya ratusan ribu
orang.
Selain
itu, hampir
semua rumah tahanan dan sebuah pulau di Maluku dipenuhi oleh tahanan
orang-orang PKI. Indonesia menjadi penjara terbesar di dunia. Di
rumah-rumah, para orangtua, istri, suami, saudara, serta anak dan cucu ikut
menjadi korban tanpa tahu kejahatan yang mereka lakukan.
Di jidat
mereka terpampang stempel: tidak bersih lingkungan! Mereka tak punya hak
untuk menjadi pegawai negeri, tentara, polisi, mahasiswa di perguruan tinggi
dan (tragisnya!) di perusahaan swasta juga. Untuk bisa diterima jadi pegawai,
mereka mesti punya surat bersih lingkungan dan mereka tidak tahu apa itu
bersih lingkungan. Meski mereka bukan kriminal, mereka tetap dianggap sebagai
kriminal.
Kebanyakan mereka tahu apa yang
terjadi terhadap keluarga mereka. Mereka tahu siapa yang menyiksa, membunuh,
dan membuang mayat orang-orang malang itu ke sungai atau ke laut. Mereka
tidak berani bersuara. Mereka tidak berani berkata-kata. Mereka tidak berani
menuntut. Mereka takut!
Selama
32 tahun mereka menyembunyikan wajah mereka di balik tembok. Baru setelah
reformasi tahun 1998, mereka bersuara, menuntut kebenaran dan keadilan.
Mereka meminta negara bertanggung jawab, menuntut agar hak asasi mereka
dipulihkan.
Penyembuhan luka
Media
juga sudah mulai berani mengungkap kejahatan hak asasi manusia masa lalu, dan
dalam konteks ini tuntutan akan perlunya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
digaungkan. Kita perlu mengungkapkan kebenaran (truth telling), menyatakan maaf dan kemudian melakukan
penyembuhan (healing). Sebagai
sesama warga negara, sesaudara, rekonsiliasi harus dimulai. Bukankah mereka
bertemu setiap waktu? Teruskah mereka tak bertegur sapa? Apakah dendam itu
harus dilestarikan? Apakah segregasi harus diteruskan?
Seorang
yang bernama Adi Rukun, adik dari korban pembunuhan yang bernama Ramli, yang
sehari-hari adalah pedagang kacamata, mengerahkan keberaniannya untuk
menggali kebenaran, mendatangi satu demi satu para pembunuh Ramli, mendengar
cerita mereka sambil menawarkan kacamata agar para pembunuh tersebut bisa
melihat lebih jelas. Secara sistematis dan konsisten, Adi Rukun melontarkan
pertanyaannya yang terkadang mirip seperti jaksa. Suaranya kadang bergetar
karena marah.
Saya
melihat Adi Rukun menangis walau dia mampu menahan aliran air matanya,
termasuk ketika dia mengatakan bahwa salah satu yang disiksa dan dibunuh
secara kejam oleh orang yang di hadapannya itu adalah abangnya yang bernama
Ramli. Adi
Rukun semakin hancur mengetahui bahwa tidak ada penyesalan dari para
pembunuh, tidak ada permintaan maaf. Malah mereka bangga karena menjalankan
tugas negara. Apakah membunuh orang-orang sipil tidak bersalah adalah tugas
negara?
Dengan
gontai Adi Rukun berjalan dari satu rumah ke lain rumah dan juga melihat
tempat mayat abangnya, Ramli, dibuang. Dia tak kuasa mengerti mengapa mereka,
para pembantai itu, tak mau meminta maaf. Walau ada anggota keluarganya yang
minta maaf, kebanyakan mereka mengatakan ”biarlah semuanya berlalu, yang sudah terjadi jangan
diungkit lagi”.
Tak ada
secercah perasaan di hati mereka untuk mengerti luka yang ada dalam diri Adi
Rukun. Mereka tidak melihat air mata yang sudah kering. Mereka tak pernah
bertanya bagaimana kalau mereka berada dalam posisi Adi Rukun.
Adi
mencurahkan kemarahan dan kesedihannya kepada istri, ibu, dan ayahnya. Dia
juga menjelaskan perasaannya kepada anaknya. Mereka semua tak menyangka Adi
Rukun melakukan itu. Mereka takut perbuatan Adi Rukun akan membahayakan diri
dan keluarganya, dan nyaris menyerah tak mau mendorong Adi Rukun untuk
meneruskan pencarian akan kebenaran.
Namun,
kita bisa melihat hati mereka bergetar, marah, dan pasrah. Mereka meyakini
bahwa terhadap pembunuh akan ada hukuman dari Yang Mahakuasa. Mereka mencatat
semua pelanggaran hak asasi manusia, pelanggaran kemanusiaan mereka,
pembantaian, dan pembunuhan keji yang tak bisa dibayangkan.
Mencari kebenaran
Adi
Rukun tak menyerah. Dia terus mencari kebenaran. Film Senyap adalah kumpulan snapshots
dari kegigihan Adi Rukun dalam mencari kebenaran. Di situlah kita menyaksikan
percakapan filsafat tanpa menyebut kata
filsafat. Di situlah kita mendengar tuntutan akan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi tanpa merujuk pada keberhasilan lembaga serupa di Afrika
Selatan.
Adi
Rukun juga membayangkan betapa pembunuh dan korban berpelukan di Rwanda.
Mereka merajut kembali masa depan, menyembuhkan luka-luka kemanusiaan dalam
keikhlasan untuk saling menerima.
Senyap bukanlah Jagal (The Act of Killing). Buat saya, Senyap
adalah film yang menggetarkan jiwa, membuat kita sedih dan marah, mengajarkan
kita bahwa pencarian terhadap kebenaran adalah kerja tanpa ujung. Tak boleh
ada yang menyerah.
Sutradara
film Senyap, Joshua Oppenheimer dan Anonym, telah berhasil membuat film ini
menjadi dokumentasi sejarah pelanggaran hak asasi manusia yang membuat bangsa
ini terus-menerus merasa berutang. Ceritanya runut dan secara pelan menyulut
rasa bersalah kita. Terus terang, saya ikut merasa berdosa karena tidak
berbuat maksimal membongkar kejahatan hak asasi manusia masa lalu. Tanpa
sadar saya menangis dalam hati. Saya kehilangan kata-kata.
Joshua Oppenheimer, Anonym, dan Adi Rukun, terima
kasih. Kalian telah memberikan pelajaran hak asasi manusia yang tidak pernah
saya dapatkan dalam bangku kuliah, buku-buku teks, dan khotbah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar