Budaya
Kewirausahaan
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan
|
KOMPAS,
18 November 2014
INTI kebudayaan adalah etika dan etos yang mendorong manusia mampu
melahirkan kreativitas berupa sistem nilai, pengetahuan, perilaku, ekspresi, teknologi, produksi (intangible), dan benda (tangible).
Cita-cita kebudayaan bukan hanya melahirkan peradaban tinggi, melainkan juga
kesejahteraan. Dimensi kesejahteraan ini yang sering dilupakan para otoritas
negara dan agen kebudayaan. Akibatnya, kebudayaan sering kehilangan konteks
sosial-ekonomi dan disalahpahami sebagai sesuatu yang muspra, sia-sia, dan
boros dana. Banyak orang lupa pada kenyataan: umumnya negara yang maju dalam
ekonomi adalah negara yang kuat dan maju secara kultural.
Sejak negara ini merdeka, para otoritas negara dan agen kebudayaan
terjebak pada pemahaman bahwa kebudayaan hanya berkaitan dengan nilai-nilai
yang steril dari materi dan ekonomi. Maka, isu-isu penting seperti
pembangunan karakter, identitas, dan jati diri jauh lebih menonjol daripada
isu tentang kesejahteraan rakyat. Orang dianggap tidak ilok (tabu) ketika mempersoalkan pencapaian material terkait
dengan isu-isu kebudayaan. Seolah-olah kebudayaan hanyalah ”rumah asketisme”
dan bukan ”rumah kesejahteraan”.
Di sisi lain, aktor-aktor rezim pun membangun negara cenderung
meninggalkan nilai-nilai kebudayaan dan hanya menggunakan paradigma ekonomi
an sich. Akibatnya, pembangunan ekonomi gagal menyejahterakan rakyat dan
hanya beternak kemiskinan. Sementara itu, nilai-nilai kebudayaan
porak-poranda digasak pragmatisme, ekonomisme, dan materialisme yang hanya
menguntungkan kelompok elite politik dan ekonomi.
Hegemoni pembangunanisme ekonomis ala Orde Baru yang terbukti gagal
menyejahterakan warga negara hingga kini masih berlangsung. Yang terjadi adalah pembangunan yang serba
parsial, terpecah-pecah, centang-perenang, dan coreng-moreng karena absennya
nilai-nilai kebudayaan.
Rakyat tidak didorong menjadi produktif, tetapi konsumtif. Konsumerisme
yang menguat secara tidak langsung berakibat pada maraknya korupsi. Orang
butuh dana besar untuk membiayai berbagai keinginan konsumtifnya, sementara
daya produktifnya sangat rendah. Korupsi akhirnya ditempuh sebagai jalan
keluar.
Eksplorer
kebudayaan
Bangsa ini stagnan karena hanya berkubang pada budaya reproduksi:
mengunyah dan ”memproduksi” nilai-nilai lama yang terus berulang-ulang tanpa
rasa lelah. Budayawan Radhar Panca Dahana mengatakan, bangsa ini miskin
gagasan sehingga hanya mampu memakai gagasan orang lain. Ini terjadi pada
hampir semua lini kehidupan. Otentisitas justru dihindari karena bangsa ini
enggan untuk melakukan eksplorasi, padahal justru dengan otentisitas itu
bangsa ini berjaya.
Mengakhiri tradisi reproduksi (budaya copy paste) untuk memasuki budaya produktif bisa melalui dua
cara. Pertama, menggali, merevitalisasi, dan mengelaborasi potensi
nilai-nilai budaya bangsa (asli atau serapan) untuk menemukan nilai, ide
baru, segar, esensial, dan otentik yang menjawab kebutuhan.
Para penyelenggara negara sebagai agen kebudayaan harus mendorong
bangsa ini untuk menjadi eksplorer-eksplorer kebudayaan yang gigih dan
tangguh sehingga mampu melahirkan kreativitas dan inovasi. Kuncinya bukan
hanya terletak pada pendidikan berkualitas, melainkan juga kemampuan untuk
mengembangkan imajinasi warga negara karena bencana besar bangsa ini adalah
matinya imajinasi. Menurut budayawan dari UGM, Faruk Tripoli, imajinasi
itulah sebagai salah satu kekuatan kreatif yang mampu melakukan penebusan
atas dunia yang mengalami detotalisasi nilai.
Kedua, terkait dengan persoalan kebudayaan yang menyejahterakan bangsa,
para penyelenggara negara wajib mendorong warga negara menjadi entrepreneur
(wirausaha) budaya. Ini berarti bangsa ini harus didorong menjadi pelaku
industri kreatif berbasis kebudayaan. Selama ini para penyelenggara negara
cenderung terjebak pada persoalan melahirkan manusia cerdas, terampil, dan
takwa tanpa disertai horizon dunia usaha dan lapangan kerja yang menjawab
kebutuhan riil. Akhirnya, cita-cita menjadi pegawai negeri jauh lebih besar
dibandingkan menjadi wirausaha.
Kekuasaan
Negara
Persentase wirausaha di Indonesia baru mencapai 1 persen dari total
penduduk. Artinya, negara tidak cukup memiliki kemampuan atau kurang
memikirkan pentingnya pasar kerja bagi manusia-manusia kreatif. Politik
ekonomi nasional cenderung berpihak kepada pasar bebas yang dikuasai
pemodal-pemodal raksasa.
Kebudayaan bangsa menjadi kuat jika ditopang kekuasaan negara. Karena
itu, negara harus memiliki politik kebudayaan yang berpihak dan mengembangkan
kebudayaan bangsa dan pemangku kepentingannya. Selain gigih membangun dan
memproduksi nilai-nilai budaya yang otentik, mereka perlu menjadikan
kesejahteraan sebagai persoalan penting dan besar. Membangun budaya
entrepreneurship—sebagai jalan menuju budaya produktif yang
menyejahterakan—menjadi bagian sangat penting dari strategi kebudayaan
bangsa. Ini relevan dengan konsep Trisakti Soekarno yang menjadi obsesi
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar