Defleksi
Perwakilan Berimbang
Tommi A Legowo ; Pendiri dan Peneliti Senior Formappi
|
KOMPAS,
18 November 2014
KETERBELAHAN DPR dalam Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat tampaknya
segera berakhir. Hal itu terjadi setelah ada kompromi pembagian sejumlah
kursi pimpinan alat kelengkapan Dewan kepada KIH dan kesepakatan untuk
memperbaiki UU MD3 2014. Keutuhan kembali DPR dapat memulihkan peran lembaga
legislatif yang membawa mandat perwakilan rakyat untuk mengimbangi dan
mengawasi presiden yang memimpin lembaga eksekutif untuk melayani dan
memenuhi kepentingan (aspirasi) rakyat.
Penyimpangan
Namun, DPR yang mempermanenkan basis kekuatan pada dua penjuru politik
KMP dan KIH mengundang persoalan dalam penyelenggaraan perwakilan politik.
Pengubuan permanen itu, disadari atau tidak, menyimpangkan (defleksi)
perwakilan berimbang (PB—proportional
representation) yang selama ini dianut Indonesia dalam tiga perkara.
Pertama, PB mengharuskan keperwakilan oleh parpol. Tengara prinsip ini jelas,
yakni peserta pemilu untuk anggota DPR adalah parpol. Kursi DPR hasil pemilu
milik partai. Atas dasar ini, partai melalui petugas-petugasnya di DPR harus
bersuara untuk aspirasi konstituen yang diwakilinya. Obligasi politik ini
meniscayakan alur bottom-up.
Koalisi membungkam partai bersuara atas nama konstituen. Yang hadir di
hadapan publik adalah pendirian koalisi. Memang, partai-partai dalam koalisi
dapat beralasan dalam semua hal dan masalah, suara mereka sama. Ini jelas
”pemaksaan kehendak” dari keberagaman (aspirasi) konstituen. Ada nuansa
direksi politik yang sifat alurnya top-down.
Kedua, PB bersifat plural yang diwujudkan oleh kehadiran banyak partai
di DPR. Ini sejalan dengan kenyataan sosiologis yang menunjukkan, dalam
setiap daerah pemilihan (dapil), konstituen perwakilan berimbang senantiasa
jamak, yang secara langsung diakomodasi dalam ketersediaan kursi DPR (wakil)
antara 3 dan 10 untuk dapil nasional.
Dalam satu dapil, orang memilih caleg Partai Golkar, misalnya, pasti
dilatari alasan berbeda dengan orang lain yang memilih caleg Gerindra.
Demikian seterusnya hingga pileg menghasilkan banyak wakil dari beragam
partai. Koalisi partai untuk pilpres yang dipermanenkan di DPR jelas mengingkari
keberagaman keperwakilan politik ini.
Dapat dibenarkan alasan, konstituen mengakuri pilihan politik partainya
dalam pilpres. Namun, alasan ini tak dapat dijadikan generalisasi bahwa untuk
semua isu kebijakan, konstituen mengakuri pendirian politik pasangan
(ca)pres-(ca)wapres yang didukung partai pilihan mereka. Tengaranya,
akumulasi suara pemilih pada pileg bertolak belakang dengan akumulasi suara
pemilih dalam pilpres untuk setiap koalisi. Dalam pileg, akumulasi suara
untuk KMP 73.866.703 (59 persen), unggul atas akumulasi suara untuk KIH
51.105.832 (41 persen). Dalam pilpres, suara capres-cawapres dukungan KIH
70.997.851 (53 persen), mengungguli pasangan dukungan KMP 62.576.444 (47
persen). Itu menegaskan dua hal penting: konstituen pileg tak linier dengan
konstituen pilpres; dan keberagaman aspirasi konstituen pileg tak dapat
dialihkan begitu saja pada dualitas koalisi politik pilpres.
Ketiga, PB seharusnya mencapai keberimbangan sempurna (perfect proportionality—M Gallagher,
1991), yakni pada saat persentase perolehan suara parpol peserta pemilu sama
dengan atau sangat mendekati persentase perolehan kursi di DPR. Atas prinsip
tersebut, partai-partai kecil yang diasumsikan mewakili aspirasi
kelompok-kelompok kecil (minoritas) dijamin mempunyai keperwakilan di DPR.
Penyimpangan prinsip ini diawali kerisauan atas inefisiensi proses
pengambilan keputusan di DPR serta instabilitas dukungan politik kepada
presiden karena terfragmentasinya DPR akibat keberagaman perwakilan. Ini
diwujudkan dengan penerapan parliamentary threshold (PT— ambang batas
parlemen) yang menyingkirkan partai kecil dari keperwakilan di DPR, dan
selanjutnya penerapan presidential
threshold (ambang batas pencalonan presiden), yang memaksa pengerucutan
keberagaman perwakilan dalam (pada akhirnya) dua pengelompokan politik saja.
Implikasi
Akibat defleksi perwakilan berimbang kepada dua kubu koalisi politik
adalah tertutupnya dialog atau musyawarah. Jika dialog tertutup, pendalaman
masalah tidak akan pernah ada. Rumus winner
takes all atau zero sum game
berlaku. Tiap-tiap kubu menjadi blok kekuatan (power blocking) yang menghambat satu terhadap yang lain.
Dalam keadaan seperti itu, DPR akan terus terancam untuk macet, yang
secara langsung ataupun tidak langsung akan menumpulkan relasi fungsionalnya
dengan, terutama, lembaga kepresidenan (eksekutif) dan cabang pemerintahan
lainnya.
Relasi fungsional yang tumpul dari cabang-cabang pemerintahan dalam
sistem presidensial ”membuka jalan” terkonsentrasikannya kekuasaan
pemerintahan di lembaga kepresidenan. Ini menegaskan saja, power blocking
dalam dua kubu koalisi yang anti dialog kondusif untuk terbangunnya kekuasaan
pemerintahan otoritarian. Demokra(tisa)si yang diperjuangkan mati-matian
selama 15 tahun terakhir akan kembali ke titik nol.
Selama prinsip perwakilan berimbang tetap dianut, tetapi diingkari
dalam konfigurasinya di DPR yang tetap bertumpu pada dua koalisi politik,
selama itu pula ancaman terhadap keterbelahan DPR akan terus hadir.
Ini mengingatkan juga bahwa ”keutuhan kembali DPR” yang dibangun atas
dasar kompromi dengan tetap berbasis pada koalisi politik dua kubu relatif
rawan, dan sewaktu-waktu dapat kembali terbelah karena yang bekerja power blocking. Solusi bijaknya
mengonsistensikan prinsip perwakilan berimbang dalam konfigurasi kekuatan
politik di DPR dengan langkah membubarkan koalisi politik dua kubu untuk
kembali pada keberagaman perwakilan berbasis fraksi. Solusi ini mengembalikan
juga orientasi pembuatan keputusan di DPR atas dasar deliberasi isu kebijakan
yang aspiratif terhadap kepentingan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar