Menyambut
Gubernur Baru DKI
Laode Ida ; Mantan Wakil
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD)
|
KOMPAS,
17 November 2014
SETELAH
melalui perseteruan panjang, akhirnya Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menunggu dilantik menjadi Gubernur DKI.
Sikapnya yang blakblakan dan bicara apa adanya memang sering membuat para
politisi merah telinganya.
Sikapnya
kembali dipersoalkan ketika memutuskan untuk keluar dari Partai Gerindra
gara-gara partai politik pengusungnya membatalkan pemilihan kepala daerah
langsung dan menyerahkan pemilihan pada DPRD.
Koalisi
parpol yang berseberangan dengannya di DPRD DKI Jakarta pun kemudian
mengkritik sikapnya, termasuk menggertak untuk melengserkannya.
Semua
itu merupakan isyarat bahwa perjalanan kepemimpinan Basuki dalam kurang lebih
tiga tahun lagi tak akan mulus, akan selalu diguncang oleh para politisi di
DPRD berikut massa pendukung yang bisa sewaktu-waktu dikerahkan untuk mengesankan
penolakan terhadap kebijakannya.
Namun,
tak sedikit pun Basuki menunjukkan sikap gentarnya. Justru ia balik menantang
secara seraya mengingatkan fungsi DPRD untuk menjalankan tiga fungsi
utamanya, tak perlu ikut campur dalam berbagai urusan eksekutif yang sedang
bekerja menjalankan program pembangunan untuk kepentingan rakyat.
Ia pun
menegaskan sikapnya yang tak mau tunduk pada politisi di DPRD, dengan
menyatakan ”lebih baik jadi budak rakyat daripada diperbudak DPRD”.
Sosok
pejabat seperti Basuki memang langka di negeri ini. Pertama, melihat posisi
sosial kulturnya yang berasal dari kalangan minoritas, banyak orang mengira
Basuki akan ”takut” secara politis.
Namun,
yang terjadi justru sebaliknya, ia melawan arus kekuatan politik besar.
Padahal, biasanya para eksekutif cenderung cari selamat dalam menghadapi para
politisi mitranya.
Maka,
pihak eksekutif biasanya berupaya melakukan berbagai cara ”mendiamkan”
aktor-aktor politisi di legislatif, mengamankan kepentingan kedua belah
pihak.
Kedua,
bukannya mempertahankan basis dukungan politik dari parpol pengusungnya,
Basuki malah berani meninggalkannya, sekaligus menunjukkan sikap tanpa takut
berhadapan dengan gerbong besar Koalisi Merah Putih.
Ini
artinya, Basuki sudah siap menjadi single fighter dalam menjalankan roda
kepemimpinan serta dalam menghadapi mitra dan atau sekaligus lawan politik di
DPRD.
Mengapa
Basuki berani mengambil risiko berhadapan dengan tembok mapan budaya politik
dan birokrasi? Orang-orang yang tidak menyukainya atau secara politik berseberangan
akan menganggapnya sebagai pencitraan dan popularitas pribadi.
Kenyataannya,
tindakan apa pun dari figur publik dan pejabat politik akan menjadi konsumsi
masyarakat luas. Siapa pun bisa secara subyektif menafsirkan.
Agen perubahan
Namun,
jika secara bijak memaknainya, Basuki sebenarnya sedang memosisikan diri
sebagai agen perubahan menuju penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang
efektif, efisien, sekaligus transparan.
Sudah
jadi rahasia umum jika mereka yang memiliki jabatan dan penentu kebijakan di
negeri ini telah terjebak dalam kebiasaan buruk konspiratif, memanfaatkan
kesempatan selama menjabat untuk mengakumulasi materi bagi kepentingan
pribadi, keluarga, dan kelompok politiknya.
Basuki
tampaknya tak mau masuk perangkap pragmatisme itu. Sebab, jika ia bermotif
pragmatis-materi dan kelanggengan kekuasaan, niscaya tak akan pernah berani
seperti sekarang.
Fenomena
ini memang sangat menarik, apalagi jika dikaitkan dengan pernyataan dalam
Forbes Indonesia edisi September 2014: ”I
want to make history, not money”. Andai pernyataan ini benar-benar murni
nan jujur, sebenarnya sikap pejabat seperti inilah yang diharapkan oleh
umumnya rakyat bangsa ini; bukan pejabat yang hanya penuh retorika indah,
tapi ternyata sangat korup dan tak berpihak kepada rakyat.
Sikap
”idealisme frontal” Basuki ini tentu sudah diperhitungkan. Karena posisi
sebagai kepala daerah yang dipilih rakyat secara langsung tak bisa dijatuhkan
begitu saja kecuali terjadi pelanggaran hukum yang fatal, ia bisa dengan
tegas melangkah.
Kalau
tidak ada aral melintang, ia akan sampai pada pengujung masa jabatan sebagai
Gubernur DKI Jakarta. Namun, bagaimana masa depan Basuki setelah itu?
Para
politisi di legislatif umumnya tak mau memilih figur yang menghambat misi
pragmatis mereka, apalagi jika sudah dikaitkan dengan pertimbangan ”mayoritas
dan minoritas”. Faktor rasional dan sikap negarawan sudah pasti tereduksi
dari dalam diri para politisi itu.
Maka,
figur seperti Basuki hanya bisa dipilih langsung oleh rakyat banyak dengan
pertimbangan yang lebih rasional, yakni karena berhasil menunjukkan bukti
kinerja pembangunan yang bermanfaat bagi kepentingan rakyat dan perbaikan di
bangsa ini. Di sinilah dimensi rasionalnya sehingga ia memutuskan keluar dari
Partai Gerindra.
Kelemahannya,
barangkali, hanya karena cara Basuki yang kadang frontal sehingga terasa
gaduh secara politik. Tentu ini soal persepsi dan pilihan pendekatan saja
karena substansi dan niatnya sebenarnya mulia: untuk kesejahteraan
masyarakat.
Basuki
tak boleh dihalangi, lebih-lebih lagi kalau alasannya sekadar etika formal
yang bersifat ”damai di permukaan”, padahal sesungguhnya menutupi kebobrokan
dan kejahatan berkompromi dan berkonspirasi dari para pejabat politik.
Selamat membangun DKI Jakarta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar