Selasa, 18 November 2014

Menyambut Gubernur Baru DKI

Menyambut Gubernur Baru DKI

Laode Ida  ; Mantan Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD)
KOMPAS, 17 November 2014

                                                                                                                       


SETELAH melalui perseteruan panjang, akhirnya Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menunggu dilantik menjadi Gubernur DKI. Sikapnya yang blakblakan dan bicara apa adanya memang sering membuat para politisi merah telinganya.

Sikapnya kembali dipersoalkan ketika memutuskan untuk keluar dari Partai Gerindra gara-gara partai politik pengusungnya membatalkan pemilihan kepala daerah langsung dan menyerahkan pemilihan pada DPRD.

Koalisi parpol yang berseberangan dengannya di DPRD DKI Jakarta pun kemudian mengkritik sikapnya, termasuk menggertak untuk melengserkannya.
Semua itu merupakan isyarat bahwa perjalanan kepemimpinan Basuki dalam kurang lebih tiga tahun lagi tak akan mulus, akan selalu diguncang oleh para politisi di DPRD berikut massa pendukung yang bisa sewaktu-waktu dikerahkan untuk mengesankan penolakan terhadap kebijakannya.

Namun, tak sedikit pun Basuki menunjukkan sikap gentarnya. Justru ia balik menantang secara seraya mengingatkan fungsi DPRD untuk menjalankan tiga fungsi utamanya, tak perlu ikut campur dalam berbagai urusan eksekutif yang sedang bekerja menjalankan program pembangunan untuk kepentingan rakyat.
Ia pun menegaskan sikapnya yang tak mau tunduk pada politisi di DPRD, dengan menyatakan ”lebih baik jadi budak rakyat daripada diperbudak DPRD”.
Sosok pejabat seperti Basuki memang langka di negeri ini. Pertama, melihat posisi sosial kulturnya yang berasal dari kalangan minoritas, banyak orang mengira Basuki akan ”takut” secara politis.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya, ia melawan arus kekuatan politik besar. Padahal, biasanya para eksekutif cenderung cari selamat dalam menghadapi para politisi mitranya.

Maka, pihak eksekutif biasanya berupaya melakukan berbagai cara ”mendiamkan” aktor-aktor politisi di legislatif, mengamankan kepentingan kedua belah pihak.

Kedua, bukannya mempertahankan basis dukungan politik dari parpol pengusungnya, Basuki malah berani meninggalkannya, sekaligus menunjukkan sikap tanpa takut berhadapan dengan gerbong besar Koalisi Merah Putih.
Ini artinya, Basuki sudah siap menjadi single fighter dalam menjalankan roda kepemimpinan serta dalam menghadapi mitra dan atau sekaligus lawan politik di DPRD.

Mengapa Basuki berani mengambil risiko berhadapan dengan tembok mapan budaya politik dan birokrasi? Orang-orang yang tidak menyukainya atau secara politik berseberangan akan menganggapnya sebagai pencitraan dan popularitas pribadi.

Kenyataannya, tindakan apa pun dari figur publik dan pejabat politik akan menjadi konsumsi masyarakat luas. Siapa pun bisa secara subyektif menafsirkan.

Agen perubahan

Namun, jika secara bijak memaknainya, Basuki sebenarnya sedang memosisikan diri sebagai agen perubahan menuju penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang efektif, efisien, sekaligus transparan.
Sudah jadi rahasia umum jika mereka yang memiliki jabatan dan penentu kebijakan di negeri ini telah terjebak dalam kebiasaan buruk konspiratif, memanfaatkan kesempatan selama menjabat untuk mengakumulasi materi bagi kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok politiknya.

Basuki tampaknya tak mau masuk perangkap pragmatisme itu. Sebab, jika ia bermotif pragmatis-materi dan kelanggengan kekuasaan, niscaya tak akan pernah berani seperti sekarang.

Fenomena ini memang sangat menarik, apalagi jika dikaitkan dengan pernyataan dalam Forbes Indonesia edisi September 2014: ”I want to make history, not money”. Andai pernyataan ini benar-benar murni nan jujur, sebenarnya sikap pejabat seperti inilah yang diharapkan oleh umumnya rakyat bangsa ini; bukan pejabat yang hanya penuh retorika indah, tapi ternyata sangat korup dan tak berpihak kepada rakyat.

Sikap ”idealisme frontal” Basuki ini tentu sudah diperhitungkan. Karena posisi sebagai kepala daerah yang dipilih rakyat secara langsung tak bisa dijatuhkan begitu saja kecuali terjadi pelanggaran hukum yang fatal, ia bisa dengan tegas melangkah.

Kalau tidak ada aral melintang, ia akan sampai pada pengujung masa jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta. Namun, bagaimana masa depan Basuki setelah itu?

Para politisi di legislatif umumnya tak mau memilih figur yang menghambat misi pragmatis mereka, apalagi jika sudah dikaitkan dengan pertimbangan ”mayoritas dan minoritas”. Faktor rasional dan sikap negarawan sudah pasti tereduksi dari dalam diri para politisi itu.

Maka, figur seperti Basuki hanya bisa dipilih langsung oleh rakyat banyak dengan pertimbangan yang lebih rasional, yakni karena berhasil menunjukkan bukti kinerja pembangunan yang bermanfaat bagi kepentingan rakyat dan perbaikan di bangsa ini. Di sinilah dimensi rasionalnya sehingga ia memutuskan keluar dari Partai Gerindra.

Kelemahannya, barangkali, hanya karena cara Basuki yang kadang frontal sehingga terasa gaduh secara politik. Tentu ini soal persepsi dan pilihan pendekatan saja karena substansi dan niatnya sebenarnya mulia: untuk kesejahteraan masyarakat.

Basuki tak boleh dihalangi, lebih-lebih lagi kalau alasannya sekadar etika formal yang bersifat ”damai di permukaan”, padahal sesungguhnya menutupi kebobrokan dan kejahatan berkompromi dan berkonspirasi dari para pejabat politik.

Selamat membangun DKI Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar