Minggu, 09 November 2014

Kondisi DPR yang Kian Terbelah

Kondisi DPR yang Kian Terbelah

FS Swantoro  ;  Peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
SUARA MERDEKA, 03 November 2014
                                                
                                                                                                                       


PERILAKU sejumlah anggota DPR belakangan ini sungguh memalukan dan memprihatinkan. Belum dua bulan mereka dilantik, sudah dua kali kisruh dalam rapat paripurna. Sumbernya, hanya rebutan kursi pimpinan dan bukan persoalan substansial kerakyatan.

Politik parlemen yang gaduh membuat DPR terbelah dan berisiko menimbulkan konflik dalam masyarakat. Meski menyandang status ’’yang terhormat’’, perilaku wakil rakyat itu sungguh memalukan, jauh dari sikap terhormat.

Nafsu berkuasa elite KMP lebih menonjol ketimbang semangat musyawarah untuk berbagi peran dengan kekuatan KIH dalam membangun demokrasi dan kehidupan bangsa ke depan. Lantas bagaimana kita menyikapi perseteruan itu? Apa yang terjadi dalam sidang paripurna DPR pada Selasa (28/10) belum pernah terjadi dalam sejarah parlemen sebelumnya.

Saat rapat paripurna digelar, Ketua Fraksi PPP Hasrul Azwar sampai membalikkan meja karena meradang ketika Wakil Ketua DPR Agus Hermanto dari Fraksi Partai Demokrat tidak mengindahkan penjelasannya. Rapat paripurna yang kisruh itu berawal saat pimpinan rapat mengakui keabsahan daftar nama anggota Fraksi PPP yang disampaikan oleh Epyardi Asda.

Adapun Hasrul Azwar berpendapat daftar nama itu tidak sah karena bukan dikeluarkan oleh DPP PPP hasil Muktamar VIII di Surabaya yang menetapkan Romahurmuziy sebagai ketua umum baru, menggantikan Suryadharma Ali. Sebaliknya Epyardi yang memasukkan daftar nama ke pimpinan DPR menganggap status Hasrul Azwar tidak sah karena ada SK pemberhentian Hasrul dari DPP PPPversi Suryadharma Ali.

Saat rapat paripurna dibuka sebenarnya Sekretaris Fraksi PPPArwani Thomafi telah meminta pemimpin sidang menjelaskan asal-usul daftar nama itu mengingat dari hasil rapat paripurna tidak ada pergantian ketua fraksi PPPdi DPR. Daftar yang dibacakan itu dinilainya tidak sah sehingga harus kembali dirumuskan oleh DPPPPPyang baru.

Hasrul mengecam sikap pimpinan DPR yang sudah tahu ada konflik di internal PPP,tetapi diam saja dan bahkan tidak mengajaknya berdialog. Menurut Hasrul, 34 dari 39 anggota Fraksi PPP di DPR masih mendukungnya sebagai ketua fraksi. Dia minta waktu untuk menjelaskan SK Menteri Hukum dan HAM soal Pengesahan Perubahan Susunan Kepengurusan DPP PPP tapi Agus tidak mengabulkannya.

Hasrul kemudian maju naik ke podium memperlihatkan surat Kemenkumham kepada Agus Hermanto dan Fahri Hamzah, tapi tetap tidak digubris. Masuknya daftar nama anggota PPP ke pimpinan DPR itu memiliki arti penting dalam perebutan pimpinan komisi dan alat kelengkapan lain. Karena itu kini pimpinan 11 komisi DPR sudah dikuasai KMP.

Partai nonpemerintah seperti Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS kini menguasai 313 kursi (56,5 %) sejak awal menghendaki pemilihan pimpinan alat kelengkapan dilakukan dengan sistem paket agar bisa menyapu bersih pimpinan komisi setelah sukses meraih semua kursi pimpinan DPR.

Lebih Luwes

Sementara partai pendukung pemerintah yakni, PDI-P, PKB, Nasdem, Hanura, dan PPP yang memiliki 247 kursi (43,5%) menghendaki pemilihan pimpinan komisi dibagi secara proporsional pada semua fraksi seperti periode sebelumnya.

Karena itu saat kisruh sidang paripurna, anggota DPR dari partai nonpemerintah mendukung masuknya daftar nama PPP. Sebaliknya, anggota DPR dari partai pendukung pemerintah meminta pimpinan DPR tidak tergesa-gesa mengesahkannya.

Akibatnya, DPR kini terbelah dan itu cermin buram wajah demokrasi kita sekarang. Penempatan posisi pimpinan komisi seharusnya mengedepankan prinsip musyawarah sebagai bagian dari budaya politik mencapai konsensus. Ada prinsip etis dan kepantasan dalam memilih komposisi pimpinan komisi, tak hanya mengedepankan prinsip the winner takes all, apalagi bersiasat menguasai pimpinan parlemen.

Tapi di balik peristiwa tersebut, tampaknya perlu menjadi catatan bagi anggota KIH supaya lebih luwes lagi membangun komunikasi politik. Termasuk kembali merenungkan mengenai pembentukan pimpinan DPR dan pimpinan komisi tandingan mengingat hal itu tidak sesuai dengan UU MD3.

Di mata publik perebutan pimpinan komisi dan alat kelengkapan DPR yang terjadi belakangan ini sungguh tidak mencerminkan semangat musyawarah sebagai budaya politik kita. Rakyat melihat semua itu sebagai peristiwa politik memalukan dari anggota DPR karena tidak ada prinsip kebersamaan, kebijaksanaan, dan musyawarah mufakat dalam kehidupan politik.

Akankah kehidupan politik kita akan terus ditentukan oleh balas dendam antaraktor yang memiliki hegemoni kekuasaan di partai koalisi? Bukankah kepentingan rakyat perlu lebih diutamakan ketimbang kepentingan individu, kelompok, dan partai seperti terlihat dalam sumpah mereka. Kini publik berharap agar 560 anggota DPR benar-benar menempatkan diri sebagai wakil rakyat dan bukan wakil partai.

Sebagaimana wakil rakyat menyandang status ìyang terhormatî sudah selayaknya mereka berani memperjuangkan aspirasi rakyat dan jangan mengkhianati rakyat yang memilihnya. Terlebih semua itu dikuatkan dalam sumpah anggota DPR, ’’Saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili, di mana pun mereka berada.’’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar