Minggu, 09 November 2014

Auschwitz dan Warisan Ketakutan

Auschwitz dan Warisan Ketakutan

Lola Amaria  ;  Sutradara dan Produsen Film
KOMPAS, 09 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Tak ada perbuatan manusia yang lebih mulia kecuali menyelamatkan manusia lain. Mungkin itu yang ada dalam benak Oskar Schindler saat berhadapan dengan buruh-buruh Yahudi yang diselamatkan dan dibawanya ke Cekoslowakia. Schindler menerima sebuah cincin yang terukir kutipan dari Kitab Talmud dari mereka yang menjadi pekerja di pabriknya itu, ”Barang siapa menyelamatkan satu nyawa, ia menyelamatkan seluruh dunia”. Sejenak ia tertegun, kemudian dia melepas lencana Partai Nazi miliknya dan menyerahkannya kepada seorang anak buah dedengkot SS Nazi Amon Goeth sambil berkata, ”Ini emas, tolong bebaskan 1 orang lagi.”

Adegan di atas menjadi salah satu bagian film Schindler’s List yang paling saya sukai, mengharukan dan meneguhkan. Schindler, seorang pengusaha Jerman, akhirnya tidak tahan lagi dengan praktik pemusnahan bangsa Yahudi, Hitler mengistilahkannya sebagai solusi akhir (final solution), di kamp konsentrasi Auschwitz dan berusaha menyelamatkan sebagian korban dengan cara menyuap satuan rahasia SS Nazi. Meski hanya mampu menyelamatkan sedikit orang Yahudi (bandingkan dengan 1,1 juta orang yang tewas di Auschwitz), Schindler sudah menyelamatkan lebih dari satu nyawa manusia.

Bisa jadi kisah Holocaust dan Auschwitz adalah monumen terbesar kekejaman manusia atas manusia di abad ke-20. Namun, jejak kekejaman sebenarnya terekam hingga hari ini meski dalam skala yang berbeda. Lihat saja sebelumnya di Sarajevo, Bosnia-Herzegovina, dan Serbia di Eropa. Di Timur Tengah, bom bunuh diri sering terjadi seperti di Mesir, Irak, Lebanon, dan beberapa tempat lain. Bom bunuh diri juga seperti tidak bisa berhenti di Afganistan, Pakistan, dan bahkan India dalam konflik antar-agama. Peristiwa Gestapu 1965 dengan korban jutaan di Indonesia dan serangan terhadap Gedung WTC di New York, AS, juga merupakan jejak kekejaman yang sulit dilupakan. Bahkan, atas nama agama, ”bau” kekejaman manusia atas manusia bisa kita cium dari aktivitas militan Al Qaeda dan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang tersebar di mana-mana.

Di lain pihak, kita sering menyaksikan kekejaman hanya bisa dihentikan dengan cara yang sama, juga dengan menggunakan alat-alat kekejaman yang sama. 
Pilihan dilematis. Lihat saja aliansi negara sekutu ketika menyerang dan menghancurkan Saddam Hussein dan Moammar Khadafy yang mengakibatkan ribuan warga sipil menjadi korban. Kekejaman atas kekejaman pada akhirnya hanya akan menumbuhkan ketakutan yang tidak lagi berdiam pada setiap pribadi, tetapi menyebar seperti yang dialami para korban di Auschwitz. Apakah kita benar-benar bisa membebaskan diri dari ketakutan masa lalu?

Auschwitz dan warisan ketakutan

Ketakutan bukan hanya diciptakan, melainkan juga diwariskan. Di antara artefak kekejaman manusia atas manusia yang mewariskan ketakutan adalah Auschwitz. Dalam kunjungan saya ke bekas kamp konsentrasi Auschwitz di Polandia, sekitar 60 kilometer dari kota Krakow, baru-baru ini ada hal yang sangat menggugah rasa kemanusiaan. Saat memotret beberapa sudut stasiun Auschwitz—tempat pemberhentian kereta api yang digunakan mengangkut jutaan orang Yahudi dari sejumlah kota di Eropa, tawanan Soviet, kriminal Jerman, kaum homoseksual dan gipsi— seorang laki-laki berperawakan sedang tetapi tegap mendatangi saya. Tiba-tiba ia bertanya saya dari mana, mau apa datang ke sana, dan menginap di mana. Setelah saya jawab, dia lalu meminta saya dengan keras agar tak memotret ratusan remaja Yahudi yang bergerombol dalam beberapa kelompok.

Pendamping tur saya mengatakan bahwa pria itu agen Mossad (agen rahasia Israel) dan setiap kelompok remaja Yahudi yang mengunjungi bekas kamp itu selalu dikawal oleh mereka. Saya terenyak, inikah bentuk ketakutan yang mereka warisi dari sejarah kelam kemanusiaan?

Warisan ketakutan yang mereka pupuk bertahun-tahun, datang dengan alasan sangat kuat. Holocaust. Ribuan orang berjejalan di kereta api setiap hari, dikirim ke kamp konsentrasi Auschwitz, dimasukkan ke kamar gas, dan berakhir di ruang pembakaran. Sebagian besar adalah bangsa Yahudi.

Auschwitz adalah monumen terbesar kekejaman manusia abad ke-20. Dibangun pada 1940 oleh Jerman, menyusul kemenangan perang atas tentara Polandia. Kamp ini terdiri atas tiga lokasi dengan karakter masing-masing, yaitu Auschwitz I, Auschwitz II dan Auschwitz III.

Saya mencoba berdiri di bawah palang Arbeit Macht Frei (kerja membuat bebas) di pintu masuk Auschwitz dan merasakan bagaimana ketakutan merasuki setiap jiwa manusia yang melewati batas gerbang itu, terutama perempuan dan anak-anak. Terbayang ratusan ribu perempuan yang rambutnya dipotong, ditelanjangi, dan dibohongi agar masuk ke tempat pemandian. Pancuran yang tersedia tidak pernah meneteskan air, sebaliknya yang keluar dari ventilasi adalah gas zyklon B yang tak berbau dan akan membuat korbannya mati dalam 20 menit. Digiring masuk ke kamar gas untuk dimusnahkan. Respirasi sel para korban diserang dan jaringan elektronnya pelan-pelan membusuk, sel tak bisa memproduksi energi dan kemudian nyawa mereka melayang.

Ratusan ribu tubuh perempuan yang lenyap karena gas dan dibakar tak bisa lagi bercerita bagaimana ketakutan yang mereka alami. Namun, timbunan berton-ton rambut mereka yang pucat di balik kaca etalase sudah cukup menjadi saksi. Saya menggigil membayangkannya dan tiba-tiba ketakutan pun jadi milik siapa saja.

Membangun jiwa baru

Jiwa baru adalah jiwa yang merdeka dari ketakutan dan menyelamatkan manusia adalah membebaskannya dari ketakutan. Hannah Arendt, seorang
filosof perempuan Yahudi yang hadir dan membuat laporan pengadilan seorang penjahat kemanusiaan Nazi, Adolf Eichmann, di Jerusalem, mengatakan, hanya dengan mengampuni pelakulah kita akan memperoleh kebebasan.

Dendam justru akan menjerumuskan manusia dan sejarah menjadi buntu. Dengan memberikan pengampunan, pelaku, yang sebagian besar bertindak bukan karena kemauan sendiri, dapat sadar dan ikut membebaskan dirinya. Arendt secara sadar akan memaafkan, tetapi tidak melupakan.

Arendt menyatakan bahwa kejahatan banal seperti tindakan Eichmann, si pengatur transportasi korban hingga ke Auschwitz, dapat banyak ditemui dalam kasus Holocaust. Mereka bertindak atas dasar perintah yang datang karena ketidakmampuan mereka berpikir dan menentukan sikap secara independen. Arendt berkesimpulan bahwa menghukum mati Eichmann tidak akan melenyapkan ketakutan yang sudah diwariskan.

Jiwa yang baru akan lahir jika seseorang mampu menggunakan nalarnya dalam memahami berbagai perintah dan peraturan serta bertindak atas dasar keyakinan prinsip dan hukum moral tertentu. Bagi Arendt, kejahatan Eichmann bukan kejahatan radikal yang didorong oleh niat jahat dan kepadanya pengampunan justru menjadi kunci kebebasan untuk bertindak.

Puluhan bangunan kamp konsentrasi Auschwitz masih rapi tegak berdiri, beberapa di antaranya menyimpan berbagai perkakas yang pernah dipakai para korban seperti kaleng makanan, pakaian, sepatu, koper, kacamata, kruk, sikat gigi, dan piring. Masa lalu yang kelam tidak harus dikubur dan dilupakan. Auschwitz yang mirip neraka bagi bangsa Yahudi justru dijadikan tempat untuk membebaskan diri dari ketakutan.

Setiap tahun, lebih dari satu juta orang mengunjungi Auschwitz yang termasuk museum dengan jumlah pengunjung terbesar di dunia. Holocaust yang menjadi peristiwa besar di masa lalu, Partai Nazi dengan Hitler yang kekejamannya seolah melampaui batas bumi, dan kisah kamar gas yang mengerikan menjadi tontonan seolah-olah sebuah kisah tanpa darah.

Meski begitu, walau ditentang oleh banyak kalangan Yahudi, apa yang Arendt sampaikan pelan-pelan telah kita lakukan. Museum menjadikan peringatan bahwa hanya dengan memaafkan kita menjadi manusia yang merdeka. Dengan memaafkan berarti pula tidak melupakan sehingga generasi berikutnya bisa belajar bahwa ketakutan jangan diwariskan dalam bentuk apa pun.

Pada ruang yang berbeda, Indonesia memiliki sejarah yang similar dengan jumlah korban yang tidak kalah banyak. Peristiwa Gestapu 1965, sebuah istilah yang diambil dari istilah Gestapo Nazi, tercatat sebagai masa yang masih gelap. Beberapa kelompok masyarakat berusaha mengungkapkan riwayat yang sesungguhnya, tetapi sering berhadapan dengan alat-alat kekerasan dan kekuasaan yang menganggapnya sebagai ancaman.

Tahun 1965 adalah tahun misteri yang secara jujur belum terungkap kebenarannya. Soekarno yang menjadi tahanan rumah dan tidak pernah direhabilitasi hak-haknya, jutaan orang yang dituduh sebagai anggota PKI dipenjara tanpa proses pengadilan dan sebagian besar hilang tanpa jejak. Film The Act of Killing (Jagal) karya Joshua Oppenheimer, yang tahun ini menjadi nomine Piala Oscar, membuktikan bahwa pembunuhan massal pada1965 telah terjadi dan belum diverifikasi.

Di luar proses pencarian kebenaran yang melibatkan banyak kelompok yang tanpa lelah bekerja, menyelamatkan artefak-artefak arkeologisnya sangat penting. Melihat fenomena terakhir ada banyak artefak yang pelan-pelan hilang dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah suara-suara yang seolah ingin mengubur sejarah kelam masa lalu.

Penjara dan rumah tahanan yang tersebar di mana-mana, ladang pembunuhan, sungai yang menerima tubuh-tubuh korban yang dihanyutkan, alat-alat penyiksaan, pakaian, bekas tempat makan, dan lain-lain masih dapat diusahakan untuk menjadi museum peringatan. Museum yang bukan untuk menyalahkan satu atau dua pihak, melainkan, sama dengan apa yang disampaikan Arendt, menjadi cara kita memaafkan kejadian masa lalu tanpa harus melupakan.

Ketakutan yang bersarang dalam hati dan diwariskan akan menjadi alat pembunuh manusia yang terbesar dalam sejarah. Saatnya kita membuat museum peringatan yang akan membantu membebaskannya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar