Minggu, 09 November 2014

Air, Andre, dan Pahalanya

Air, Andre, dan Pahalanya

Jean Couteau  ;  Penulis Kolom “UDAR RASA” di Kompas Minggu
KOMPAS, 09 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Saya pada dasarnya tidak suka menulis ”mengenai” orang lain, apalagi menyanjungi keunggulannya, tetapi menulis tentang orang yang satu ini berbeda. Karena orang itu memang ”berbeda”. Dan jika dia ”lain”, bukanlah lantaran hasrat narsisis tak terkontrol, seperti kerap terjadi pada orang nyentrik, melainkan ”demi” sesama, hanya untuk melakukan sesuatu yang berfaedah.

Oh, dia tidak terlampau mengharapkan pahalanya, baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Dia bahkan tampil rada skeptis perihal perilaku para juru pahala itu. Pendeknya, yang dia lakukan, berdasarkan keyakinan ia melakukannya, karena ”Begitulah saya,” katanya, karena ”Mesti ada orang yang melakukannya,” dan ”kebetulan saya bisa.”

Ketika, di ujung perjalanan selama dua jam dari Tambolaka, kami pada akhirnya mencapai Waru Wora, kampung pijakan si orang Perancis di Sumba itu, siapa pun amat mudah terpukau. Bagaimana tidak terpana membiarkan diri hanyut dalam keindahan barisan atap-atap ilalang ala joglo yang menjulang-julang di antara pepohonan, seakan-akan hendak mengantar kita ke dunia Sumba yang purba itu, dengan makam-makam bongkahan batu besar serta agama yang namanya saja memanggil-manggil impian-Merapu.

Untunglah dengan Andre, saya tidak diberi waktu untuk larut dalam impian itu. Baru sesampai di rumah panggungnya yang sangat mungil, bahkan sebelum saya sempat turun dari kendaraan, dia sudah menunjuk seorang pria kurus-kering yang lewat di depan rumahnya sambil melambaikan tangan keriputnya: ”Kau lihat orang itu,” tutur Andre. ”Tahun yang lalu, pada waktu musim kemarau seperti sekarang ini, saya sering melihatnya terhuyung-huyung di jalan, mengigau bak orang gila. Orang Lemboya bilang dia dalam keadaan kelango.”

Kelango, yaitu halusinasi, kadang disertai kekasaran, mengayun-ayunkan pedang kiri-kanan. Kenapa? Karena orang yang bersangkutan kering tubuhnya akibat kehausan: Sumba yang berpantai indah dan berumah joglo anggun itu ternyata kekurangan air. Bisa jadi, orang Indonesia lainnya pusing tentang harga bensin, tetapi orang Sumba prihatin perihal ketiadaan air!!! Ya, ratusan ribu orang kekurangan air—dan dengan sendirinya kekurangan makanan juga. Tanpa adanya kuasa politik yang memadai untuk ”memaksakan” perubahan kepada pemerintah pusat.

Ketika menyadari besarnya masalah air yang melanda Sumba, Andre Graff, nama lengkap orang Perancis itu, tidak bisa lagi berpuas diri dengan membuat foto Sumba yang indah nan eksotis. Dia tergugah. Dia kebetulan lihai mengutak-atik aneka mesin: maklum, dia bekerja sebagai pilot balon udara di Perancis selama dua puluh tahun. Dia segera mengambil keputusan: meninggalkan Perancis dan kenangan balonnya demi suatu masa depan di Sumba yang sarat dengan tangki dan pipa air. Ternyata, dia berhasil: dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun, mula-mula dengan merogoh kocek sendiri, kemudian dengan bantuan dana sekumpulan temannya, termasuk perusahaan Shimizu dan bupati Sumba Barat Daya, terbangunlah beberapa jaringan distribusi air bersih yang kini sudah melayani lebih dari 10.000 ribu orang di Kecamatan Lemboya dan Kodi. Luar biasa, bukan?

Amat menarik menemani Andre melakukan inspeksi sepanjang jaringannya. Ke mana pun dia pergi, disambut riuh ramai penduduk desa. Sambil berjalan, dia memperlihatkan mengapa jaringannya bertahan: pipa-pipa ditanam dalam-dalam—tak terjangkau ternak dan pompa-pompa bertenaga surya dilindungi oleh tembok berjeruji—tak terjangkau tangan usil. Bukan semua tampak indah di kampung-kampung yang kami lalui: kanan kiri, terlihat tangki-tangki kosong dan jaringan pipa tak berfungsi. Andre menjelaskan: ”Hasil proyek para good-doers Bank Dunia dan Sumba Foundation yang abai mempertimbangkan kebutuhan riil para penduduk dan melibatkan mereka dalam pengelolaan sistem pengairan.” Lalu dia tersenyum.

Sepulang dari Sumba, saya kerap dihantui senyuman khas si Andre. Lebih-lebih tadi, ketika saya menjemput anak di vila yang megah. Tuan rumah tidak ada, tetapi saya sempat diberi tahu statusnya: dia adalah seorang pendeta. Tiba-tiba saya kaget, terlihat di taman belakang vila yang asri itu membujur sebuah kolam renang raksasa mungkin 20 meter panjangnya. Penuh air yang begitu langka di Sumba. Oh, Andre, pikirku membayangkan kelango penduduk Sumba, jangan-jangan kaulah yang soleh. Jangan-jangan, seperti kau, saya pun kini menjadi skeptis perihal panggilan Tuhan dan pahalanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar