Sekarpandan
Goenawan Mohamad ; Esais, Mantan Pemimpin
Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO,
10 November 2014
Namanya Sekarpandan.
Ia pendek, pantatnya menggelembung. Dalam wayang kulit Cirebon, ia satu dari
sembilan punakawan yang mengiringi lima kesatria Pandawa.
Sekarpandan mendapat
bentuk tubuh itu setelah ia mengejek Semar yang ingin jadi suami kakaknya,
Sudiragen. Tapi ia kalah bertarung dengan calon ipar yang buruk rupa itu,
terlontar jatuh ke rumpun pandan, dan seketika itu juga berubah wujudnya: ia
jadi replika orang yang dicemoohnya. Juga dalam watak.
Mirip Semar, watak
Sekarpandan lebih serius ketimbang kocak. Ia arif dan sakti.
Agaknya karena itulah
pelukis kaca gaya Cirebon yang termasyhur, Rastika, membuat kaligrafi dengan
sosok Sekarpandan. Endo Suanda, etnomusikolog yang luas penelitiannya dalam
seni rakyat, menunjukkan kepada saya: kaligrafi berbentuk tubuh Sekarpandan
itu adalah formasi huruf Arab yang berbunyi "Bismillah-irrahman-irrahim".
Kaligrafi: sebuah
metamorfosis. Kata itu datang dari bahasa Yunani kallos (keindahan) dan
graphç (tulisan), tapi sebenarnya Rastika tak cuma mau memperindah aksara
yang kaku. Di dalam karyanya tiap huruf, tiap kata, dilahirkan baru, sering
secara mengejutkan dan nyaris tak terbaca lagi: aksara jadi gambar, dan teks
terkadang mendapatkan apa yang dalam tradisi kaligrafi Cina disebut kuang,
bentuk yang "gila-gilaan".
Penemuan lain Endo
Suanda: dalam salah satu lukisan kaca Rastika tampak adegan wayang kulit
ketika Begawan Mintaraga bertapa. Jika diperhatikan, panah di tangan sang
begawan sebenarnya aksara Arab yang membentuk simbolisasi: bismillah jadi panah, panah jadi bismillah.
Mengubah kata ke dalam
gambar -- atau symbol -- seperti itu tentu saja tidak hanya ditemukan dalam
kaligrafi tradisional. Versi shu (tulisan tangan) yang digabungkan dengan hua
(lukisan) di Tiongkok lama juga tampak dalam "hieroglif" zaman ini:
signage di bandara-bandara
internasional yang dengan desain yang apik menunjukkan tempat ambil bagasi
atau toilet; rambu lalu lintas yang dengan menarik mengingatkan pengendara
mobil akan jalan yang licin.
Dalam The Hall of Uselessness, Simon Ley
(nama pena pakar sinologi terkenal, Pierre Ryckmans) melihat analogi signage
modern dengan huruf Cina yang "piktografis" itu: kedua-duanya
"memberikan arah tanpa bahasa", penanda visual yang serta-merta
dimengerti orang dari berbagai ragam penjuru.
Dengan analogi itu Ley
menunjukkan betapa berbedanya bahasa Cina dengan bahasa-bahasa dalam
peradaban Yahudi dan Kristen. Alkitab bercerita tentang proyek Menara Babil
yang ambruk: manusia gagal membangun wadah untuk saling mengerti dengan
bahasa yang tunggal. Sementara itu dalam kebudayaan Tiongkok, kata Ley, orang
hidup terus dalam keadaan "pra-Babil". Aksara Cina seperti signage:
penanda yang "melintasi semua perbedaan ujaran", menyampaikan makna
seraya "melampaui bahasa". Bahasa-yang-melampaui-bahasa itu,
metalanguage, kata Ley, "menghubungkan umat manusia kepada asal-usulnya
yang paling awal" dan menawarkan tanda persatuannya yang hakiki.
Saya kira di sini Ley
keliru. Bukan penanda visual itu sendiri yang membuat manusia bersatu dalam
memahami makna. "Persatuan" itu punya riwayat -- khususnya riwayat
kekuasaan. Tanpa tangan besi dan administrasi yang efektif di masa Maharaja
Qin Shi Huang, 281-247 Sebelum Masehi, Tiongkok tak akan memiliki Menara
Babil ini: tulisan Cina yang dibakukan, setelah berabad-abad di wilayah yang
luas itu huruf yang sama dibunyikan berbeda-beda dan disusun berlainan.
Begitu juga signage.
Di lorong-lorong bandara dan malls simbol itu diseragamkan maknanya oleh
pasar global zaman ini. Mereka diakui dan dikukuhkan hanya oleh orang-orang
yang biasa keluar-masuk tempat-tempat itu. Di jalan raya antarkota, gambar
piring, sendok, dan garpu (atau pisau) sama sekali bukan metalanguage: mereka
yang tak pernah bersantap dengan cara "Barat" tak akan segera tahu
signage itu menunjuk ke lokasi tempat makan.
Makna gambar, juga
huruf Cina, perlu kodifikasi, dan kodifikasi, agar diterima secara luas,
perlu ditopang hegemoni.
Namun pada akhirnya
kodifikasi, juga hegemoni, tak bisa mutlak. Pesan yang disampaikan simbol
visual itu mau tak mau akan disentuh sejarah, dipengaruhi pengalaman yang
berbeda, dan beroleh bunyi yang berlainan. Signage yang sama di bandara Kuala
Lumpur dibunyikan "tandas" dan di stasiun bus Palembang "kamar
kecil". Pernah kaligrafi berwujud Semar dianggap menghina Quran oleh
seorang ulama yang tak kenal tradisi Cirebon.
Ada seorang penelaah
yang menunjukkan, dalam tiap kaligrafi Cina -- dan agaknya kaligrafi mana pun,
seperti dalam karya Rastika -- tersirat dua kutub yang tarik-menarik. Di satu
pihak koordinat yang membuat sebaris kaligrafi tampak proporsional, tak
berlebihan, di atas bidang datar. Di pihak lain ada "pusat gerak"
yang tumbuh dari dinamika kuas (atau pena) dan tangan pencipta. Ketegangan di
antara kedua kutub itu membuat huruf-huruf itu seakan-akan merendek dan
melonjak, bahkan menerabas ke luar. Kaligrafi hidup dengan gaya meliuk merentang
yang tak bisa diseragamkan.
Itulah yang
membedakannya dengan huruf dalam tipografi modern, barisan aksara di atas
bidang horizontal dengan kaki yang terukur dan teratur. Tujuan utamanya
menstabilkan arti dan pengertian. Tapi ada yang hilang di sana: gerak, bunyi,
sejarah. Tak ada pengalaman hidup yang kaya yang mengubah gerak dan bunyi,
seakan-akan tak ada sejarah yang menggeser arti dan pengertian.
Tak mengherankan bila
di barisan huruf itu -- yang wujud ekstremnya berupa akronim, jauh dari
kaligrafi -- mudah berkutat konsep yang beku dan jiwa yang statis. Tak akan
lahir Sekarpandan yang ganjil tapi sakti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar