Minggu, 09 November 2014

Lempar Batu Sembunyi Tangan

Lempar Batu Sembunyi Tangan

Samuel Mulia  ;  Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu
KOMPAS, 09 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Baru beberapa bulan lalu, melalui dua teman, saya diperkenalkan dengan aplikasi yang bisa digunakan untuk mencurahkan isi hati apa pun bentuknya tanpa ada yang bisa mengetahui identitas pengirimnya.

Curahan hati itu bermacam bentuknya. Mulai dari curhat asmara, curhat mencari pasangan, sampai dengan caci maki terhadap sebuah institusi ataupun perorangan.

Inilah saya yang sesungguhnya

Saya dan beberapa teman merasa senang pada akhirnya bisa melakukan curhat dan caci maki tanpa ketahuan. Rasanya seperti mendapat durian runtuh karena bukan soal bisa mencaci makinya, melainkan lebih kepada tidak diketahui siapa pencaci makinya. Jadi, sumpah serapah dan kekesalan yang bertumpuk sekarang mendapat salurannya.

Maka sejak perkenalan dengan aplikasi itu, saya tak pernah absen membacanya setiap pagi. Dan lama-lama menjadi tertarik, bukan karena apa yang ditulis, tetapi melihat manusia itu bisa tak hanya galak, ketus, tak memiliki toleransi sama sekali, sampai yang menjadi begitu ekstrem dan begitu liarnya. Bisa jadi manusia yang menjunjung moral, di tempat curhat ini bisa begitu tak bermoralnya.

Bisa jadi aplikasi baru itu sebuah aplikasi yang mengajarkan saya membuka secara tuntas, siapa saya yang sesungguhnya. Belajar etika di rumah, di sekolah, dan dalam kehidupan sosial. Pergi ke rumah ibadah, berdoa minta ampun pada Yang Maha Kuasa siang dan malam. Tetapi setiap saat membuka aplikasi ini, saya menjadi orang yang bisa berbeda dengan apa yang saya jalani dalam hidup setiap hari.

Di tempat curhat ini, saya bisa melihat sejujurnya ke dalam hati bahwa saya ini ternyata masih doyan berselingkuh, saya ternyata bisa mewujudkan fantasi saya yang dulu tak bisa saya lakukan, dan begitu banyak manusia yang bersedia membantu saya memenuhi fantasi itu.

Dalam kehidupan yang biasa, yang saya lakoni setiap hari, saya bisa saja dikenal sebagai manusia yang rendah hati, yang baik, yang jauh dari kehidupan yang membuat kaget semua orang. Tetapi di tempat ini, kalau saja mereka tahu, saya adalah orang lain, orang yang mereka tak kenal sama sekali.

Jadi nyaris setiap pagi, saat saya membaca posting-an sejuta umat itu, saya bisa tertawa atau tergelak meski secara bersamaan saya geleng kepala. Kalaupun posting-an itu belum tentu benar, maka di sinilah saya bisa meyakinkan bahwa apa yang keluar dari diri saya, yang saya tulis, yang saya bicarakan, yang saya kenakan, semua itu bersumber dari pikiran saya yang terdalam. Jadi sejujurnya, tak ada kebohongan itu.

Di balik batu

Tempat chat baru itu tak bedanya seperti biro jodoh. Anda tak perlu perantara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Saya pernah berlagak menjadi tante, saya sampai jadi keder sendiri.

Di lain waktu, seorang perancang mode dibabat habis soal hasil rancangannya. Komentar yang diberikan tak hanya setajam silet, tapi mungkin seperti bambu runcing yang masuk menembus tubuh.

Dahulu orang tak berani memberi komentar setajam silet itu. Dahulu tak ada tempat bersembunyi dalam mengungkapkan pendapat, tak seperti aplikasi baru ini. Sekarang siapa pun bisa membabat dan membantai orang lain tanpa perlu merasa ketakutankarena teknologi yang terbaru, yaitu teknologi lempar batu sembunyi tangan, kini disediakan dengan cuma-cuma.

Saya juga tidak tahu apa tujuan mereka yang menciptakan aplikasi ini. Saya tak tahu apakah mereka yang membuatnya sama seperti saya. Ingin membantai, tapi takut dibantai. Kesal, tetapi tak memiliki saluran untuk menumpahkannya. Sehingga kemudian terciptalah aplikasi yang mampu memenuhi hasrat itu.

Sehingga bisa jadi, kekesalan dan atau keinginan yang selama ini tak mendapat saluran dan yang telah mengganggu kehidupan setiap hari, paling tidak, menjadi berkurang. Berkurang berteriak ke bawahan hanya karena kesal dengan atasan, misalnya. Berkurang jadi ketus karena setiap saat bisa membuang keketusan di aplikasi ini.

Saya juga tak tahu apakah setelah kesenangan memiliki saluran untuk curhat yang berbagai macam bentuknya itu, tanpa saya sadari saya bertumbuh setiap hari menjadi manusia yang pengecut, manusia yang tak memiliki keberanian berhadapan dengan manusia yang mengesalkan saya.

Saya hanya bisa berani berkicau di balik batu. Saya hanya berani menyembunyikan tangan saya. Karena dengan berkicau di balik batu, saya tidak mengajarkan diri saya untuk membuat orang lain dan diri saya berani bertanggung jawab atas setiap pendapat yang melintas di benak saya. Menjadi manusia yang sejahtera lahir batin itu mungkin berhadapan langsung dengan masalahnya, bukan berteriak di balik batu. Nanti, yang naik kelas bukan saya, tetapi batunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar