Minggu, 09 Februari 2014

Media Berubah-ubah, Jurnalisme Abadi

Media Berubah-ubah, Jurnalisme Abadi

S Sahala Tua Saragih   ;  Dosen Prodi Jurnalistik Fikom Unpad
MEDIA INDONESIA,  08 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
“Konvergensi media melahirkan ‘jurnalisme mutilasi’, dari yang holistis menjadi terpotong- potong. Teknik pelaporan dan penyajian berita yang sangat fragmentaris ini tentu berpengaruh terhadap khalayak, baik positif maupun negatif.”

TEKNOLOGI, termasuk teknologi informasi dan komunikasi (TIK), dari masa ke masa selalu berubahubah. Semula geraknya evolusioner, tapi lama-lama berubah secara re volusioner. Berbagai inovasi TIK, umum nya penemuan orang-orang hebat di Amerika Serikat, telah mengubah wajah media massa di dunia, termasuk Indonesia. Kini kita mengenal berbagai jenis media massa, mulai dari cetak (koran, majalah, dan tabloid), elektronik (radio dan televisi), hingga online (dalam jaringan/daring). Memang, ada yang menuduh media daring telah mematikan banyak media massa cetak besar dan terkenal yang telah berusia puluhan bahkan lebih dari 100 tahun. Lihat saja fakta itu di Ame rika Serikat dan Eropa Barat.

Akan tetapi, banyak ahli yang berpendapat penyebab utama kematian mereka bukanlah media massa da ring, melainkan krisis ekonomi yang sangat parah dan kronis di negara-negara industri yang sangat maju tersebut. Fakta juga membuktikan, di negara mana pun kini media massa cetak masih tetap hidup. Bahkan di negara-negara Asia yang sangat maju seperti Jepang, Korea Selatan, dan China masih tetap hidup subur.

Kehadiran TIK canggih (dalam hal ini internet) juga melahirkan berbagai media sosial, blog, jurnalisme warga, dan lain-lain. Peran media sosial (terutama Facebook dan Twitter) begitu luar biasa. Penerapan TIK canggih dalam semua jenis media massa niscaya berpengaruh besar dan langsung, baik terhadap para pengusaha, pengelola, dan pekerja media massa maupun khalayak media massa yang sangat heterogen.

Pengaruh teknologi

Jauh sebelum orang-orang hebat di Barat sana menciptakan internet dan telepon seluler, Marshall McLuhan, ahli komunikasi dari Kanada, telah menyatakan besarnya pengaruh teknologi, termasuk teknologi yang diterapkan dalam media massa, terhadap kehidupan umat manusia. Dalam bukunya, Understanding Media (1964), McLuhan mengemukakan dampak sosial yang dihasilkan oleh bentuk-bentuk komunikasi utama yang menggunakan media (jam dinding, televisi, radio, film, telepon, dan lain-lain). Dia berpendapat teknologi yang menggunakan media membentuk perasaan, pikiran, dan tindakan orang. Dia pun menegaskan bahwa manusia memiliki hubungan yang simbiotis dengan teknologi yang memakai media. Manusia menciptakan teknologi, dan sebagai gantinya, teknologi menciptakan kembali diri manusia.

Menurut McLuhan, media elektronik telah mengubah masyarakat secara radikal. Masyarakat sangat bergantung kepada teknologi yang menggunakan media. Ketertiban sosial suatu masyarakat didasarkan pada kemampuannya menghadapi teknologi tersebut. Media secara umum bertindak langsung untuk membentuk dan mengorganisasikan sebuah budaya. Inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan Teori Ekologi Media ciptaan asli Marshall McLuhan.

Teori Ekologi Media memiliki tiga asumsi sebagai berikut. Pertama, media melingkupi setiap tindakan di dalam masyarakat. Kita tidak dapat menghindari atau melarikan diri dari media, terutama bila kita menganut interpretasi McLuhan yang luas tentang apa yang menyusun sebuah media.

Dia menyatakan media dalam arti luas selalu hadir dalam kehidupan umat manusia. Media mentransformasi masyarakat baik melalui permainan yang kita mainkan, radio, maupun televisi. Pada saat yang bersamaan media bergantung pada masyarakat untuk pertukaran dan evolusi. Kedua, media memperbaiki persepsi kita dan mengorganisasikan pengalaman kita. Manusia secara langsung dipengaruhi media. McLuhan menyatakan media cukup kuat di dalam pandangan kita mengenai dunia.

Ketiga, media menyatukan seluruh dunia. McLuhan memakai istilah global village (desa sejagat) untuk mendeskripsikan bagaimana media mengikat dunia menjadi sebuah sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang besar. Dia yakin media mampu mengorganisasikan masyarakat secara sosial. Media elektronik secara khusus memiliki kemampuan untuk menjembatani budaya-budaya yang tidak akan pernah berkomunikasi sebelum adanya koneksi ini. Dampak desa sejagat ini ialah kemampuan kita menerima informasi secara langsung.

Akibatnya, kita harus mulai tertarik dengan peristiwa sejagat alihalih berfokus hanya pada komunitas kita sendiri. Dia mengamati bahwa bola dunia tidak lebih dari sebuah desa. Kita harus merasa bertanggung jawab terhadap orang lain. Orang lain sekarang terlibat di dalam kehidupan kita, sebagaimana kita juga terlibat dalam kehidupan mereka. Ini berkat kehadiran media elektronik, termasuk kini media daring dan media sosial.

Jurnalisme abadi

Sejak internet merambah media massa dengan sangat intensif di Tanah Air menjelang abad ke-20 berakhir, irama kerja para wartawan pun berubah dengan cepat. Kehadiran internet atau TIK mutakhir telah melahirkan istilah konvergensi (penyatuan) media. Dalam sebuah industri media massa terdapat media massa cetak, elektronik, dan daring. Tiga jenis media massa yang berbeda usia sangat jauh itu dipadukan dalam sebuah ruang redaksi. Para wartawan di lapangan dan di ruang redaksi pun harus menyesuaikan diri dengan penerapan konvergensi media tersebut.

Para wartawan koran harian, misalnya, harus sesegera mungkin mengirim laporan singkat ke media massa daring, radio, dan televisi milik perusahaan tempat ia bekerja. Padahal, setiap jenis media massa memiliki bahasa dan gaya jurnalisme khas masing-masing. Meskipun sebuah acara konferensi pers, misalnya, baru dimulai, dia sudah harus mengirimkan laporan singkat. Atas nama aktualitas atau kecepatan (mungkin lebih tepat disebut atas nama persaingan antarperusahaan media) dia harus mengalihkan fokus pancaindra atau perhatiannya.

Dari cara bekerja wartawan yang sangat tergesa-gesa dalam konteks konvergensi media tersebut, lahirlah istilah ‘jurnalisme mutilasi’. Dahulu dia melaporkan berita secara utuh, kini dilakukan secara periodik, misalnya sekali 30 menit atau 45 menit.

Tentu saja teknik pelaporan dan penyajian berita yang sangat fragmentaris ini berpengaruh terhadap khalayak. Efeknya positif bila khalayak mau dan sempat mengikuti laporan berkali-kali wartawan itu hingga tuntas (utuh), sedangkan efek negatifnya bila khalayak menyimak hanya sebagian dan langsung bertindak, atau mengambil keputusan yang sangat penting. Ternyata kemudian terbukti bahwa keputusan atau tindakan konkret khalayak itu salah karena berita yang mereka jadikan rujukan baru sepotong peristiwa.

Melalui media ini kita sangat mengharapkan agar segenap wartawan di Tanah Air tetap menjunjung tinggi profesionalisme. Prinsip-prinsip jurnalisme tidak boleh dipinggirkan oleh aktualitas atau kecepatan pemberitaan suatu peristiwa, atau untuk memenangi persaingan.

Prinsip pofesionalitas harus dipegang teguh oleh segenap wartawan; media massa boleh terus berubah-ubah wujud (akibat inovasi dan revolusi TIK), tetapi prinsip-prinsip jurnalisme abadi. Selamat Hari Pers.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar