Sabtu, 16 Februari lalu, saya dan beberapa teman dikirimi surel oleh
sobat kami. Ia astronomiman senior, anggota AIPI, dan pernah mengetuai
akademi itu.
Perhatiannya terhadap usaha mencerdaskan kehidupan bangsa tak
diragukan lagi. Ia dimintai masukan oleh Badan Nasional Standardisasi
Pendidikan. Ia juga seorang fellow di Triple AS, American Association for
the Advancement of Science.
Surelnya antara lain begini, ”Rekan-rekan yang sudah bercucu:
Berbahagialah yang bisa menyekolahkan cucunya di luar negeri untuk belajar
science, belajar kimia dan pengetahuan alam. Kurikulum 2013 tidak menampung
keinginan tahu, pembentukan sikap kritis, kecuali menurut. Ini contohnya
dari adagium pengajaran kimia (dan masih banyak lagi contohnya). Soal
bahasa menyedihkan sekali. Lalu kapan kita mengejar kemajuan negara lain?
Mohon lihat kurikulum kimia 2013 terlampir. Absurd sekali.”
Contoh absurd yang dikirim sobat kami itu ialah ”Kompetensi Dasar
SMA, Mata Pelajaran Kimia” untuk kelas X. Uraiannya kira-kira separuh
halaman, terdiri atas kolom Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar.
Isinya, anjuran menjadi nasionalis bermoral, bergotong-royong,
berbagi, jujur, berdisiplin, cinta damai, menjaga lingkungan, dan
sebagainya. Bau kimianya disemprotkan dengan nasihat agar siswa meniru
sifat dan perilaku elektron-elektron yang berada dalam dan merupakan bagian
dari atom/molekul.
Dugaan saya, di sekolah-sekolah nanti moralitas dan nasionalisme itu
akan dikhotbahkan secara dogmatis oleh para guru, tidak dididikkan secara
rasional sebagai Filsafat Moral. Tak ada kata yang lebih tepat mengomentari
kurikulum itu kecuali mengamini kata sobat kami tadi: absurd!
Teladan?
Anjuran memasang elektron-elektron dalam atom/molekul sebagai teladan
tidak selalu tepat. Siswa disuruh mencontoh elektron-elektron dalam gas
mulia, misalnya. Apa hebatnya mereka? Dalam atom (yang sekaligus molekul
eka-atom) gas mulia, elektron-elektron itu membentuk subkelopak penuh
sehingga gas mulia sangat mantap dan lembam. Elektronnya adem-ayem dan
nyaman dalam kesendiriannya. Mereka cuek terhadap liyan. Apakah sifat
dingin dan tak-pedulian macam itu patut ditiru dalam persrawungan kita di
masyarakat?
Ada juga gas-gas mulia yang muncul dari pembelahan inti di dalam
teras reaktor PLTN, seperti Xenon-135 dan Kripton-85. Xenon, misalnya,
harus dilepaskan dari dalam selongsong elemen bahan-bakar nuklir. Kalau
tidak, selongsong lakur Zirconium itu bisa melepuh dan, kalau sampai robek,
akan menyebabkan kontaminasi.
Gas-gas mulia itu harus dilepaskan ke udara sebab, kalau tetap berada
di dalam reaktor, akan menaikkan suhu dengan radiasinya. Xenon juga dapat
menyebabkan ”keracunan”.
Ini mengganggu pengaturan reaktivitas reaksi pembelahan inti berantai
dan menyulitkan reaksi itu bertahan berkelanjutan secara ”pas”. Sumber
masalah kok dijadikan teladan! Ahli nuklir Filipina, Achilles del Callar,
memelesetkan nama gas itu dari gas mulia, noble gases, menjadi gas hina,
ignoble gases.
Surel dari seorang sobat itu ada mukadimahnya: Dulu di SD Jalan
Tuntang, Salatiga (sekarang Jalan Diponegoro), saya diajari oleh guru SD
yang bijak, (yakni) Ibu Sis, yang menginginkan siswanya berpikir kritis.
Mukadimah itu disebutnya ”Kenangan Indah tahun 1946-1947”. Saya juga
punya kenangan indah dari masa SMA saya tahun 1957-1958. Guru Matematika
kami, Bapak Soedarno, sangat piawai mengajarkan Aljabar, Goniometri,
Stereometri, dan Ilmu Ukur Lukis.
Bila dalam ulangan ada siswa yang tak saja dapat mengerjakan
soal-soalnya dengan 100 persen benar, tetapi juga dengan cara yang ringkas,
jelas, dan anggun, beliau memberinya nilai 10 plus bonus. Bonusnya tidak
tanggung-tanggung: 100. Dengan cara itulah beliau menunjukkan apresiasinya
terhadap cara berpikir yang jernih dan efektif.
Kalau kurikulumnya saja absurd, sangat boleh jadi pelaksanaannya
dalam proses belajar mengajar akan membuat Kimia menjadi momok yang
menakutkan. Bisa juga, Kimia membuat para siswa menjadi ”bete”: bengong dan
bosan terus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar