Pada suatu saat di sebuah negara nan jauh seorang anak bertanya
kepada bapaknya: ”Pak, hewan apa yang paling berbahaya di dunia ini? Hewan
apa yang paling menakutkan?” Tanpa perlu waktu untuk merenungkan
masalah ini lebih lanjut, si bapak dengan segera menjawab,
”Nyamuk, Nak. Nyamuk.” Setelah memelototi bapaknya beberapa saat
seolah-olah dia kehilangan akal sehatnya, si anak terjatuh saking keras
tertawanya.
Ia, yang pasti berharap akan beroleh cerita tentang ular panjang,
laba-laba mistis, kuda nil ganas, atau setidaknya harimau galak, hanya
disuguhi jawaban nyamuk. Sesudah pulih dari serangan ketawanya, si anak pun
menyuguhkan pandangan sinis kepada bapaknya yang, seperti semestinya,
merasa seperti pecundang terbesar di mata anaknya.
Sebagaimana sudah diketahui, nyamuk memang hewan yang mengakibatkan
paling banyak kematian manusia setiap tahun di dunia ini. Harimau, singa,
dan kuda nil masing-masing hanya menewaskan beberapa ratus orang setiap
tahun, dan buaya pun masih kurang dari dua ribu orang. Ular memang
menghabiskan banyak nyawa manusia setiap tahun (bahkan, barangkali lebih
dari seratus ribu), tapi nyamuk masih jadi dalang di belakang kematian
jutaan orang. Nyamuk tidak menyia-nyiakan sebuah kesempatan untuk
mengganggu setiap orang yang mencoba menikmati secangkir kopi hangat
sembari matahari tenggelam di belakang pepohonan. Mereka juga tidak enggan
menyebarkan berbagai penyakit mematikan kepada umat manusia. Guna nyamuk
ini rupanya tidak banyak, atau bahkan nihil.
Tidak salah kalau para pembaca sekarang bertanya-tanya dalam hati:
apa hubungannya dengan bahasa, mengingat ini sebuah kolom bahasa? Baru-baru
ini saya temukan sebuah ucapan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa yang sebelumnya belum saya kenal. Sebab ucapan itu melibatkan kata
nyamuk, maka mungkin tidak salah kalau kami berprasangka bahwa ucapan itu
agak merendahkan martabat yang jadi sasaran ucapan tersebut.
Ucapan itu adalah nyamuk pers dan merujuk pada orang-orang yang
menghasilkan koran yang Anda pegangi sekarang, yakni para wartawan. KBBI
tidak memberi penilaian atas ucapan itu, tetapi hati nurani saya dengan
keras mengatakan bahwa nyamuk pers itu bukan istilah terhormat atau gelar
yang sering tertera di kartu nama para wartawan. Jarang juga kami mendengar
orangtua membanggakan anaknya dengan mengatakan, ”Setelah bekerja keras, si
Anu sudah jadi nyamuk pers sekarang, lo.”
Mendengar istilah nyamuk pers ini, dalam benak saya muncul gambaran
berisi puluhan wartawan yang mengerumuni dan menyerbu sasarannya, tanpa
mengindahkan keinginan atau maksud sasaran tersebut. Dengan kata lain,
penenggelaman matahari si sasaran itu terusik oleh para nyamuk besar.
Dengan menggunakan analogi bahasa, saya mau mengusulkan beberapa nyamuk
yang lain. Yang pertama, nyamuk toko yaitu para penjual yang memenuhi
gang-gang di toko swalayan dengan tugas (saya tebak) mengganggu kenyamanan
pembelanja. Yang kedua, nyamuk Malioboro, yakni para penjual batik di
sepanjang jalan wisata itu yang tidak membiarkan, tapi malah membuntuti dan
mengganggu para turis yang ingin menikmati kota yang konon berhati nyaman
itu. Yang ketiga, nyamuk antrean yaitu orang-orang yang entah mengapa tidak
mampu mencari tempatnya yang benar dalam sebuah garis antrean. Selain tiga
contoh ini, masih banyak ”nyamuk” yang bisa kami temukan (seperti nyamuk
lalu lintas, nyamuk pantai, nyamuk televisi, dan sebagainya).
O, ya, sejujurnya, ada satu hewan yang bisa membuat saya lebih takut
daripada nyamuk. Hewan itu adalah tikus. Politikus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar