Sabtu, 02 Februari 2013

Trayek Baru Obama


Trayek Baru Obama
R William Liddle ;  Profesor Emeritus Ohio State University, AS
KOMPAS, 02 Februari 2013


Ternyata seorang presiden bisa belajar dari pengalaman dan mengubah arah pemerintahannya. Inilah yang terjadi di Amerika Serikat, tempat Barack Obama mulai menapakkan kaki pada masa kedua pemerintahannya.
Empat tahun lalu, dalam pidato pelantikannya yang pertama, Obama menyatakan bahwa dia mau memimpin bukan sebagai seorang Demokrat partisan, melainkan sebagai pemersatu bangsa. Zaman kita penuh ancaman besar, tegasnya. Amerika sedang menghadapi krisis ekonomi paling dahsyat setelah tahun 1930-an masa Depresi Besar. Perang masih berkobar di Irak dan Afganistan.
Jawaban Obama atas tantangan itu: ”Kita lebih memilih harapan ketimbang ketakutan, keesaan tujuan ketimbang pertikaian dan perbenturan.” Kalimat yang paling berkesan: ”Kita mencanangkan berakhirnya gerutuan sepele, janji-janji muluk, pencarian kambing hitam, dan dogma-dogma usang yang terlalu lama memacetkan politik kita.”
Empat tahun kemudian, nada dan substansi pidato pelantikan kedua bertolak belakang dengan semangat pidato pertama. Setelah mengklaim bahwa ”satu dasawarsa perang sedang berakhir” dan ”pemulihan ekonomi telah mulai”, Obama langsung mengacu kepada sejumlah masalah utama yang akan ditanganinya.
Masalah-masalah itu: jurang beda pendapatan ekonomi yang makin lebar antara kelompok paling kaya dan kelas menengah; ancaman fiskal terhadap kelestarian program-program kesejahteraan sosial, seperti Medicare buat orang tua dan Medicaid buat orang miskin; serta dampak pemanasan global dalam bentuk ”badai yang mengganas, api yang membara ke mana-mana, dan kemarau yang melumpuhkan”.
Mengacu kepada tokoh-tokoh Partai Republik yang bandel, Obama menandaskan bahwa penemuan ilmuwan perihal perubahan iklim tak terbantahkan.
Namun, Obama tidak berhenti di situ. Masih ada tiga masalah yang dia anggap cukup penting dikemukakan dalam pidato pelantikannya. Penjualan senjata api dan amunisi harus dikontrol agar lebih sulit diperoleh orang-orang tak bertanggung jawab. Kita diingatkan kepada nasib 20 anak kelas I SD di Newtown, Connecticut, yang dibunuh secara membabi-buta, Desember lalu. Kedua, status hukum orang gay dan lesbian perlu dibuat setara dengan warga negara lain. Ketiga, para imigran gelap, terutama dari Amerika Latin, harus diberi kesempatan mewujudkan American dream mereka.
Sudah Jenuh
Dari mana datang ketegasan baru Obama yang sudah lama di- nantikan banyak orang? Alasannya jelas: dia sudah jenuh dengan perlawanan absolut yang dihada- pinya, khususnya dua tahun terakhir ketika Partai Republik menguasai mayoritas di Dewan Perwakilan. Alih-alih merespons secara positif uluran tangannya, para pemimpin Partai Republik jelas-jelas mengumandangkan tujuan utama mereka: menjatuhkannya dalam pilpres 2012.
Kini, di awal masa jabatan ke- dua, Obama mengantongi sejumlah sumber daya politik baru. Pertama, kemenangan pribadinya 51 persen-47 persen menurut penghitungan seluruh suara. Namun, angka yang menentukan menurut konstitusi adalah jumlah suara di electoral college, 332 lawan 206 suara. Selama ini lembaga electoral college merupakan indikator paling meyakinkan kemenangan seseorang. Jumlah kursi dan legitimasi Partai Demokrat juga bertambah di Senat dan Dewan Perwakilan.
Kedua, tak kalah penting, keterampilannya sebagai aktor politik dalam proses pembuatan kebijakan. Obama dianggap sering kalah taktik dari lawan politiknya dalam proses negosiasi. Keluhan yang paling sering terdengar adalah bahwa posisi awalnya terlalu dekat kepada posisi awal partai oposisi, betapa pun ekstremnya.
Belakangan ini saya mulai percaya bahwa ia makin pandai menyusun kekuatan kubunya sendiri dan mengakali musuhnya. Desember lalu, dia berhasil memaksa Senat dan Dewan Perwakilan menerima tuntutannya menaikkan pajak orang kaya, sesuai dengan janji kampanye pilpresnya. Hal itu tak mudah mengingat bahwa Partai Republik masih memegang posisi mayoritas di Dewan Perwakilan.
Kesan saya, selama masa reformasi, rakyat Indonesia belum berhasil memilih seorang presiden bervisi besar, apalagi yang bersedia mengubah trayek pemerintahannya setelah masa jabatan pertama. Sistem presidensial di negara kita memungkinkannya. Seorang presiden yang baru dipilih kembali, apalagi dengan dukungan rakyat yang bertambah besar, memiliki legitimasi pribadi, keleluasaan bertindak, dan keterampilan taktis yang tak dimilikinya di awal masa jabatan pertama. Semoga presiden-presiden Indonesia mendatang menyadari kenyataan itu. ●



Tidak ada komentar:

Posting Komentar