|
KOMPAS,
02 Februari 2013
Ternyata seorang presiden
bisa belajar dari pengalaman dan mengubah arah pemerintahannya. Inilah yang
terjadi di Amerika Serikat, tempat Barack Obama mulai menapakkan kaki pada
masa kedua pemerintahannya.
Empat
tahun lalu, dalam pidato pelantikannya yang pertama, Obama menyatakan bahwa
dia mau memimpin bukan sebagai seorang Demokrat partisan, melainkan sebagai
pemersatu bangsa. Zaman kita penuh ancaman besar, tegasnya. Amerika sedang
menghadapi krisis ekonomi paling dahsyat setelah tahun 1930-an masa Depresi
Besar. Perang masih berkobar di Irak dan Afganistan.
Jawaban
Obama atas tantangan itu: ”Kita lebih
memilih harapan ketimbang ketakutan, keesaan tujuan ketimbang pertikaian dan
perbenturan.” Kalimat yang paling berkesan: ”Kita mencanangkan berakhirnya gerutuan sepele, janji-janji muluk,
pencarian kambing hitam, dan dogma-dogma usang yang terlalu lama memacetkan
politik kita.”
Empat
tahun kemudian, nada dan substansi pidato pelantikan kedua bertolak belakang
dengan semangat pidato pertama. Setelah mengklaim bahwa ”satu dasawarsa perang sedang berakhir” dan ”pemulihan ekonomi telah
mulai”, Obama langsung mengacu kepada sejumlah masalah utama yang akan
ditanganinya.
Masalah-masalah
itu: jurang beda pendapatan ekonomi yang makin lebar antara kelompok paling
kaya dan kelas menengah; ancaman fiskal terhadap kelestarian program-program
kesejahteraan sosial, seperti Medicare buat orang tua dan Medicaid buat orang
miskin; serta dampak pemanasan global dalam bentuk ”badai yang mengganas, api yang membara ke mana-mana, dan kemarau
yang melumpuhkan”.
Mengacu
kepada tokoh-tokoh Partai Republik yang bandel, Obama menandaskan bahwa
penemuan ilmuwan perihal perubahan iklim tak terbantahkan.
Namun,
Obama tidak berhenti di situ. Masih ada tiga masalah yang dia anggap cukup
penting dikemukakan dalam pidato pelantikannya. Penjualan senjata api dan
amunisi harus dikontrol agar lebih sulit diperoleh orang-orang tak
bertanggung jawab. Kita diingatkan kepada nasib 20 anak kelas I SD di
Newtown, Connecticut, yang dibunuh secara membabi-buta, Desember lalu. Kedua,
status hukum orang gay dan lesbian perlu dibuat setara dengan warga negara
lain. Ketiga, para imigran gelap, terutama dari Amerika Latin, harus diberi
kesempatan mewujudkan American dream mereka.
Dari
mana datang ketegasan baru Obama yang sudah lama di- nantikan banyak orang?
Alasannya jelas: dia sudah jenuh dengan perlawanan absolut yang dihada-
pinya, khususnya dua tahun terakhir ketika Partai Republik menguasai
mayoritas di Dewan Perwakilan. Alih-alih merespons secara positif uluran
tangannya, para pemimpin Partai Republik jelas-jelas mengumandangkan tujuan
utama mereka: menjatuhkannya dalam pilpres 2012.
Kini,
di awal masa jabatan ke- dua, Obama mengantongi sejumlah sumber daya politik
baru. Pertama, kemenangan pribadinya 51 persen-47 persen menurut penghitungan
seluruh suara. Namun, angka yang menentukan menurut konstitusi adalah jumlah
suara di electoral college, 332
lawan 206 suara. Selama ini lembaga electoral
college merupakan indikator paling meyakinkan kemenangan seseorang.
Jumlah kursi dan legitimasi Partai Demokrat juga bertambah di Senat dan Dewan
Perwakilan.
Kedua,
tak kalah penting, keterampilannya sebagai aktor politik dalam proses
pembuatan kebijakan. Obama dianggap sering kalah taktik dari lawan politiknya
dalam proses negosiasi. Keluhan yang paling sering terdengar adalah bahwa
posisi awalnya terlalu dekat kepada posisi awal partai oposisi, betapa pun
ekstremnya.
Belakangan
ini saya mulai percaya bahwa ia makin pandai menyusun kekuatan kubunya
sendiri dan mengakali musuhnya. Desember lalu, dia berhasil memaksa Senat dan
Dewan Perwakilan menerima tuntutannya menaikkan pajak orang kaya, sesuai
dengan janji kampanye pilpresnya. Hal itu tak mudah mengingat bahwa Partai
Republik masih memegang posisi mayoritas di Dewan Perwakilan.
Kesan
saya, selama masa reformasi, rakyat Indonesia belum berhasil memilih seorang
presiden bervisi besar, apalagi yang bersedia mengubah trayek pemerintahannya
setelah masa jabatan pertama. Sistem presidensial di negara kita
memungkinkannya. Seorang presiden yang baru dipilih kembali, apalagi dengan
dukungan rakyat yang bertambah besar, memiliki legitimasi pribadi,
keleluasaan bertindak, dan keterampilan taktis yang tak dimilikinya di awal
masa jabatan pertama. Semoga presiden-presiden Indonesia mendatang menyadari
kenyataan itu. ●
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar