|
KOMPAS,
02 Februari 2013
Penetapan tersangka atas
dua politisi kelas wahid, Andi Mallarangeng dan Luthfi Hasan Ishaaq, membuat
citra politik ambruk ke titik nadir. Ini tak sehat untuk ”tahun politik”
2014.
Padahal,
kita baru saja jatuh cinta kembali pada politik setelah duet Jokowi-Ahok
memenangi Pilkada Gubernur DKI. Ada politik akal sehat dan pejabat yang mau
menyingsingkan lengan kemeja.
Apa
lacur, sinar yang baru muncul dan membangkitkan militansi terhadap politik
itu agak sedikit meredup. Partai, pejabat, dan politisi kembali menjadi bahan
lelucon di media sosial.
Terdapat
kesan praktik politik kita makin terjerembab ke lembah korupsi. Betul sekali
istilah ”Trias Poli-thieves”, tiga cabang kekuasaan ”execu-thieves,
legisla-thieves, judica-thieves”.
Di
mata sebagian orang, politisi jadi profesi untuk cari nafkah setelah politisi
terpilih sebagai pejabat publik. Untuk jadi wakil rakyat, misalnya, Anda
cukup punya hubungan darah dengan tokoh penting atau punya simpanan ekstra di
bank.
Akan
lebih afdal lagi jika Anda selebritas ngetop atau eks bintang film, penyanyi,
atau komedian. Anda tak perlu ngerti politik—apalagi sejarah kita yang
kaya—karena itu bukan urusan genting.
Lebih
menguntungkan lagi kalau Anda punya gelar akademisi, apalagi doktor. Dan,
yang paling penting, Anda berani tampil, enggak usah takut malu, dan dekat
dengan media.
Itu
setidaknya persepsi sebagian masyarakat mengenai politisi dan pejabat dewasa
ini. Mungkin makin sedikit warga yang rela mengernyitkan dahi memikirkan apa
cita-cita politik kita kelak.
Pendek
kata, kualitas politik di negeri ini tak jauh berbeda dengan gosip. Benar
kata Harold Lasswell bahwa rumor (politik) kita adalah urusan ”siapa dapat
berapa, kapan, dan bagaimana caranya”.
Akibat
dari apa yang disebut oleh Lasswell tersebut sering kita saksikan tiap hari.
Jangan-jangan politik sekarang ini menjadi ancaman serius terhadap
kemaslahatan kita sebagai bangsa.
Lihat
saja bagaimana setiap pilkada hampir pasti berakhir dengan kerusuhan atau
gugatan ke pengadilan. Pada faktanya, isu sara pun dimanipulasi dalam pilkada
di Ibu Kota saat kampanye.
Saya
tidak mau bersikap pesimistis karena bagaimana pun tentu masih banyak rakyat
yang berharap politik kita tak terlalu lama ”sakit”. Demokrasi butuh waktu,
dan rupanya 14 tahun lebih politik kita masih ibarat anak balita merangkak.
Sungguh
sebuah ironi menyedihkan karena bangsa dan negara ini diawali oleh politik
beradab oleh tokoh-tokoh dan partai-partai besar. Kehadiran tahun-tahun
penting 1908, 1928, dan 1945 dibidani oleh ideologi, partai, dan politik.
Panggung
politik kita dibuka oleh apa yang dinamakan ”politik aliran” yang kanan,
kiri, dan tengah. Militer kita pun sempat berubah wujud jadi ”Partai ABRI”,
mahasiswa kita pun berjuang lewat ”politik parlemen jalanan”.
Pemilu
1955 diikuti hampir 100 partai yang membawa nama ideologi, aliran politik,
etnis, dan perseorangan. Kredibilitas pemilu-pemilu Orde Baru memang layak
dipertanyakan, tetapi partai tetap jadi penaung aspirasi massa mengambang.
Bung
Karno mengenalkan idiom ”politik adalah panglima”. Sebegitu vitalnya partai,
Orde Baru membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memilih antara sistem
dwipartai dan tiga partai.
Politik,
partai, dan politisi masih dan akan tetap eksis untuk saat ini dan masa
depan. Masalahnya, mengutip sebuah lirik lagu Bon Jovi, ”It is you politicians who give politics a bad name”.
Problem
utama terletak pada sikap asyik sendiri partai yang sudah lama melenceng dari
konstitusi. Politik mestinya proses yang ”longgar” alias ”tidak ketat” yang
terbuka bagi siapa pun.
Politik
seolah-olah hanya ajang eksklusif bagi partai-partai yang itu-itu lagi.
Setiap ruang untuk membuka jalur politik guna menyalurkan aspirasi kelompok
atau golongan ditutup rapat.
Setelah
Pemilu-Pilpres 1999, telah dibangun kondisi oligarkis. Partai-partai besar
mengamankan kepentingan masing-masing dengan mengetatkan pintu masuk bagi
partai-partai baru ataupun para pemimpin baru.
Undang-undang
yang berkaitan dengan pemilu dan pilpres diubah-ubah sesuka hati dan disesuaikan
dengan kepentingan masing-masing partai. Itulah yang tecermin dari
aturan-aturan ”ambang batas” yang kurang masuk akal sehat.
Politisi-politisi
kita cuma hebat untuk urusan demokrasi prosedural semata, kurang memahami
esensinya. Pilpres, pemilu, ataupun pilkada hanya ajang jualan citra dan
pidato tanpa makna.
Proses
politik kerap bersifat transaksional alias tidak transformatif. Ada lelucon
yang mengatakan, dengan modal sekitar Rp 1 miliar, seorang anggota DPR sudah
untung (baca: lebih dari balik modal) dengan mengandalkan gaji lima tahun
saja.
Keuntungan
lebih besar diraih dari proses legislasi yang nilainya triliunan rupiah
melalui kerja sama dengan para pejabat tinggi yang sebagian juga politisi.
Jika ketahuan korupsi, toh masih belum rugi walau dibui beberapa tahun.
Jangan
salah, masih banyak politisi jujur. Akan tetapi, mereka telanjur terjebak di
dalam mekanisme transaksional di partai-partai mereka.
Kini,
partai dan politisi mempermalukan diri mereka sendiri di depan umum. Dalam
kondisi ini rakyat pemilih enggan membantu mereka, malah menghukum dengan
mengambil sikap golput.
Ya,
hanya partai dan politisi yang bisa membantu nasib mereka sendiri. Ini sebuah
tantangan mahabesar yang tampaknya masih akan sukar ditanggulangi sampai
”tahun politik” 2014.
Terlebih
lagi mayoritas pemilih adalah massa mengambang yang menurut istilah Barat, ”too dumb to be governed”. Sulit
membayangkan pemilih yang masa bodoh yang dipimpin oleh mereka yang ”too dumb to govern”.
Dan,
kita harus menelan ludah saja karena yang akan memilih dan yang akan dipilih
tahun 2014 lebih percaya pada rupiah ketimbang ideologi, politik aliran, atau
cita-cita. Jika pada era Orde Lama berlaku prinsip ”politik adalah panglima”, pada era Orde Baru ”pembangunan adalah panglima”, pada
era orde ini ”duit adalah panglima”.
●
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar