|
KOMPAS,
02 Februari 2013
Pemberitaan di media
akhir-akhir ini selalu menggambarkan mutu pendidikan dan riset yang rendah di
Indonesia.
Hasil
pemeringkatan berbagai lembaga internasional selalu menunjukkan peringkat
perguruan tinggi Indonesia jauh lebih rendah daripada negara tetangga di
ASEAN, apalagi negara maju di Eropa, Asia, dan Amerika Serikat. Hasil survei
internasional, seperti PISA dan TIMSS, juga menunjukkan peringkat siswa-siswi
kita secara keseluruhan dalam bidang sains sangat rendah. Ini menunjukkan
peringkat melek sains anak-anak Indonesia sangat rendah saat ini.
Kita
memang mengalami kemajuan dalam pendidikan dan riset, tetapi negara lain
lebih cepat kemajuannya sehingga Indonesia tetap saja tertinggal, bahkan
makin jauh tertinggal. Dalam bidang riset, kita pun tertinggal cukup jauh:
peringkatnya rendah, terutama dalam publikasi ilmiah, jumlah perolehan paten,
ataupun inovasi yang memberi terobosan ilmu pengetahuan dan teknologi baru.
Akibat pemberitaan yang demikian, semua pihak galau dengan masa depan
Indonesia yang makin suram karena melemahnya kapasitas sumber daya manusia
untuk bersaing di era global. Kegalauan itu terjadi di semua lini, terutama
di kalangan pengambil kebijakan dan para pelaku pendidikan dan riset.
Masyarakat
umumnya tak terlalu peduli dengan kondisi pendidikan dan riset kita yang
masih lemah karena perhatian mereka habis disita kondisi ekonomi yang sangat
berat. Di samping itu, mereka juga tak dapat berbuat apa-apa memperbaiki
kondisi pendidikan dan riset di Indonesia. Mereka masih harus berusaha keras
untuk sintas. Para pengambil kebijakan serta pelaku pendidikan dan riset,
karena kegalauannya, kemudian mengungkapkan berbagai kendala yang mereka
hadapi. Kendala utamanya selalu ketidakcukupan anggaran pendidikan dan riset.
Mereka menyatakan, negara-negara maju sangat besar anggaran pendidikan dan
risetnya sehingga dapat mencapai mutu pendidikan dan riset yang tinggi. Yang
dijadikan kambing hitam adalah anggaran kurang.
Seandainya
benar penyebab
Untuk
riset, memang anggaran pemerintah sangat terbatas saat ini, hanya sekitar
0,08 persen dari PDB. Padahal, ukuran negara maju sekitar 3 persen dari PDB.
Pemerintah menargetkan anggaran riset dinaikkan menjadi 1 persen dari PDB
dalam kurun lima tahun ke depan. Pendekatan yang dilakukan pengambil
kebijakan dan juga pemahaman para pelaku pendidikan dan riset sangat
pragmatis, yakni tambahkan anggaran, persoalannya akan selesai. Sesederhana
itukah?
Kambing
hitam berikutnya yang dianggap sebagai sumber rendahnya mutu pendidikan dan
riset kita adalah budaya korupsi yang menggejala di semua lini. Para pengamat
pendidikan menyampaikan bahwa budaya korupsi mengakibatkan kebocoran
penggunaan anggaran sehingga anggaran tak mencukupi untuk penyelenggaraan
pendidikan dan riset yang bermutu. Lagi-lagi anggaran kurang menjadi kambing
hitam meski diakibatkan oleh korupsi. Seandainya korupsi hilang, apakah mutu
pendidikan dan riset akan meningkat?
Dari
pembahasan di atas tampak jelas persoalan pendidikan dan riset bukan karena
kurangnya anggaran, melainkan sistem keuangan negara yang berlaku di
Indonesia tidak sesuai dengan sifat kegiatan pendidikan dan riset. Sistem
yang ada saat ini tidak mampu meningkatkan mutu pendidikan dan riset karena
tidak ada keterkaitan langsung antara besarnya anggaran dan mutu pendidikan
dan riset yang dihasilkan. Dengan sistem keuangan negara yang dianut saat
ini, seberapa pun anggaran pendidikan dan riset tidak akan mampu meningkatkan
mutu pendidikan dan riset secara signifikan. Malah, akan terjadi kebocoran
dan korupsi yang lebih besar atau pemborosan karena pembelanjaan yang
berlebihan bagi hal-hal tidak terkait dengan peningkatan mutu pendidikan dan
riset.
Sistem
yang dianut saat ini tidak berbasis kepada capaian kinerja. Artinya, tidak
ada insentif atau disinsentif bagi institusi pelaku pendidikan dan riset
apabila berhasil atau gagal menjalankan amanahnya meningkatkan mutu. Sistem
yang ada saat ini menekankan pada penyerapan anggaran yang tertib
administratif setiap tahun anggaran.
Anggaran
disusun pemerintah bersama DPR untuk setiap tahun anggaran secara rinci dalam
mata anggaran baku, yaitu anggaran rutin yang terdiri dari belanja pegawai,
belanja barang, belanja perjalanan, lain-lain; dan anggaran pembangunan yang
wujudnya adalah pembangunan fisik. Tahun anggaran secara resmi dimulai
tanggal 1 Januari tahun berjalan, tetapi pada kenyataannya anggaran baru
tersedia sekitar April karena harus melalui berbagai macam revisi akibat
adanya perubahan asumsi dan sebagainya. Pada pertengahan Desember tahun
berjalan, institusi harus menyelesaikan pertanggungjawaban keuangan beserta
bukti-bukti administratif yang sah.
Pembakuan
mata anggaran yang demikian dan mekanisme penganggaran seperti di atas hanya
cocok untuk proyek pembangunan fisik yang jelas terukur volume, spesifikasi,
standar, prosedur, penahapan, termin, dan lainnya. Pendidikan dan riset tidak
dapat disamakan dengan pembangunan fisik karena pendidikan dan riset adalah
investasi nonfisik jangka panjang yang tak dapat diukur kemajuannya secara
fisik setiap tahun anggaran. Bahwa penggunaan anggaran pemerintah harus
akuntabel, ini dapat dicapai dengan menggunakan pola penganggaran berbasis
capaian kinerja, ketika mata anggaran tidak dibakukan dan penganggarannya
dilakukan secara multitahun dalam bentuk blok.
Dengan
penganggaran yang demikian, peningkatan mutu pendidikan dan riset akan
tercapai meskipun anggarannya tidak terlalu besar karena akan terjadi
efisiensi secara alamiah dan kemampuan inovasi dalam penyelenggaraan
pendidikan dan riset akan terbentuk.
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar