Secara mengejutkan, Presiden
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaq (LHI) dijemput KPK karena
dugaan suap impor daging pada Rabu (30/1). Penangkapan ini mengejutkan
banyak pihak, baik kalangan internal maupun di luar PKS. Di kalangan
internal, petinggi PKS memberikan dukungan dan imbauan kepada
kader-kadernya untuk terus mendoakan Luthfi agar diberikan kekuatan selama
menjalani proses hukum. Tidak sedikit kalangan eksternal yang tidak
percaya dengan penangkapan ini. Beberapa politisi partai lain seolah
tidak percaya dengan penangkapan ini karena sosok LHI yang dikenal sebagai
sosok yang alim, religius, dan berwibawa.
Kasus penangkapan ini mewarnai
panggung politik nasional 2013 menjelang perhelatan Pemilu 2014. Tentu kita
harus menempatkan asas praduga tidak bersalah dalam kasus ini. Proses hukum
masih akan berlangsung dengan berbagai perkembangan terbaru. Pengadilan
yang akan menentukan salah atau tidaknya kasus LHI.
Selain itu, yang perlu didorong
juga adalah agar KPK tidak melakukan tebang pilih dalam kasus-kasus korupsi
yang juga melanda petinggi-petinggi partai di republik ini. Beberapa
petinggi PKS mengakui bahwa kasus ini adalah murni kasus pribadi LHI.
Meskipun, tidak bisa dipisahkan ruang pribadi dengan jabatan politik yang
melekat pada LHI.
Ada beberapa tafsir yang bisa
dijelaskan dengan penangkapan ini. Pertama, penangkapan LHI menunjukkan
pertaruhan kredibilitas PKS yang secara elegan mengusung semangat bersih,
peduli, dan profesional. Komitmen antikorupsi yang diusung kader PKS diuji
dalam kasus ini. Dalam berbagai catatan kasus korupsi, sangat jarang kader
PKS didera kasus korupsi. Berbeda dengan kader-kader dari partai besar
lainnya. Sebagian menganggap kasus ini adalah tsunami politik bagi
PKS. Jika dicermati secara kritis, inilah waktu yang tepat untuk
mengapitalisasi kekuatan kader dari pusat hingga kader akar rumput.
Kedua, secara politik, kasus ini
menjadi peringatan bagi PKS dalam menyongsong Pemilu 2014. Ini menjadi
pintu masuk untuk mengonsolidasikan struktur partai dalam berbagai ajang
pemilukada selama 2013. Puncaknya adalah Pemilu 2014. Secara politik
juga, harusnya kasus ini menjadi stimulan agar PKS lebih solid
mempersiapkan pertarungan politiknya dalam berbagai pemilukada.
Pertaruhan Kredibilitas
PKS adalah partai politik
pertama pasca-Orde Baru yang berani mengusung jargon bersih dan peduli.
Bersih dalam arti jauh dari perilaku korupsi. Tidak heran kader-kader PKS
di berbagai posisi legislatif maupun eksekutif dikenal sebagai kader yang
berintegritas, bersih, dan jujur.
Dalam politik nasional, sejauh
ini hanya tercatat dua kasus yang menjerat kader PKS, yaitu kasus L/C fiktif
Bank Century yang menjerat Mukhamad Misbakhun. Tetapi, kasus ini tidak
murni korupsi. Bahkan, Misbakhun dikabulkan peninjauan kembali (PK) oleh
Mahkamah Agung. Dengan demikian, Misbakhun tidak bersalah dalam kasus tersebut. Kasus
lain juga dialami Arifinto yang tertangkap kamera sedang melihat gambar
porno saat sidang paripurna penutupan masa sidang III tahun 2010- 2011 pada
8 April 2011. Akhirnya, Arifinto mengundurkan diri sebagai anggota DPR.
Kasus Arifinto hanya berkaitan dengan etika seorang anggota dewan.
Secara politik, selain LHI,
tidak ada kasus korupsi yang dialami kader PKS.
Ini menjadi pelajaran penting bagi PKS sekaligus menjadi tugas baru kader-
kader PKS untuk meyakinkan kepada publik terkait jargon bersih dan peduli
yang selama ini diusung PKS. Tentu saja publik akan mempertanyakan jargon
tersebut terkait dengan kasus yang melanda. Kredibilitas inilah yang
menjadi pertaruhan PKS menjelang Pemilu 2014.
Konsolidasi politik PKS sebenarnya mendapatkan pelajaran berharga dari
Pemilukada DKI Jakarta 2012. Pada pemilukada tersebut, suara PKS yang
mengusung kandidat Hidayat-Didik hanya mampu bertengger di posisi ketiga
dengan perkiraan suara 11-12 persen. Tersingkirnya pasangan Hidayat-Didik
mengulangi pengalaman PKS pada Pemilukada 2007. Bahkan, suara PKS menurun
tajam dibandingkan Pemilukada 2007.
Ketika itu, PKS mengusung
pasangan cagub Adang Daradjatun-Dani Anwar yang hanya mendapat dukungan
42,13 persen. Pasangan Fauzi Bowo-Prijanto dengan dukungan 21 partai berhasil
meraih 57,87 persen. Perolehan suara PKS di DKI Jakarta pada Pemilu 2009
adalah 18 persen dari total pemilih. Posisinya kedua terbesar di bawah
Partai Demokrat (PD).
Ini adalah untuk kali pertama
trafik PKS turun dalam sejarah politiknya di Ibu Kota. Pada Pemilu 2004,
PKS malah menjadi jawara di Jakarta partai pemenang pemilu. Pada Pemilukada
Jakarta 2012, merujuk pada hasil perolehan suara Pemilu 2009, ditunjukkan
bahwa partai pemenang Pemilu 2009 (PD dan PKS) jauh tertinggal dengan
kandidat yang diusung PDI-P dan Gerindra. Ironisnya, suara PDI-P di Jakarta
pada Pemilu 2009 jauh di bawah PD dan PKS. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar