Sabtu, 02 Februari 2013

Lupakan Raffi, Jauhi Narkoba!


Lupakan Raffi, Jauhi Narkoba!
Teuku Kemal Fasya ;   Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
SINAR HARAPAN, 02 Februari 2013


Tak ada yang tahu bahwa Raffi Ahmad akan menghadapi kesialan tersendiri ketika Badan Narkotika Nasional (BNN), 27 Januari lalu menggerebek rumahnya karena dianggap sedang terjadi pesta narkoba. Ia yang dikenal sebagai idola remaja itu menjadi “tersangka” bersama 16 temannya.

Awalnya ada beberapa nama selebritas yang juga ikut diangkut, seperti politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Wanda Hamidah dan juga pasangan selebritas Irwansyah dan Zaskia Sungkar.

Mereka itu akhirnya dilepaskan karena dianggap tidak terlibat sebagai pengguna atau pengedar dalam momen itu. Kecuali Wanda Hamidah yang dianggap tidak etis keluyuran sampai pagi karena predikatnya sebagai anggota DPRD Jakarta di rumah bukan muhrimnya.

Kita, publik, belum tahu sampai ke mana arus kasus ini. Namun kejadian ini menunjukkan tidak ada lagi figur publik yang bisa benar-benar bebas dari pengaruh obat-obatan terlarang.

Barang adiktif itu mudah masuk ke dalam kehidupan pribadi siapa pun. Sebelum Raffi kita telah melihat beberapa artis juga terjerat, seperti Gogon, Roy Martin, Fariz RM, Sammy “Kerispatih”, Yoyok “Padi”, Jeniffer Dunn, dll.

Di kalangan musisi dunia dan artis Hollywood dunia juga banyak yang hidupnya berakhir tragis karena narkoba. Sebut saja Elvis Presley, Marlyn Monroe, Jimmi Hendrix, Heath Ledger, Ammy Winehouse, Michael Jackson, dan terakhir Witney Houston.

Bintang anak-anak, Mackaulay Culkin, kini menjadi pribadi yang rusak secara fisik dan psikis karena narkoba. Di dunia musik rock, penggunaan ganja, heroin, dan kokain juga menjadi bagian dari kehidupan mereka. Sebut saja Kiss, Pink Floyd, Rolling Stone, Sex Pistol, Gun N Roses, dll. Bahkan dalam lirik-lirik lagu GNR, ekspresi “sakau” disebut eksplisit.

“Cause you could be mine/But you're way out of line/With your bitch slap rappin'/And your cocaine tongue/You get nuthin' done/I said you could be mine” (“You Could be Mine”, 1991). Gambar lidah pada logo The Rolling Stone juga menjadi simbol penikmat musik itu yang doyan musik rock sekaligus heroin.

Delusi Nasional

Kasus narkoba tidak lagi bisa dianggap sebagai kejahatan biasa. Pengaruh dan peredaran narkoba ternyata telah menjadi problem keamanan nasional yang sama buruknya seperti korupsi dan terorisme.

Peredaran yang melibatkan jejaring internasional dengan desain yang sistematis bukan hanya kejahatan yang bisa mengganggu integritas bangsa, tapi juga merusak moral dan kemanusiaan.

Kematian yang diakibatkan narkoba menurut catatan BNN memang “hanya” 50 jiwa per hari, jauh lebih rendah dibandingkan kecelakaan di jalan raya (90 jiwa per hari) atau penyakit jantung (53 dari 100.000 jiwa).

Namun jika dilihat dari masyarakat yang kini menjadi pecandu narkoba yang mencapai 5 juta orang atau dua persen dari seluruh populasi penduduk Indonesia, itu menjadi penanda betapa dahsyatnya efek sosial-politik-ekonomi yang bisa ditimbulkannya.

Lima juta penduduk itu “musuh yang tidur”, yang kita tak pernah tahu siapa lagi yang terperangkap dalam deret ukur korban. Bisa keluarga saya atau Anda. Bisa dari kalangan terdidik atau ulama. Bahkan di keluarga baik-baik atau sosialita yang santun pun “benda” itu bisa bersemayam. Belum lagi turunan kimia zat adiktif itu telah begitu beragam, seperti chatinone, yang ditemukan dalam kasus Raffi itu, hingga tidak mudah dideteksi alat BNN.

Pemerintah sampai hari ini juga belum menunjukkan komitmen serius menumpas peredaran narkoba. UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika belum terbukti menjadi referensi legal yang bisa mengurangi dampak kejahatan ini. Belum lagi masalah kepastian hukum baik hukuman kepada para pengedar atau upaya mengantisipasi perkembangan teknologi pengurai zat-zat berbahaya itu.

Indikator itu bisa dilihat ketika Presiden SBY dengan mudah memberikan grasi kepada ratu mariyuana asal Australia, Schapelle Corby, atau kasus yang terbaru, terpidana mati Meirika Franola.

Sangat sulit menyembunyikan kesimpulan publik bahwa sebenarnya lembaga kepresidenan masih gamang membuat landasan yang konsisten antara visi, misi, dan program praksis. Karena itu orang pun lagi-lagi apatis Indonesia bisa bebas narkoba pada 2015, seperti gebyar-gebyar slogan selama ini.

Idola

Raffi bukan sekadar pribadi atau anak seorang janda muda nan jelita. Dengan perkembangan industri hiburan dan teknologi media massa ia menjelma menjadi seorang bintang atau idola. Orang sepertinya ini adalah selebritas–yang dalam bahasa Umberto Eco–penghasil ekstra-tekstual bagi publik.

Transkrip publik telah menjadikan mereka sebagai sosok yang ditiru (trendsetter). Terlebih Raffi kini disimbolkan sebagai idola cilik–generasi yang lebih awal dibandingkan remaja—dengan keterlibatannya dalam acara-acara tersebut. Situasi ini tentu memberikan guncangan tersendiri, dan kita tak pernah tahu apa yang ada di benak kanak-kanak itu melihat sang idolanya pecandu narkoba.

Sebagai “ekstra-teks”, sang idola ini diasosiasikan dengan rangkaian teks yang lebih panjang, yaitu seluruh kehidupan mereka–yang kini karena perkembangan bisnis dan teknologi media mampu menghadirkan utuh. Kehidupan sang idola adalah reality show yang bisa menghipnotis sekaligus memberikan pelajaran ironis: sisi baik dan jahat yang harus diabduksi secara total.

Secara umum inilah dunia pop, atau seperti yang diistilahkan Jean Baudrillard, dunia hiperrealitas. Perilaku Raffi telah masuk dalam model signifikansi teks tertentu yang diproduksi dengan teknik industrial media pop dan menjadi “berita hiburan”.
Namun karena infotainment ini jelas berpengaruh buruk bagi generasi muda, yang memadukan antara kesedihan idola yang terjerat kasus hukum dan kenikmatan tubuh di bawah kendali visual yang ditonton dalam berita gosip, sudah selayaknya dihentikan.

Saya cuma bisa berpesan kepada para penggemarnya yang rata-rata gadis remaja–entah pesan saya terdengar seperti khotbah kesepian: lupakan Raffi, jangan dekati mariyuana atau katinon(a)!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar