Tak ada yang tahu bahwa Raffi Ahmad akan menghadapi kesialan
tersendiri ketika Badan Narkotika Nasional (BNN), 27 Januari lalu
menggerebek rumahnya karena dianggap sedang terjadi pesta narkoba. Ia yang
dikenal sebagai idola remaja itu menjadi “tersangka” bersama 16 temannya.
Awalnya ada beberapa nama
selebritas yang juga ikut diangkut, seperti politikus Partai Amanat
Nasional (PAN) Wanda Hamidah dan juga pasangan selebritas Irwansyah dan
Zaskia Sungkar.
Mereka itu akhirnya
dilepaskan karena dianggap tidak terlibat sebagai pengguna atau pengedar
dalam momen itu. Kecuali Wanda Hamidah yang dianggap tidak etis keluyuran sampai pagi
karena predikatnya sebagai anggota DPRD Jakarta di rumah bukan muhrimnya.
Kita, publik, belum tahu
sampai ke mana arus kasus ini. Namun kejadian ini menunjukkan tidak ada lagi figur publik yang bisa benar-benar bebas dari
pengaruh obat-obatan terlarang.
Barang adiktif itu mudah
masuk ke dalam kehidupan pribadi siapa pun. Sebelum Raffi kita telah
melihat beberapa artis juga terjerat, seperti Gogon, Roy Martin, Fariz RM,
Sammy “Kerispatih”, Yoyok “Padi”, Jeniffer Dunn, dll.
Di kalangan musisi dunia dan
artis Hollywood dunia juga banyak yang hidupnya berakhir tragis karena
narkoba. Sebut saja Elvis Presley, Marlyn Monroe, Jimmi Hendrix, Heath
Ledger, Ammy Winehouse, Michael Jackson, dan terakhir Witney Houston.
Bintang anak-anak, Mackaulay
Culkin, kini menjadi pribadi yang rusak secara fisik dan psikis karena
narkoba. Di dunia musik rock, penggunaan ganja, heroin, dan kokain juga
menjadi bagian dari kehidupan mereka. Sebut saja Kiss, Pink Floyd, Rolling
Stone, Sex Pistol, Gun N Roses, dll. Bahkan dalam lirik-lirik lagu GNR,
ekspresi “sakau” disebut eksplisit.
“Cause you could be mine/But you're way out of line/With your
bitch slap rappin'/And your cocaine tongue/You get nuthin' done/I said you
could be mine” (“You Could be Mine”, 1991). Gambar lidah pada logo The Rolling Stone juga menjadi
simbol penikmat musik itu yang doyan musik rock sekaligus heroin.
Delusi Nasional
Kasus narkoba tidak lagi bisa
dianggap sebagai kejahatan biasa. Pengaruh dan peredaran narkoba ternyata
telah menjadi problem keamanan nasional yang sama buruknya seperti korupsi
dan terorisme.
Peredaran yang melibatkan
jejaring internasional dengan desain yang sistematis bukan hanya kejahatan
yang bisa mengganggu integritas bangsa, tapi juga merusak moral dan
kemanusiaan.
Kematian yang diakibatkan
narkoba menurut catatan BNN memang “hanya” 50 jiwa per hari, jauh lebih
rendah dibandingkan kecelakaan di jalan raya (90 jiwa per hari) atau
penyakit jantung (53 dari 100.000 jiwa).
Namun jika dilihat dari
masyarakat yang kini menjadi pecandu narkoba yang mencapai 5 juta orang
atau dua persen dari seluruh populasi penduduk Indonesia, itu menjadi
penanda betapa dahsyatnya efek sosial-politik-ekonomi yang bisa
ditimbulkannya.
Lima juta penduduk itu “musuh
yang tidur”, yang kita tak pernah tahu siapa lagi yang terperangkap dalam
deret ukur korban. Bisa keluarga saya atau Anda. Bisa dari kalangan
terdidik atau ulama. Bahkan di keluarga baik-baik atau sosialita yang
santun pun “benda” itu bisa bersemayam. Belum lagi turunan kimia zat
adiktif itu telah begitu beragam, seperti chatinone, yang ditemukan dalam kasus Raffi itu, hingga tidak
mudah dideteksi alat BNN.
Pemerintah sampai hari ini
juga belum menunjukkan komitmen serius menumpas peredaran narkoba. UU No 35
Tahun 2009 tentang Narkotika belum terbukti menjadi referensi legal yang
bisa mengurangi dampak kejahatan ini. Belum lagi masalah kepastian hukum
baik hukuman kepada para pengedar atau upaya mengantisipasi perkembangan
teknologi pengurai zat-zat berbahaya itu.
Indikator itu bisa dilihat
ketika Presiden SBY dengan mudah memberikan grasi kepada ratu mariyuana
asal Australia, Schapelle Corby, atau kasus yang terbaru, terpidana mati
Meirika Franola.
Sangat sulit menyembunyikan
kesimpulan publik bahwa sebenarnya lembaga kepresidenan masih gamang
membuat landasan yang konsisten antara visi, misi, dan program praksis.
Karena itu orang pun lagi-lagi apatis Indonesia bisa bebas narkoba pada 2015, seperti gebyar-gebyar slogan selama ini.
Idola
Raffi bukan sekadar pribadi
atau anak seorang janda muda nan jelita. Dengan perkembangan industri
hiburan dan teknologi media massa ia menjelma menjadi seorang bintang atau
idola. Orang sepertinya ini adalah selebritas–yang dalam bahasa Umberto
Eco–penghasil ekstra-tekstual bagi publik.
Transkrip publik telah
menjadikan mereka sebagai sosok yang ditiru (trendsetter). Terlebih Raffi kini disimbolkan sebagai idola
cilik–generasi yang lebih awal dibandingkan remaja—dengan keterlibatannya
dalam acara-acara tersebut. Situasi ini tentu memberikan guncangan
tersendiri, dan kita tak pernah tahu apa yang ada di benak kanak-kanak itu
melihat sang idolanya pecandu narkoba.
Sebagai “ekstra-teks”, sang
idola ini diasosiasikan dengan rangkaian teks yang lebih panjang, yaitu
seluruh kehidupan mereka–yang kini karena perkembangan bisnis dan teknologi
media mampu menghadirkan utuh. Kehidupan sang idola adalah reality show yang bisa menghipnotis
sekaligus memberikan pelajaran ironis: sisi baik dan jahat yang harus
diabduksi secara total.
Secara umum inilah dunia pop,
atau seperti yang diistilahkan Jean Baudrillard, dunia hiperrealitas.
Perilaku Raffi telah masuk dalam model signifikansi teks tertentu yang diproduksi
dengan teknik industrial media pop dan menjadi “berita hiburan”.
Namun karena infotainment ini jelas berpengaruh
buruk bagi generasi muda, yang memadukan antara kesedihan idola yang
terjerat kasus hukum dan kenikmatan tubuh di bawah kendali visual yang
ditonton dalam berita gosip, sudah selayaknya dihentikan.
Saya cuma bisa berpesan
kepada para penggemarnya yang rata-rata gadis remaja–entah pesan saya
terdengar seperti khotbah kesepian: lupakan
Raffi, jangan dekati mariyuana atau katinon(a)!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar