Semangat dan langkah
yang akan diambil oleh Kementerian Agama untuk mengkaji ulang keberadaan
Dana Talangan Haji (DTH) yang menjadi produk perbankan syariah perlu
diapresiasi dengan positif. Hal itu tecermin dalam tulisan Anggito
Abimanyu, dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag yang dimuat di
harian Republika, Senin 28 Januari 2013, dengan judul "Talangan Haji".
Namun demikian,
dalam tulisan tersebut terdapat kesalahpahaman terhadap fatwa DSN-MUI yang
kiranya layak untuk diluruskan, terutama terkait dengan isu istitha'ah fi ada al-hajj dan ujrah yang diterima LKS. Wahbah al-
Zuhaili (2006, III: 2082 dan 2084) dan al- Sayyid Sabiq (1983, I: 530)
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-istitha'ah
fi al-hajj adalah kemampuan untuk sampai/tiba ke Makkah.
Sedangkan, ulama
Malikiah menjelaskan bahwa yang dimaksud istitha'ah adalah memungkinkannya
seseorang sampai ke Makkah sesuai kebiasaan, baik jalan kaki maupun
berkendaraan.
Ulama Hanafi ah
membedakan isti- tha'ah haji menjadi tiga. Pertama, istitha'ah dari segi fisik/badan,
haji tidak wajib bagi Muslim yang sakit dan yang sudah renta. Kedua, istitha'ah
dari segi harta, yaitu harus memiliki harta yang cukup untuk bekal selama
melakukan ibadah haji, bekal untuk memenuhi kebutuhan pangan (makan-minum),
sandang (pakaian), maupun papan (tempat tinggal dan kendaraan). Ketiga,
istitha'ah dari segi keamanan, yaitu jalur yang dilalui untuk sampai Makkah
(untuk melakukan haji) termasuk jalur yang aman.
Ulama Malikiah berpendapat
bahwa indikator istitha'ah, pertama, badan yang kuat sehingga memungkinkan
yang bersangkutan sampai di Makkah, baik dengan jalan kaki maupun
berkendaraan sesuai kebiasaan. Kedua, memiliki bekal yang cukup untuk
memenuhi kebutuhannya selama melakukan ibadah haji. Ketiga, keamanan di
perjalanan, yaitu keselamatan yang mencakup terjaminnya keselamatan jiwa
(dari pembunuhan), harta (dari perampasan/
pencurian), dan begal.
Ulama Syafiiah
memerincikan istitha'ah ke dalam tujuh indikator, yakni kemampuan fisik/badan,
kemampuan harta, adanya media/kendaraan yang memadai, air dan perbekalan
serta tempat pengisian bahan bakar kendaraan, keamanan perjalanannya, bagi
perempuan diharuskan ada suaminya/muhrimnya, dan memungkinkan mendapat
kemudahan dalam menunaikan haji. Sedangkan, ulama Hanabilah menjelaskan
bahwa indikator istitha\'ah hanyalah dua, yaitu mampu secara materi
sehingga memiliki bekal yang cukup untuk melakukan ibadah haji serta adanya
kemampuan untuk melakukan perjalanan, baik jalan kaki maupun berkendaraan.
Istitha'ah untuk
melakukan haji bukan sesuatu yang terjadi secara alamiah, akan tetapi harus
diusahakan/diupayakan. Oleh karena itu, dari segi penerima pembiayaan
pengurusan haji dengan akad qard,
dapat dipahami bahwa pembiayaan yang diperoleh merupakan usaha
(kasab/ikhtiar) dari orang yang bersangkutan. Dapat dimaklum bahwa di
antara umat Islam ada yang merasa nyaman dalam membayar ongkos haji secara
ang suran kepada bank yang sudah menalanginya. Nasabah diharuskan melunasi
utang qard terlebih dahulu sebelum melunasi ONH kepada pemerintah. Dengan
demikian yang bersangkutan termasuk orang yang telah istitha'ah untuk
melakukan haji.
Dalam Keputusan
Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI (2012) di Cipasung diputuskan, yang di antara
substansinya, bahwa istitha'ah merupakan syarat wajib haji, bukan syarat
sah haji. Upaya untuk mendapatkan porsi haji dengan cara memperoleh dana
talangan haji dari LKS adalah boleh karena hal itu merupakan
usaha/kasab/ikhtiar dalam rangka menunaikan haji. Jika upaya tersebut
madharat bagi dirinya atau orang lain maka tidak diperbolehkan umat Islam
tidak boleh memaksakan diri untuk melaksanakan ibadah haji sebelum
benar-benar istitha'ah. Dan,
tidak dianjurkan untuk memperoleh dana talangan haji terutama dalam kondisi
antrean haji yang sangat panjang seperti saat ini.
Umat Islam yang menerima dana talangan haji tidak boleh menunaikan ibadah
haji sebelum pembiayaan talangan haji dari LKS lunas. LKS pun wajib
melakukan seleksi dan memilih nasabah penerima dana talangan haji, meliputi
kemampuan finansial, standar penghasilan, persetujuan suami/istri, serta
tenor pembiayaan.
Ujrah bagi LKS Dalam
fatwa DSN No 29/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga
Keuangan Syariah, berlaku dua akad, yaitu ijarah dan qard. Akan
tetapi, yang dibahas pada tulisan ini hanya substansi ijarah yang di antara
ketentuannya adalah dalam pengurusan haji bagi nasabah. LKS dapat
memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip "al-ijarah" sesuai Fatwa
DSN-MUI Nomor 9/DSN-MUI/IV/2000.
Apabila diperlukan,
LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan
prinsip qard sesuai Fatwa DSN-MUI
Nomor 19/
DSN-MUI/IV/2001. Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan
dengan pemberian talangan haji, besar imbalan jasa ijarah tidak boleh
didasarkan pada jumlah talangan qard
yang diberikan LKS. Karena itu, dapat dipahami bahwa ikhtiar LKS dalam
mengupayakan nasabah mendapatkan porsi haji layak untuk dijadikan obyek
ijarah (ma'jur).
Anggito tidak tepat
menempatkan ijarah bagi LKS dengan mengatakan bahwa bank tidak menyewakan
barang apa pun. Ijarah setidaknya dibedakan menjadi dua, ijarah mengenai
barang (sewa) dan ijarah mengenai orang (di antaranya upah buruh). Dengan
demikian, ijarah tidak selamanya harus berupa penyewaan barang. Dalam
pengurusan haji oleh LKS, nasabah telah menggunakan fasilitas/sistem yang
dimiliki oleh bank.
Apakah hal ini tidak
cukup untuk dijadikan ma'jur sehingga bank berhak mendapatkan ujrah. Selain
itu, bank juga telah melakukan pelayanan (jasa)
terhadap nasabah. Bukankah boleh menerima ujrah atas pelayanan?
Semangat dan langkah yang akan diambil oleh Kementerian Agama untuk
mengkaji ulang keberadaan Dana Talangan Haji (DTH) tidak lepas dari
persoalan-persoalan penyelenggaraan haji secara umum. Hemat kami,
persoalan-persoalan tersebut kelihatannya lebih banyak disebabkan oleh
rumitnya pengelolaan haji, bukan karena fatwa terkait DTH. Oleh karena itu,
sebaiknya Kementerian Agama lebih fo kus memodernisasi manajemen penyelenggaraan
haji. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar