Sabtu, 02 Februari 2013

Hukum Talangan Haji


Hukum Talangan Haji
Jaih Mubarok dan Yulizar D Sanrego ;   Anggota Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional MUI 
REPUBLIKA, 01 Februari 2013

  
Semangat dan langkah yang akan diambil oleh Kementerian Agama untuk mengkaji ulang keberadaan Dana Talangan Haji (DTH) yang menjadi produk perbankan syariah perlu diapresiasi dengan positif. Hal itu tecermin dalam tulisan Anggito Abimanyu, dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag yang dimuat di harian Republika, Senin 28 Januari 2013, dengan judul "Talangan Haji". 

Namun demikian, dalam tulisan tersebut terdapat kesalahpahaman terhadap fatwa DSN-MUI yang kiranya layak untuk diluruskan, terutama terkait dengan isu istitha'ah fi ada al-hajj dan ujrah yang diterima LKS. Wahbah al- Zuhaili (2006, III: 2082 dan 2084) dan al- Sayyid Sabiq (1983, I: 530) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-istitha'ah fi al-hajj adalah kemampuan untuk sampai/tiba ke Makkah. 

Sedangkan, ulama Malikiah menjelaskan bahwa yang dimaksud istitha'ah adalah memungkinkannya seseorang sampai ke Makkah sesuai kebiasaan, baik jalan kaki maupun berkendaraan. 

Ulama Hanafi ah membedakan isti- tha'ah haji menjadi tiga. Pertama, istitha'ah dari segi fisik/badan, haji tidak wajib bagi Muslim yang sakit dan yang sudah renta. Kedua, istitha'ah dari segi harta, yaitu harus memiliki harta yang cukup untuk bekal selama melakukan ibadah haji, bekal untuk memenuhi kebutuhan pangan (makan-minum), sandang (pakaian), maupun papan (tempat tinggal dan kendaraan). Ketiga, istitha'ah dari segi keamanan, yaitu jalur yang dilalui untuk sampai Makkah (untuk melakukan haji) termasuk jalur yang aman. 

Ulama Malikiah berpendapat bahwa indikator istitha'ah, pertama, badan yang kuat sehingga memungkinkan yang bersangkutan sampai di Makkah, baik dengan jalan kaki maupun berkendaraan sesuai kebiasaan. Kedua, memiliki bekal yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya selama melakukan ibadah haji. Ketiga, keamanan di perjalanan, yaitu keselamatan yang mencakup terjaminnya keselamatan jiwa (dari pembunuhan), harta (dari perampasan/
pencurian), dan begal.

Ulama Syafiiah memerincikan istitha'ah ke dalam tujuh indikator, yakni kemampuan fisik/badan, kemampuan harta, adanya media/kendaraan yang memadai, air dan perbekalan serta tempat pengisian bahan bakar kendaraan, keamanan perjalanannya, bagi perempuan diharuskan ada suaminya/muhrimnya, dan memungkinkan mendapat kemudahan dalam menunaikan haji. Sedangkan, ulama Hanabilah menjelaskan bahwa indikator istitha\'ah hanyalah dua, yaitu mampu secara materi sehingga memiliki bekal yang cukup untuk melakukan ibadah haji serta adanya kemampuan untuk melakukan perjalanan, baik jalan kaki maupun berkendaraan. 

Istitha'ah untuk melakukan haji bukan sesuatu yang terjadi secara alamiah, akan tetapi harus diusahakan/diupayakan. Oleh karena itu, dari segi penerima pembiayaan pengurusan haji dengan akad qard, dapat dipahami bahwa pembiayaan yang diperoleh merupakan usaha (kasab/ikhtiar) dari orang yang bersangkutan. Dapat dimaklum bahwa di antara umat Islam ada yang merasa nyaman dalam membayar ongkos haji secara ang suran kepada bank yang sudah menalanginya. Nasabah diharuskan melunasi utang qard terlebih dahulu sebelum melunasi ONH kepada pemerintah. Dengan demikian yang bersangkutan termasuk orang yang telah istitha'ah untuk melakukan haji. 

Dalam Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI (2012) di Cipasung diputuskan, yang di antara substansinya, bahwa istitha'ah merupakan syarat wajib haji, bukan syarat sah haji. Upaya untuk mendapatkan porsi haji dengan cara memperoleh dana talangan haji dari LKS adalah boleh karena hal itu merupakan usaha/kasab/ikhtiar dalam rangka menunaikan haji. Jika upaya tersebut madharat bagi dirinya atau orang lain maka tidak diperbolehkan umat Islam tidak boleh memaksakan diri untuk melaksanakan ibadah haji sebelum benar-benar istitha'ah. Dan, tidak dianjurkan untuk memperoleh dana talangan haji terutama dalam kondisi antrean haji yang sangat panjang seperti saat ini.

Umat Islam yang menerima dana talangan haji tidak boleh menunaikan ibadah haji sebelum pembiayaan talangan haji dari LKS lunas. LKS pun wajib melakukan seleksi dan memilih nasabah penerima dana talangan haji, meliputi kemampuan finansial, standar penghasilan, persetujuan suami/istri, serta tenor pembiayaan.

Ujrah bagi LKS Dalam fatwa DSN No 29/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah, berlaku dua akad, yaitu ijarah dan qard. Akan tetapi, yang dibahas pada tulisan ini hanya substansi ijarah yang di antara ketentuannya adalah dalam pengurusan haji bagi nasabah. LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip "al-ijarah" sesuai Fatwa DSN-MUI Nomor 9/DSN-MUI/IV/2000.

Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip qard sesuai Fatwa DSN-MUI Nomor 19/
DSN-MUI/IV/2001. Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji, besar imbalan jasa ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan qard yang diberikan LKS. Karena itu, dapat dipahami bahwa ikhtiar LKS dalam mengupayakan nasabah mendapatkan porsi haji layak untuk dijadikan obyek ijarah (ma'jur). 

Anggito tidak tepat menempatkan ijarah bagi LKS dengan mengatakan bahwa bank tidak menyewakan barang apa pun. Ijarah setidaknya dibedakan menjadi dua, ijarah mengenai barang (sewa) dan ijarah mengenai orang (di antaranya upah buruh). Dengan demikian, ijarah tidak selamanya harus berupa penyewaan barang. Dalam pengurusan haji oleh LKS, nasabah telah menggunakan fasilitas/sistem yang dimiliki oleh bank. 

Apakah hal ini tidak cukup untuk dijadikan ma'jur sehingga bank berhak mendapatkan ujrah. Selain itu, bank juga telah melakukan pelayanan (jasa)
terhadap nasabah. Bukankah boleh menerima ujrah atas pelayanan?

Semangat dan langkah yang akan diambil oleh Kementerian Agama untuk mengkaji ulang keberadaan Dana Talangan Haji (DTH) tidak lepas dari persoalan-persoalan penyelenggaraan haji secara umum. Hemat kami, persoalan-persoalan tersebut kelihatannya lebih banyak disebabkan oleh rumitnya pengelolaan haji, bukan karena fatwa terkait DTH. Oleh karena itu, sebaiknya Kementerian Agama lebih fo kus memodernisasi manajemen penyelenggaraan haji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar