Sebagai bangsa yang
bersifat plural, memang agak susah menyebut bangsa Indonesia dengan satu
karakter. Barangkali Bung Karno dulu sampai ”memeras” Pancasila menjadi
gotong royong, mungkin juga untuk melahirkan satu macam karakter bagi
bangsa kita.
Ini tafsiran saya yang barangkali juga
tak benar. Ini pun tak jadi bahan pelajaran di era Orde Baru, sewaktu kita
begitu giatnya berupaya menghayati Pancasila. Satu penafsiran saya lagi.
Membangun karakter bangsa sejak dulu
didengung-dengungkan oleh pemimpin kita. Dari pemimpin nasional sampai guru
di kelas menyebut pentingnya membangun karakter bangsa ini. Sudah puluhan
tahun sampai kini apa wujud karakter bangsa ini rasanya belum juga bisa
saya temui.
Memang ada yang menyebut istilah karakter
lokal yang mengisyaratkan bagi suatu suku bangsa. Sebutlah seperti karakter
ramah dan banyak senyum. Semua hanya ungkapan yang tak serius atau omongan
sambil lalu. Karakter masing-masing individu orang mungkin lebih bisa
dikemukakan, seperti bagaimana orangtua bisa menyebutkan karakter
masing-masing anaknya yang spesifik.
Namun, kalau sudah menjadi kelompok,
sifat seseorang bisa berubah. Sifat kelompok ini pun tidak bisa disebut
karakter kelompok. Bagaimana kelompok orang ini lalu jadi masyarakat,
selanjutnya kelompok masyarakat jadi suatu suku, dan akhirnya menjadi suatu
bangsa memang timbul kesulitan untuk menyebut dengan istilah sifat bangsa,
apalagi dengan karakter bangsa.
Sesudah melampaui usia lebih sepuluh
windu, dan mengalami sebagai anak bangsa merdeka memasuki delapan setengah
windu, saya memajukan pemikiran di beberapa lingkungan pendidikan tinggi,
yakni bagaimana kita menjadikan Pancasila sebagai karakter bangsa. Selama
ini kita kurang memahami Pancasila secara menyeluruh, dan diperas pun
seperti gagasan Bung Karno, kita tidak mau juga.
Sebagai falsafah bangsa, Pancasila
sebenarnya harus bisa kita hayati secara menyeluruh. Upaya memerinci lima
sila yang ada dalam Pancasila, menurut penafsiran saya, itu hanya cara
keilmuan kita yang harus bisa menyistematisasi sesuatu supaya mudah
dipahami dan dicerna lebih mendalam lagi. Memang demikianlah kebiasaan kita
dalam memperdalam atau mengembangkan ilmu.
Dalam hal Pancasila, apalagi untuk
menjadi karakter bangsa, tidak tepat kalau kita merujuk Pancasila untuk
sesuatu hal dengan masing-masing sila yang dianggap sesuai. Seyogianya kita
bisa merujuk dengan seluruh sila, paling tidak dengan sebagian besar sila
dalam Pancasila itu.
Pancasila Karakter
Bangsa
Kepada Panitia Konferensi Guru Besar
Indonesia IV di Makassar, dan juga sebelumnya kepada panitia lokakarya
tentang karakter, jati diri, dan budaya oleh Dewan Guru Besar IPB di Bogor,
yang keduanya tak bisa saya hadiri karena kondisi kesehatan tidak
memungkinkan, saya ajukan gagasan Pancasila sebagai karakter bangsa.
Bagaimana tanggapan atas pemikiran saya
melalui naskah tentang Pancasila yang saya ajukan dalam dua forum tersebut,
hingga kini belum saya ketahui. Melalui Kompas, saya berharap pemikiran
saya tentang Pancasila sebagai karakter bangsa dapat lebih luas lagi menjadi
renungan masyarakat.
Pancasila sebagai ideologi negara menjadi
pengertian yang selalu diajarkan bila kita upayakan menghayati Pancasila.
Begitu juga Pancasila sebagai dasar negara dengan merujuk Pancasila yang
dimasukkan dalam Mukadimah UUD 1945. Semua dengan lancar bisa hafal
sila-sila dalam Pancasila, yang kelima sila itu menjadi falsafah bangsa.
Bagaimana menerapkan Pancasila menjadi
cermin kehidupan bangsa sehari-hari sepertinya sesuatu yang masih asing.
Baik dalam melihat kondisi kesejahteraan masyarakat yang tidak kunjung
merata, korupsi yang seperti membudaya, kemarahan yang mudah menimbulkan
perkelahian yang merusak dan membunuh antarsekelompok masyarakat,
antardesa, bahkan antar-anak sekolah. Semua fenomena ini rasanya kurang
bisa menunjukkan karakter bangsa yang kehidupannya berlandaskan Pancasila.
Konstatasi saya adalah: meski selama
puluhan tahun merdeka dan memiliki ideologi—dasar negara (UUD 1945) dan
falsafah Pancasila—kita belum bisa memahami Pancasila secara menyeluruh
sebagai karakter bangsa. Stigma bangsa kita sebagai bangsa ramah tak bisa
jadi kebanggaan karena orang mau menipu pun bisa bermuka ramah.
Saya coba memikirkan Pancasila bisa lebih
membumi untuk mendidik bangsa ini mencapai kesejahteraan dengan karakter
positifnya. Umumnya kita mencoba menghayati Pancasila dengan merujuk sila
dalam Pancasila secara satu per satu terkait sila yang sesuai. Misalnya
untuk menghilangkan kemiskinan, kita merujuk sila kelima. Tentang
pentingnya mendidik keberagamaan merujuk sila pertama, pentingnya toleransi
merujuk sila kedua, dan seterusnya. Barangkali akan lebih menghayati kalau
kita bisa merujuk Pancasila secara menyeluruh dalam kita membangun karakter
bangsa.
Saya sudah coba menurunkan matriks
berbagai macam karakter positif dihadapkan dengan kelima sila dalam
pancasila secara numerik. Saya hanya mencoba dengan 18 contoh karakter
positif yang sebenarnya jumlahnya bisa ratusan. Kalau masing-masing ingin
dijabarkan menjadi contoh perbuatan, barangkali bisa menjadi satu tulisan
yang berwujud baku.
Dari kajian matriks itu dapat diketahui
apabila masing-masing karakter positif dihadapkan pada seluruh sila
didapatkan nilai rata-rata 81,1 persen, sedangkan kalau masing-masing sila
dihadapkan pada seluruh contoh karakter positif, nilai rata-ratanya lebih kecil,
yaitu 78,6 persen. Kajian ini memperkuat konstatasi saya bahwa merujuk
Pancasila sebagai karakter bangsa lebih baik dengan membahas Pancasila
secara menyeluruh.
Saya hanya ingin melontarkan sebuah
pemikiran yang barangkali bisa jadi renungan bersama tentang pembentukan
karakter bangsa. Mari kita coba merujuk Pancasila dengan cara menyeluruh,
bagaimana Pancasila bisa menjadi karakter bangsa yang hidup dalam negara
berkesejahteraan lahir batin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar