Krisis politik para wakil rakyat kita semakin akut. Satu per
satu wakil rakyat terjerat dalam kasus korupsi. Kebrobokan wakil rakyat
yang terkait korupsi memang bukan berita baru.
Tidak sedikit wakil rakyat
yang sudah mau masuk bui, ngantri di pengadilan, dan tersandera kasus
korupsi di berbagai kementerian. Ini bukti bahwa wakil rakyat sudah tidak
lagi mempunyai komitmen dalam menjaga tegaknya martabat dan karakter
bangsa. Ini sebuah pengkhianatan kepada rakyat.
Dalam konteks ini, Busyro
Muqoddas (2011) pernah melihat adanya dasamuka dalam kondisi politik.
Politik dasamuka yang tercermin pada karakter “esuk dele, sore tempe, malam
onde-onde” [pagi (jualan) kedelai, sore tempe, dan malamnya onde-onde]
adalah sifat dan sikap yang mencla-mencle dalam mengemban amanah publik di
lembaga negara.
Menurut Busyro, pemberhala
nafsu dan syahwat politik kekuasaan itu tak jelas rekam jejaknya, apakah
mereka berpihak atau membela yang lemah atau bahkan memangsa mereka.
Lambang burung garuda emas di seragam safari dengan enam saku berisi
selosin (dia menyebutkan merek telepon seluler yang menjadi tren saat ini).
Mobil dinas Crown Royal Salon
yang jauh lebih mewah dari mobil perdana menteri tetangga. Begitulah wakil
rakyat dan partai politik, selain dihuni oleh sedikit mereka yang punya
panggilan nurani, mayoritas mereka lebih mencerminkan politisi yang
pragmatis dan hedonis.
Tragedi kongkalikong wakil
rakyat merupakan indikasi minimnya kontribusi pejabat negara dan lembaga
negara dalam memperjuangkan nasib rakyat.
Tragedi ini juga indikasi
bahwa DPR telah melakukan erosi demokrasi. Untuk bersidang dan bekerja, DPR
telah menghabiskan miliaran rupiah. Sungguh uang rakyat tidaklah bisa
digunakan dengan seenaknya, harus dipertanggungjawabkan dengan amanah.
Dari sisi gelap pejabat
negara tersebut, tidak salah kalau masyarakat tetap menilai bahwa yang
dilakukan sebagian pejabat negara sebagai penyelewengan jabatan yang
memalukan. Lebih dari itu, pejabat negara sejatinya telah menjual moralitas
politiknya di hadapan rakyat yang memberikan mandat kepadanya.
Pejabat negara belum sepenuhnya
mengabdikan dirinya dengan total sebagai wakil seluruh rakyat, tetapi masih
menyandarkan pada sektarianisme partai politik yang penuh ambisi dan
kepentingan. Tidak salah
kemudian kalau masyarakat mencibir kepanjangan DPR dengan Dewan Percaloan Rakyat,
Dewan Pemeras Rakyat, dan lain sebagainya. Menjadi anggota dewan hanya
untuk menjadi calo yang selalu memanfaatkan kesempatan mendapatkan tender
politik sebanyak-banyaknya.
Politik Seduksi
Perilaku tersebut merupakan
bukti terciptanya politik seduksi (rayuan) dalam tubuh pejabat negara.
Wajah politik seduksi selalu menampilkan dirinya secara menarik, penuh make-up, lipstik, dan asesoris
lainnya. Namun, di balik itu, mereka menyiapkan jaring-jaring rayuan yang
merongrong kehancuran dan kebinasaan.
Menurut Thomas Docherty dalam
After Theory (1996: 27), bahwa disebabkan
kegagalan politik kontemporer yang menghasilkan inovasi, orisinalitas, dan
kebaruan, wacana politik memfokuskan diri bagi keberlangsungannya pada
rayuan yang menciptakan semacam politik seduksi.
Di dalam jagat rayuan, wacana
politik bukan lagi dibangun oleh arsitektur nalar-nalar rasional, akan
tetapi oleh berbagai trik rayuan, dalam rangka menggoda manusia politik.
Mekanisme yang bekerja dalam rayuan, sebagaimana yang dikatakan Jean Baudrillard
dalam Seduction (1990: 7), tidak lagi relasi psikis,
tidak pula represi atau ketaksadaran, akan tetapi relasi permainan,
tantangan, duel, dan strategi penampakan.
Dalam wacana politik seduksi
di atas, penampakan pejabat negara sekarang hanya sebatas “permainan” untuk
mengeruk kekuasaan sebesar-besarnya.
Mereka sudah memedulikan lagi
kenyataan pahit di sekelilingnya, karena nalar politik yang mereka gunakan
bukan untuk memberdayakan dan memajukan bangsa, melainkan untuk
memberdayakan kepentingan individu dan kelompok. Dengan nalar yang
irasional, mereka juga sering menggunakan dalih agama, sosial, dan budaya
untuk memuluskan alur permainan politiknya.
Semua hanyalah fatamorgana
yang absurd. Ruang politik fatamorgana pejabat negara, menurut kacatamata
politik Baudrillard dalam The Evil
Demon of Images (1993: 139),
hanya akan menghadirkan iblis-iblis politik yang mendistorsi dunia dengan
membangun ilusi-ilusi tentang kejahatan dengan wajah yang suci, demokratis,
dan manusiawi. Wajah kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan demokrasi telah
dipalsukan dan ditampilkan dalam wajah-wajah seduksi yang penuh trik dan
tipuan.
Di tengah berbagai tudingan
miring tersebut, sudah saatnya pejabat negara kembali kepada khittahnya.
Dalam logika demokrasi, rakyat adalah raja. Sedangkan pejabat negara adalah
pelayan. DPR sebagai juru bicara raja harus menuruti segala yang
diperintahkan sang raja.
Kembali ke khittah, berarti
DPR harus menaati segala yang diperintahkan sang raja. Sekarang ini sang
raja sedang menderita diterpa berbagai bencana, baik bencana alam maupun
bencana pemiskinan global. Sebagai juru bicara sekaligus pelayan, DPR
seharusnya mengkaji secara mendalam kebutuhan sang raja agar dijalankan
oleh pemerintah. Jangan malah
berkhianat dan seenaknya sendiri mencuri kekuasaan sang raja.
Kembali ke khittah dan
maksimalisasi kinerja Badan Kehormatan (BK) DPR akan menjadikan Senayan
sebagai lembaga berwibawa yang menyuarakan aspirasi rakyat.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar