DPR baru saja menyelesaikan
tugas, melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan pemilihan para calon hakim
agung dan telah memilih delapan dari 24 calon hakim agung yang diajukan
Komisi Yudisial.
Namun, ada saja komentar terhadap hasil
tersebut dari masyarakat, termasuk kalangan DPR sendiri. Dilontarkan
komentar-komentar bahwasanya sulit mencari calon hakim agung yang
berkualitas, yang memenuhi standar dan kelayakan sebagai hakim agung dan
sebagainya.
Menurut penulis, mendapatkan calon hakim
agung yang berkualitas, memenuhi standar, dan sebagainya tidaklah sulit
karena pasti di antara ratusan hakim tinggi dan pimpinan pengadilan tinggi
yang tersebar di Nusantara ini banyak calon yang berkualitas dan memenuhi
standar asal penelusurannya dilakukan dengan rekam jejak yang lama, profesional,
dan tentunya tidak berdasarkan lamaran.
Di dunia ini, hanya di Indonesia profesi
hakim agung dapat diraih melalui lamaran seperti seorang mencari pekerjaan
(Kompas, 7/1).
Penulis menyadari, yang penulis kemukakan
ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
melawan arus. Namun, ini harus dikemukakan sebagai sumbangan pemikiran
terkait bagaimana menjaring calon-calon hakim agung berkualitas dan
memenuhi standar persyaratan, terutama persyaratan yang dituntut masyarakat
dan anggota DPR.
Proses Dibalik
Seperti penulis kemukakan (Kompas, 7/1),
untuk mendapatkan hakim agung yang memenuhi persyaratan dan standar yang
diinginkan, caranya haruslah terbalik dari cara yang sampai sekarang ini
diterapkan. Lembaga DPR jangan lagi merupakan penentu akhir dalam rangka
pengajuan nama-nama calon hakim agung itu kepada presiden!
DPR harus merupakan lembaga pertama yang
menjaring para calon hakim agung dengan proses penjaringan selayaknya
dibantu dan mengikutsertakan masyarakat.
Termasuk di sini, lembaga, paguyuban atau
organisasi seperti Ikatan Hakim Indonesia, Perhimpunan Purnawirawan Hakim
Indonesia, Kerukunan Keluarga Pensiunan Hakim Agung, Kerukunan Keluarga
Mantan Hakim TUN, lembaga perguruan tinggi, dan organisasi profesional
advokat.
Para anggota lembaga, paguyuban, dan
organisasi-organisasi tersebut banyak yang merupakan senior, pimpinan,
pembina, pembimbing, dan mitra kerja para calon yang layak diajukan sebagai
calon hakim agung. Jangan pula dilupakan, para calon hakim agung tersebut
hampir semuanya memulai kariernya dari bawah, ditempatkan di tempat-tempat
yang terpencil yang minim fasilitas hidup, serta berkali-kali pindah
penugasan dengan fasilitas hidup minim yang sama.
Rekam Jejak
Rekam jejak, kualitas putusan dan
penetapan yang pernah dikeluarkan, integritas moral, dan perilaku para
calon hakim agung ini dapat dipantau dalam kurun waktu yang lama, lengkap,
dan panjang oleh pihak-pihak yang kompeten. Rekam jejak para calon meliputi
pula catatan apakah selama bertugas ia pernah diberitakan menerima suap,
meminta-minta uang, bertingkah laku tidak sesuai dengan etika, dan
sebagainya.
Putusan ataupun penetapan yang pernah
dikeluarkan para calon hakim agung merupakan mahkota dan prestasi para
calon hakim agung ini. Jadi, prestasi mereka bukanlah diukur dari primanya
disertasi dan karya-karya ilmiah atau seminar-seminar yang pernah diikuti.
Tidak juga diukur melalui tatap muka yang berlangsung hanya sekitar satu
setengah jam.
Jangan sampai nasib seorang calon hakim
agung ditentukan oleh banyak anggota DPR yang hanya hadir pada saat
pemungutan suara tanpa kehadiran para anggota DPR tersebut pada saat tanya
jawab dilaksanakan. Berdasarkan pengalaman tiga kali penulis menjalani fit and proper test di DPR, justru
itulah yang terjadi.
Setelah DPR selesai menjaring, hasil
penjaringan kemudian disampaikan ke Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
sebagai lembaga penentu diusulkan tidaknya para calon hakim agung tersebut
kepada presiden.
Masukan-masukan penulis ini pasti sukar
untuk dilaksanakan karena memang undang-undang tidak mendukungnya, tetapi
penting untuk dilakukan. Sebagai gambaran, di masa lalu jabatan Ketua
Pengadilan Tinggi Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Makassar, dan Semarang
merupakan satu langkah yang harus dilalui, untuk bisa ke Mahkamah Agung,
sehingga kita dapat melahirkan hakim-hakim seperti Asikin Kusumah Atmaja,
Bismar Siregar, Poerwoto Gandasubrata, Yahya Harahap, dan Moh Imam.
Mungkinkah dengan sistem yang sekarang
bisa dilahirkan hakim-hakim sehebat itu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar