Selasa, 05 Februari 2013

Mencari Hakim Agung di Indonesia


Mencari Hakim Agung di Indonesia
Benjamin Mangkoedilaga ;   Mantan Hakim Agung
KOMPAS, 05 Februari 2013



DPR baru saja menyelesaikan tugas, melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan pemilihan para calon hakim agung dan telah memilih delapan dari 24 calon hakim agung yang diajukan Komisi Yudisial.
Namun, ada saja komentar terhadap hasil tersebut dari masyarakat, termasuk kalangan DPR sendiri. Dilontarkan komentar-komentar bahwasanya sulit mencari calon hakim agung yang berkualitas, yang memenuhi standar dan kelayakan sebagai hakim agung dan sebagainya.
Menurut penulis, mendapatkan calon hakim agung yang berkualitas, memenuhi standar, dan sebagainya tidaklah sulit karena pasti di antara ratusan hakim tinggi dan pimpinan pengadilan tinggi yang tersebar di Nusantara ini banyak calon yang berkualitas dan memenuhi standar asal penelusurannya dilakukan dengan rekam jejak yang lama, profesional, dan tentunya tidak berdasarkan lamaran.
Di dunia ini, hanya di Indonesia profesi hakim agung dapat diraih melalui lamaran seperti seorang mencari pekerjaan (Kompas, 7/1).
Penulis menyadari, yang penulis kemukakan ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melawan arus. Namun, ini harus dikemukakan sebagai sumbangan pemikiran terkait bagaimana menjaring calon-calon hakim agung berkualitas dan memenuhi standar persyaratan, terutama persyaratan yang dituntut masyarakat dan anggota DPR.
Proses Dibalik
Seperti penulis kemukakan (Kompas, 7/1), untuk mendapatkan hakim agung yang memenuhi persyaratan dan standar yang diinginkan, caranya haruslah terbalik dari cara yang sampai sekarang ini diterapkan. Lembaga DPR jangan lagi merupakan penentu akhir dalam rangka pengajuan nama-nama calon hakim agung itu kepada presiden!
DPR harus merupakan lembaga pertama yang menjaring para calon hakim agung dengan proses penjaringan selayaknya dibantu dan mengikutsertakan masyarakat.
Termasuk di sini, lembaga, paguyuban atau organisasi seperti Ikatan Hakim Indonesia, Perhimpunan Purnawirawan Hakim Indonesia, Kerukunan Keluarga Pensiunan Hakim Agung, Kerukunan Keluarga Mantan Hakim TUN, lembaga perguruan tinggi, dan organisasi profesional advokat.
Para anggota lembaga, paguyuban, dan organisasi-organisasi tersebut banyak yang merupakan senior, pimpinan, pembina, pembimbing, dan mitra kerja para calon yang layak diajukan sebagai calon hakim agung. Jangan pula dilupakan, para calon hakim agung tersebut hampir semuanya memulai kariernya dari bawah, ditempatkan di tempat-tempat yang terpencil yang minim fasilitas hidup, serta berkali-kali pindah penugasan dengan fasilitas hidup minim yang sama.
Rekam Jejak
Rekam jejak, kualitas putusan dan penetapan yang pernah dikeluarkan, integritas moral, dan perilaku para calon hakim agung ini dapat dipantau dalam kurun waktu yang lama, lengkap, dan panjang oleh pihak-pihak yang kompeten. Rekam jejak para calon meliputi pula catatan apakah selama bertugas ia pernah diberitakan menerima suap, meminta-minta uang, bertingkah laku tidak sesuai dengan etika, dan sebagainya.
Putusan ataupun penetapan yang pernah dikeluarkan para calon hakim agung merupakan mahkota dan prestasi para calon hakim agung ini. Jadi, prestasi mereka bukanlah diukur dari primanya disertasi dan karya-karya ilmiah atau seminar-seminar yang pernah diikuti. Tidak juga diukur melalui tatap muka yang berlangsung hanya sekitar satu setengah jam.
Jangan sampai nasib seorang calon hakim agung ditentukan oleh banyak anggota DPR yang hanya hadir pada saat pemungutan suara tanpa kehadiran para anggota DPR tersebut pada saat tanya jawab dilaksanakan. Berdasarkan pengalaman tiga kali penulis menjalani fit and proper test di DPR, justru itulah yang terjadi.
Setelah DPR selesai menjaring, hasil penjaringan kemudian disampaikan ke Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung sebagai lembaga penentu diusulkan tidaknya para calon hakim agung tersebut kepada presiden.
Masukan-masukan penulis ini pasti sukar untuk dilaksanakan karena memang undang-undang tidak mendukungnya, tetapi penting untuk dilakukan. Sebagai gambaran, di masa lalu jabatan Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Makassar, dan Semarang merupakan satu langkah yang harus dilalui, untuk bisa ke Mahkamah Agung, sehingga kita dapat melahirkan hakim-hakim seperti Asikin Kusumah Atmaja, Bismar Siregar, Poerwoto Gandasubrata, Yahya Harahap, dan Moh Imam.
Mungkinkah dengan sistem yang sekarang bisa dilahirkan hakim-hakim sehebat itu? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar