Sejak kemenangan Jokowi dalam Pemilu Gubernur DKI Jakarta pada
2012 silam, gerak-gerik Jokowi selalu menjadi santapan media. Baik di dalam
Gedung Balai Kota, DPRD, rumah dinas, bahkan hingga ketika blusukan pun
menjadi berita.
Jokowi seolah menjadi magnet
besar bagi insan pers baik cetak maupun elektronik sehingga sangat sayang
apabila media tersebut tidak menampilkan Jokowi.
Masyarakat pun sepertinya
juga antusias terhadap pemberitaan Jokowi, bahkan terdapat segmen
masyarakat yang merasa ada yang hilang kalau tidak ada berita Jokowi.
Tidaklah mengherankan, kini muncul istilah Jokowitainment di kalangan media dan masyarakat saking
seringnya pemberitaan tentang Jokowi yang mengalahkan pemberitaan lainnya.
Jokowi memang telah berkembang
menjadi social darling maupun media darling bagi masyarakat dan media;
sehingga apabila terdapat isu miring dan negatif menyangkut Jokowi akan
ditangkis secara cepat, baik itu melalui berita lainnya dari media maupun
komentar masyarakat.
Media dengan jeli mampu
mengonstruksi Jokowi sebagai superhero di tengah iklim politik Indonesia
yang serbakoruptif dan manipulatif. Hal itulah yang kemudian menjadikan
masyarakat rindu akan pemimpin populis yang mengayomi dan melindungi
kepentingan mayoritas. Berita Jokowi kemudian diromantisasi dan
didramatisasi menjadi pemimpin masa depan Indonesia.
Jika romantisasi ini
dibiarkan berkembang maka tentu akan mengganggu kinerja Jokowi sebagai
gubernur. Ekspektasi yang berlebihan terhadap romantisasi Jokowi justru
akan menambah beban mental sebagai pemimpin. Ujung-ujungnya, Jokowi akan
tergiring oleh konstruksi tersebut dengan selalu menampilkan pribadi
“sempurna” bagi masyarakat dengan blusukan-nya tersebut.
Jika sudah sedemikian maka
dengan cepat akan berkembang menjadi politik pencitraan sebagai antitesis
dari blusukan-nya Jokowi tersebut. Sangatlah penting bagi kita untuk
mendesakralisasi sosok Jokowi ini agar tidak “dieskploitasi” menjadi subjek
berita dan biarkan dia bekerja semaksimal mungkin.
Politik Tubuh Jokowi
Apakah hanya Jokowi pemimpin
populis di negeri ini? Jawabannya adalah tidak. Banyak pemimpin populis
yang hadir dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Sebut saja, David Bobihoe,
Bupati Gorontalo yang menggulirkan ide “mobile
government” yakni melalui aksinya yang selalu menenteng ransel besar
berupa catatan keluhan masyarakat maupun peralatan mandi jika menginap di
rumah warga; Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan yang memberikan program
pendidikan gratis bagi pelajar dari SD sampai SMA dan menguliahkan di PTN
bagi putra daerah; Bupati Nias Selatan (Nisel) Idealisman Dachi dengan
program gratis pendidikan mulai taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi;
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini melalui kebijakan tamanisasi kota yang
mampu memperluas ruang hijau dan ruang publik di tengah iklim masyarakat
Surabaya yang metropolis.
Terlepas dari posisinya
sebagai Gubernur DKI Jakarta sebagai magnet politik maupun politik
blusukan-nya yang menyita perhatian insan pers daripada pemimpin-pemimpin
populis lainnya. Media berhasil melakukan konstruksi politik atas performa
Jokowi terutama dari segi fisik penampilannya. Dalam bahasa Foucaultdian (1985), konstruksi tersebut lazim dikenal sebagai bio-politik.
Konsepsi bio-politik
memosisikan tubuh tidak saja sekadar anatomi dari jaringan sel-sel yang
sifatnya eksak dan pasif, tubuh adalah aktif melalui ideologi politik di
dalamnya. Tubuh Jokowi pada dasarnya adalah “Marhaen” yakni simbolisasi
wong cilik yang dihidupkan Soekarno.
Jokowi yang tampil dengan
baju kedodoran karena tubuhnya yang kurus ramping melambangkan orang kecil
yang bekerja keras, tidak jauh beda dengan tampilan publik. Itu yang
terlihat dari kebiasaan Jokowi menyingsingkan lengan bajunya. Pilihan putih
merupakan perlambang watak orang bersih dalam bertindak dan jujur dalam
berkata.
Singkat kata, media berhasil
mencitrakan politik tubuh Jokowi seperti masyarakat pada umumnya yang
berpakaian sederhana maupun sering anjangsana ke berbagai tempat untuk
sekadar mengobrok satu-dua orang; sehingga menciptakan suasana egaliter dengan
memanusiakan orang lain.
Hal inilah yang kemudian
menjadi ice breaker terhadap kultur politik Indonesia yang menjunjung
formalitas dan patrimonialistik. Tubuh Jokowi merupakan anomali terhadap
kelakuan pejabat kita yang jengah mengunjungi masyarakat ketika aktif
menjabat.
Namun, sekali lagi, marilah
kita tempatkan Jokowi juga seperti manusia biasa yang bekerja.
Kecenderungan timbul saat ini adalah munculnya ekspektasi dalam benak
masyarakat dengan realitas kinerja Jokowi akan sangat tinggi untuk menyelesaikan
masalah dengan kilat.
Ekspektasi berlebihan akan
menjadi masalah apabila Jokowi melakukan berbagai kebijakan yang tidak
populer, sementara masyarakat berharap keinginannya senantiasa dipenuhi.
Dalam konteks ini, Jokowi akan mendapat “penghakiman” sosial dari
masyarakat maupun “pengadilan” diskursus dari media karena Jokowi tidak
menuruti apa yang dikonstruksikan oleh media.
Jika sudah demikian, sosok
Jokowi akan tenggelam begitu saja seiring media mengalihkan pemberitaan
Jokowi dengan berita lainnya dan masyarakat kembali apatis dengan pejabat
seperti umumnya.
Jokowi perlu ditempatkan
secara seimbang, baik sebagai pemimpin populis dan juga pengambil kebijakan
di lapangan. Kebijakan maupun pelayanan tidak akan berjalan jika
pemimpinnya selalu dieksploitasi berita.
Berikan posisi Jokowi sebagai
figur pengambil kebijakan seperti pejabat lainnya sehingga pemberitaan akan
Jokowi berimbang dan tidak selalu hal positifnya saja yang terkadang
sifatnya artifisial dan dibuat-buat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar