Sabtu, 02 Februari 2013

Desakralisasi Jokowi


Desakralisasi Jokowi
Wasisto Raharjo J ;   Analis Politik dan Kebijakan Publik UGM
SINAR HARAPAN, 01 Februari 2013



Sejak kemenangan Jokowi dalam Pemilu Gubernur DKI Jakarta pada 2012 silam, gerak-gerik Jokowi selalu menjadi santapan media. Baik di dalam Gedung Balai Kota, DPRD, rumah dinas, bahkan hingga ketika blusukan pun menjadi berita.
Jokowi seolah menjadi magnet besar bagi insan pers baik cetak maupun elektronik sehingga sangat sayang apabila media tersebut tidak menampilkan Jokowi.

Masyarakat pun sepertinya juga antusias terhadap pemberitaan Jokowi, bahkan terdapat segmen masyarakat yang merasa ada yang hilang kalau tidak ada berita Jokowi. Tidaklah mengherankan, kini muncul istilah Jokowitainment di kalangan media dan masyarakat saking seringnya pemberitaan tentang Jokowi yang mengalahkan pemberitaan lainnya.

Jokowi memang telah berkembang menjadi social darling maupun media darling bagi masyarakat dan media; sehingga apabila terdapat isu miring dan negatif menyangkut Jokowi akan ditangkis secara cepat, baik itu melalui berita lainnya dari media maupun komentar masyarakat.

Media dengan jeli mampu mengonstruksi Jokowi sebagai superhero di tengah iklim politik Indonesia yang serbakoruptif dan manipulatif. Hal itulah yang kemudian menjadikan masyarakat rindu akan pemimpin populis yang mengayomi dan melindungi kepentingan mayoritas. Berita Jokowi kemudian diromantisasi dan didramatisasi menjadi pemimpin masa depan Indonesia.

Jika romantisasi ini dibiarkan berkembang maka tentu akan mengganggu kinerja Jokowi sebagai gubernur. Ekspektasi yang berlebihan terhadap romantisasi Jokowi justru akan menambah beban mental sebagai pemimpin. Ujung-ujungnya, Jokowi akan tergiring oleh konstruksi tersebut dengan selalu menampilkan pribadi “sempurna” bagi masyarakat dengan blusukan-nya tersebut.

Jika sudah sedemikian maka dengan cepat akan berkembang menjadi politik pencitraan sebagai antitesis dari blusukan-nya Jokowi tersebut. Sangatlah penting bagi kita untuk mendesakralisasi sosok Jokowi ini agar tidak “dieskploitasi” menjadi subjek berita dan biarkan dia bekerja semaksimal mungkin.

Politik Tubuh Jokowi

Apakah hanya Jokowi pemimpin populis di negeri ini? Jawabannya adalah tidak. Banyak pemimpin populis yang hadir dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Sebut saja, David Bobihoe, Bupati Gorontalo yang menggulirkan ide “mobile government” yakni melalui aksinya yang selalu menenteng ransel besar berupa catatan keluhan masyarakat maupun peralatan mandi jika menginap di rumah warga; Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan yang memberikan program pendidikan gratis bagi pelajar dari SD sampai SMA dan menguliahkan di PTN bagi putra daerah; Bupati Nias Selatan (Nisel) Idealisman Dachi dengan program gratis pendidikan mulai taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi; Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini melalui kebijakan tamanisasi kota yang mampu memperluas ruang hijau dan ruang publik di tengah iklim masyarakat Surabaya yang metropolis.

Terlepas dari posisinya sebagai Gubernur DKI Jakarta sebagai magnet politik maupun politik blusukan-nya yang menyita perhatian insan pers daripada pemimpin-pemimpin populis lainnya. Media berhasil melakukan konstruksi politik atas performa Jokowi terutama dari segi fisik penampilannya. Dalam bahasa Foucaultdian (1985), konstruksi tersebut lazim dikenal sebagai bio-politik.

Konsepsi bio-politik memosisikan tubuh tidak saja sekadar anatomi dari jaringan sel-sel yang sifatnya eksak dan pasif, tubuh adalah aktif melalui ideologi politik di dalamnya. Tubuh Jokowi pada dasarnya adalah “Marhaen” yakni simbolisasi wong cilik yang dihidupkan Soekarno.

Jokowi yang tampil dengan baju kedodoran karena tubuhnya yang kurus ramping melambangkan orang kecil yang bekerja keras, tidak jauh beda dengan tampilan publik. Itu yang terlihat dari kebiasaan Jokowi menyingsingkan lengan bajunya. Pilihan putih merupakan perlambang watak orang bersih dalam bertindak dan jujur dalam berkata.

Singkat kata, media berhasil mencitrakan politik tubuh Jokowi seperti masyarakat pada umumnya yang berpakaian sederhana maupun sering anjangsana ke berbagai tempat untuk sekadar mengobrok satu-dua orang; sehingga menciptakan suasana egaliter dengan memanusiakan orang lain.

Hal inilah yang kemudian menjadi ice breaker terhadap kultur politik Indonesia yang menjunjung formalitas dan patrimonialistik. Tubuh Jokowi merupakan anomali terhadap kelakuan pejabat kita yang jengah mengunjungi masyarakat ketika aktif menjabat.

Namun, sekali lagi, marilah kita tempatkan Jokowi juga seperti manusia biasa yang bekerja. Kecenderungan timbul saat ini adalah munculnya ekspektasi dalam benak masyarakat dengan realitas kinerja Jokowi akan sangat tinggi untuk menyelesaikan masalah dengan kilat.

Ekspektasi berlebihan akan menjadi masalah apabila Jokowi melakukan berbagai kebijakan yang tidak populer, sementara masyarakat berharap keinginannya senantiasa dipenuhi. Dalam konteks ini, Jokowi akan mendapat “penghakiman” sosial dari masyarakat maupun “pengadilan” diskursus dari media karena Jokowi tidak menuruti apa yang dikonstruksikan oleh media.

Jika sudah demikian, sosok Jokowi akan tenggelam begitu saja seiring media mengalihkan pemberitaan Jokowi dengan berita lainnya dan masyarakat kembali apatis dengan pejabat seperti umumnya.

Jokowi perlu ditempatkan secara seimbang, baik sebagai pemimpin populis dan juga pengambil kebijakan di lapangan. Kebijakan maupun pelayanan tidak akan berjalan jika pemimpinnya selalu dieksploitasi berita.

Berikan posisi Jokowi sebagai figur pengambil kebijakan seperti pejabat lainnya sehingga pemberitaan akan Jokowi berimbang dan tidak selalu hal positifnya saja yang terkadang sifatnya artifisial dan dibuat-buat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar