DALAM
kondisi lingkungan yang normal, siklus air berlangsung secara alami.
Air yang berlebih pada musim hujan disimpan dalam tanah, akifer, waduk,
danau, rawa, sungai, bendung, sumur-sumur resapan dan situ. Sisanya
terbuang ke laut dalam volume yang tidak terlalu besar. Pada musim kemarau,
air yang tersimpan tersebut akan keluar menuju sungai sehingga air tetap
tersedia dalam keadaan cukup.
Dalam
perspektif ekologi, jika kondisi lingkungan rusak maka siklus alami air
mengalami gangguan. Daya tampung sungai, akuifer, rawa, danau, bendung, dan
sumur-sumur resapan menjadi sangat terbatas. Konversi jutaan hektare hutan
belukar dan vegetasi lainnya menjadi bangunan fisik dengan permukaan kedap
air berimplikasi pada kemenurunan laju resapan air ke dalam tanah dan
peningkatan laju air larian (run off).
Kedua kondisi tersebut menjadi penyebab utama bencana banjir bandang.
Sebuah literatur menyebutkan, betonisasi masif di Jakarta menyebabkan
peningkatan volume air larian dari 20 persen menjadi 95 persen.
Banjir yang
melanda Jakarta beberapa hari lalu boleh jadi mewakili cermin retak dari
kondisi ekologi negeri ini secara umum. Sebagai negara tropis, Indonesia
dikaruniai dua iklim yang memiliki karakteristik basah dan kering secara
ekstrem bergantian. Keduanya adalah musim hujan yang berpotensi menimbulkan
bencana banjir/longsor, dan musim kemarau yang berpotensi menimbulkan
bencana kekeringan.
Saat ini
kondisi daya dukung alam dan lingkungan telah sampai pada titik nadir.
Secara kasat mata sepertinya baru kemarin sore kita menyaksikan penderitaan
jutaan warga di sejumlah daerah yang mengalami krisis air bersih akibat
musim kering ekstrem. Kini kita kembali dihadapkan pada bencana banjir di
seluruh penjuru negeri.
Defisit Ekologis
Satu hal yang
perlu diingat, fenomena banjir sekarang ini boleh jadi merupakan ìpemanenan
buahî dari apa yang telah kita tanam sebelumnya. Perilaku dan tindakan yang
sangat tidak harmonis dengan alam. Padahal Daniel Goleman (2009), dalam
buku Ecological Intelligence
telah mengingatkan bahwa perilaku dan tindakan manusia di segenap pelosok
dunia yang tidak ramah lingkungan akan mengakibatkan bencana berupa defisit
ekologis yang sangat membahayakan eksistensi planet bumi.
Eksploitasi air
tanah di Jakarta dilakukan secara berlebihan. Sebuah studi lingkungan menyebutkan
bahwa maksimal air yang bisa disedot dari perut bumi Jakarta hanya 38 juta
m3 per tahun. Namun, saat ini air tanah yang dieksploitasi di Jakarta tiap
tahun berjumlah 320 juta m3, atau 10 kali lipat dari seharusnya.
Penyedotan air
tanah yang tidak terkendali tersebut menyebabkan terjadinya penurunan
permukaan tanah yang sangat mengkhawatirkan. Rata-rata penurunan permukaan
tanah di Jakarta per tahun mencapai lebih dari 10 cm. Selama satu dekade
terakhir telah terjadi penurunan permukaan tanah di Jakarta Barat 1,2 m.
Selama 8 tahun terakhir di wilayah Thamrin, Jakarta Pusat, yang beberapa
pekan lalu terlanda banjir penurunan mencapai 80 cm.
Kemampuan
bangsa ini untuk mendeteksi secara dini kedatangan bencana banjir masih
kurang. Kondisi inilah yang menyebabkan langkah-langkah antisipatif dalam
menanggulangi dampak bencana selalu terlambat. Banyak wilayah di negeri ini
yang rentan dilanda bencana banjir. Untuk itu semua pihak harus selalu
waspada dan siaga terhadap segala kemungkinan terburuk.
Upaya ex-ante,
yaitu upaya yang lebih mengedepankan pencegahan, kesiapsiagaan, upaya
mitigasi dan mereduksi bencana, harus menjadi budaya masyarakat. Upaya ini
bertujuan membangun ketahanan bangsa dan komunitas untuk menurunkan secara
berarti hilangnya nyawa dan aset-aset sosial, ekonomi, dan lingkungan
karena bencana.
Ekodrainase
Upaya membuang
air hujan ke laut sebanyak mungkin lewat gorong-gorong berukuran besar
seperti diwacanakan di Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia,
sebenarnya merupakan upaya yang sudah kedaluwarsa. Kota-kota besar di dunia
saat ini telah mengupayakan penyerapan air hujan sebanyak-banyaknya ke
tanah melalui konsep ekodrainase (drainase ramah lingkungan).
Penanganan
bencana secara struktural di samping memerlukan biaya yang sangat besar
juga memerlukan waktu lama. Oleh karena itu perlu diupayakan strategi
tepat dengan upaya nonstruktural. Upaya nonstruktural ini antara lain
dalam bentuk mitigasi bencana yang efektif, pengaturan tata guna lahan,
prakiraan bencana, sistim peringatan dini dan sistim pengelolaan risiko
yang harmonis dengan lingkungan.
Pemerintah
perlu membuat cetak biru upaya penanggulangan bencana secara komprehensif.
Di dalamnya termasuk penyusunan peta daerah rawan banjir dan longsor. Peta
ini menjadi bagian tak terpisahkan dari peta tata ruang, dokumen terukur
yang menjadi dasar pembangunan wilayah. Peta ini digunakan sebagai
pertimbangan dalam mengeluarkan kebijakan publik yang akuntabel, semisal
dalam memberikan izin mendirikan bangunan (IMB). Upaya seperti ini sedikit
banyak akan mereduksi hilangnya nyawa dan aset sosial, ekonomi, dan
lingkungan akibat bencana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar