Sabtu, 02 Februari 2013

Perspektik Ekologi Banjir


Perspektik Ekologi Banjir
Toto Subandriyo ;  Alumnus IPB dan Magister Manajemen Unsoed, Pemenang Lomba Karya Tulis Development for Life Kementerian Lingkungan Hidup Tahun 2010
SUARA MERDEKA, 02 Februari 2013

DALAM kondisi lingkungan yang normal, siklus air berlangsung secara alami.  Air yang berlebih pada musim hujan disimpan dalam tanah, akifer, waduk, danau, rawa, sungai, bendung, sumur-sumur resapan dan situ. Sisanya terbuang ke laut dalam volume yang tidak terlalu besar. Pada musim kemarau, air yang tersimpan tersebut akan keluar menuju sungai sehingga air tetap tersedia dalam keadaan cukup.

Dalam perspektif ekologi, jika kondisi lingkungan rusak maka siklus alami air mengalami gangguan. Daya tampung sungai, akuifer, rawa, danau, bendung, dan sumur-sumur resapan menjadi sangat terbatas. Konversi jutaan hektare hutan belukar dan vegetasi lainnya menjadi bangunan fisik dengan permukaan kedap air berimplikasi pada kemenurunan laju resapan air ke dalam tanah dan peningkatan laju air larian (run off). Kedua kondisi tersebut menjadi penyebab utama bencana banjir bandang. Sebuah literatur menyebutkan, betonisasi masif di Jakarta menyebabkan peningkatan volume air larian dari 20 persen menjadi 95 persen.

Banjir yang melanda Jakarta beberapa hari lalu boleh jadi mewakili cermin retak dari kondisi ekologi negeri ini secara umum. Sebagai negara tropis, Indonesia dikaruniai dua iklim yang memiliki karakteristik basah dan kering secara ekstrem bergantian. Keduanya adalah musim hujan yang berpotensi menimbulkan bencana banjir/longsor, dan musim kemarau yang berpotensi menimbulkan bencana kekeringan. 

Saat ini kondisi daya dukung alam dan lingkungan telah sampai pada titik nadir. Secara kasat mata sepertinya baru kemarin sore kita menyaksikan penderitaan jutaan warga di sejumlah daerah yang mengalami krisis air bersih akibat musim kering ekstrem. Kini kita kembali dihadapkan pada bencana banjir di seluruh penjuru negeri. 

Defisit Ekologis

Satu hal yang perlu diingat, fenomena banjir sekarang ini boleh jadi merupakan ìpemanenan buahî dari apa yang telah kita tanam sebelumnya. Perilaku dan tindakan yang sangat tidak harmonis dengan alam. Padahal Daniel Goleman (2009), dalam buku Ecological Intelligence telah mengingatkan bahwa perilaku dan tindakan manusia di segenap pelosok dunia yang tidak ramah lingkungan akan mengakibatkan bencana berupa defisit ekologis yang sangat membahayakan eksistensi planet bumi.

Eksploitasi air tanah di Jakarta dilakukan secara berlebihan. Sebuah studi lingkungan menyebutkan bahwa maksimal air yang bisa disedot dari perut bumi Jakarta hanya 38 juta m3 per tahun. Namun, saat ini air tanah yang dieksploitasi di Jakarta tiap tahun berjumlah 320 juta m3, atau 10 kali lipat dari seharusnya.

Penyedotan air tanah yang tidak terkendali tersebut menyebabkan terjadinya penurunan permukaan tanah yang sangat mengkhawatirkan. Rata-rata penurunan permukaan tanah di Jakarta per tahun mencapai lebih dari 10 cm. Selama satu dekade terakhir telah terjadi penurunan permukaan tanah di Jakarta Barat 1,2 m. Selama 8 tahun terakhir di wilayah Thamrin, Jakarta Pusat, yang beberapa pekan lalu terlanda banjir penurunan mencapai 80 cm.

Kemampuan bangsa ini untuk mendeteksi secara dini kedatangan bencana banjir masih kurang. Kondisi inilah yang menyebabkan langkah-langkah antisipatif dalam menanggulangi dampak bencana selalu terlambat. Banyak wilayah di negeri ini yang rentan dilanda bencana banjir. Untuk itu semua pihak harus selalu waspada dan siaga terhadap segala kemungkinan terburuk.

Upaya ex-ante, yaitu upaya yang lebih mengedepankan pencegahan, kesiapsiagaan, upaya mitigasi dan mereduksi bencana, harus menjadi budaya masyarakat. Upaya ini bertujuan membangun ketahanan bangsa dan komunitas untuk menurunkan secara berarti hilangnya nyawa dan aset-aset sosial, ekonomi, dan lingkungan karena bencana.

Ekodrainase

Upaya membuang air hujan ke laut sebanyak mungkin lewat gorong-gorong berukuran besar seperti diwacanakan di Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia, sebenarnya merupakan upaya yang sudah kedaluwarsa. Kota-kota besar di dunia saat ini telah mengupayakan penyerapan air hujan sebanyak-banyaknya ke tanah melalui konsep ekodrainase (drainase ramah lingkungan).

Penanganan bencana secara struktural di samping memerlukan biaya yang sangat besar juga memerlukan waktu lama.  Oleh karena itu perlu diupayakan strategi tepat dengan upaya nonstruktural.  Upaya nonstruktural ini antara lain dalam bentuk mitigasi bencana yang efektif, pengaturan tata guna lahan, prakiraan bencana, sistim peringatan dini dan sistim pengelolaan risiko yang harmonis dengan lingkungan.

Pemerintah perlu membuat cetak biru upaya penanggulangan bencana secara komprehensif. Di dalamnya termasuk penyusunan peta daerah rawan banjir dan longsor. Peta ini menjadi bagian tak terpisahkan dari peta tata ruang, dokumen terukur yang menjadi dasar pembangunan wilayah. Peta ini digunakan sebagai pertimbangan dalam mengeluarkan kebijakan publik yang akuntabel, semisal dalam memberikan izin mendirikan bangunan (IMB). Upaya seperti ini sedikit banyak akan mereduksi hilangnya nyawa dan aset sosial, ekonomi, dan lingkungan akibat bencana. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar