Negeri
Dikendalikan Kapital
Benny Susetyo, SEKRETARIS
DEWAN NASIONAL SETARA/KOMISI HAK KWI
Sumber
: SINDO, 3 Januari 2012
Refleksi akhir tahun di Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) para tokoh agama melihat sumber kekerasan terjadi
akhir ini disebabkan banyak faktor.Ada faktor yang memengaruhi mengapa
kekerasan tiba-tiba memuncak karena elite politiknya dikendalikan oleh pemilik
modal.
Kebijakan publik tidak lagi
menyentuh harkat dan martabat kemanusiaan karena pemilik modal begitu kuat
menguasai kehidupan sehari-hari. Rakyat sekadar hiasan belaka, bukan lagi
berdaulat atas sumber daya alam,tanah,dan air.Mereka terusir di tanah
kelahirannya. Inilah salah satu faktor pemicu kekerasan muncul karena tiadanya
penghormatan terhadap martabat rakyat.
Aparatus negara yang seharusnya menjadi pelindung rakyat justru, bersama para preman, menjadi kaki tangan pemodal untuk membantai rakyat yang melakukan aksi protes. Inilah gambaran suram negeri yang kita cintai ini.Pada 2011 semuanya menjadi semakin jelas kepada siapa negara berpihak saat rakyat kecil diinjak-injak.Saat elite negara mulai bersekutu dengan modal, negara pun semakin menjauhi keadaban publik.
Maka memasuki 2012 ini pertanyaan besar yang mengemuka di depan kita, sanggupkah kita melakukan perubahan radikal untuk melahirkan keadaban publik baru dengan mengembalikan hak-hak rakyat yang telah dirampas selama ini. Kedaulatan rakyat yang dinyatakan selama ini sekadar kata-kata tanpa makna.Nyata tiada realitasnya.Kedaulatan rakyat hanyalah bahan pidato para pejabat.
Dalam realitas kehidupan sehari-hari, yang berdaulat sesungguhnya yang berkuasa, memiliki jabatan, dan mau bersekutu dengan para pemodal. Menghadapi situasi politik birokrasi yang makin nepotis dan penuh dengan kolusi, para pebisnis perlahanlahan memasuki dunia hitam. Bersekongkol untuk menghabisi rakyat kecil dengan berbagai cara.
Sekutu Elite-Pemodal
Harus dipahami, tugas pejabat publik adalah mengelola negara dalam mengatur kekayaan publik sebaik-baiknya, bukan memilikinya.Kekayaan publik semestinya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Ini tersirat jelas dalam konstitusi kita. Bumi dan kekayaannya harus diolah demi kemakmuran bersama.
Rumusan ini sebenarnya memberi amanat kepada pengelola negara untuk mengatur kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia demi rakyat. Sayangnya, para pejabat publikkerapkalitidakmemiliki tanggung jawab dan kesadaran sebagaimana penegasan dalam konstitusi tersebut.Konstitusi kerapkali ditafsirkan secara sembarangan dan mengarah pada kepentingan politik kekuasaan semata.
Ini membuat kesejahteraan sulit tercipta karena badan publik yang membuat kebijakan kerapkali bermain mata dengan pasar, dan sering berkolaborasi dengan komunitas bisnis hitam. Para pebisnis hitam memasuki dunia politik untuk melindungi diri. Politik menjadi arena perdagangan semata. Permainan mereka inilah yang kerapkali merugikan masyarakat. Alam Indonesia kering disedot oleh para mafia ini.
Di tingkat akar rumput diciptakan potensi konflik dan kekerasan, adu domba. Seringkali ini sebenarnya sekadar upaya mengalihkan masalah lebih besar,yakni rusaknya keadaan publik yang ditandai dengan kolusi elite politik yang memproduksi undang dengan kekuatan pasar hitam. Inilah yang membuat wajah keadaban publik menjadi muram karena tidak mampu menata pemerintahan yang efisien dan efektif untuk memberikan pelayanan publik sebaik- baiknya dan seadil-adilnya.
Badan publik selalu dipenuhi dengan “titipan politik”. Mereka kerapkali direpotkan manuver partai politik yang meminta jatah setoran untuk kepentingan partai dan pribadi. Karena itu, optimalisasi badan publik hanya bisa dilakukan bila kekuasaan politik berhenti melakukan praktik pemerasan terhadap badan publik negara.
Ketidakberdayaan Negara
Kepercayaan yang semakin meluntur kepada aparat pemerintah diperkuat dengan pemerintah yang kerap abai terhadap penderitaan rakyat. Ini semua melahirkan jurang sengsara yang semakin dalam. Kenyataan sosial menunjukkan kehidupan semakin sulit, persaingan yang semakin tidak wajar karena regulasi yang tak memihak kaum lemah, upaya mencari pekerjaan yang semakin sulit,dan seterusnya.Banyak kejadian yang mencoreng muka bangsa ini pada 2011.
Sebagian besar dipertontonkan dalam sebuah pertunjukan ketidakberdayaan negara mengemban fungsi aslinya sebagai pelindung warga.Negara justru terjebak dalam permainan dengan konglomerat hitam untuk tujuan politik kekuasaan tertentu. Sepak terjang politisi masih jauh dari harapan rakyat. Mereka kerap dinilai semakin memuakkan. Itulah alasan utama mengapa rakyat pun sering melakukan tindakan di luar kontrol.
Mereka tidak segansegan melakukan penghakiman massa, pembakaran, dan tindakan-tindakan anarkistis. Itu semua merupakan puncak dari kekesalan dan apatisme yang kuat terhadap peran negara. Potensi kekerasan ini pun semakin lama semakin meluas dalam berbagai segi, level,dan sebab. Sebuah pertanyaan tersisa dari tahun-tahun sebelumnya kembali mencuat.
Sejumlah tokoh pun silih berganti bersuara cemas.Mengapa aparat negara justru kerap dituding sebagai biang kerok berbagai pelanggaran HAM dan konstitusi? Mengapa pemimpin seolah diam menyaksikan semua tragedi itu tanpa langkah konkret pemihakan terhadap rakyat kecil sebagai korban? Kita pun bertanya, di mana aparatus negara yang seharusnya berfungsi mengemban tugas untuk melindungi rakyat dan menciptakan ketenteraman?
Dari berbagai persoalan yang ada, begitu muram memikirkan wajah masa depan bangsa ini. Tidak bisa tidak, kita membutuhkan sebuah loncatan berpikir yang tidak hanya bersikap reaktif serta hanya mementingkan kelompoknya. Dibutuhkan keseriusan semua elit politik untuk duduk bersama dalam menyikapi berbagai kekerasan yang potensial mengancam kehidupan bersama sebagai bangsa ini. Perubahan sekarang juga! Atau melihat Indonesia akan segera masuk museum sejarah. ●
Aparatus negara yang seharusnya menjadi pelindung rakyat justru, bersama para preman, menjadi kaki tangan pemodal untuk membantai rakyat yang melakukan aksi protes. Inilah gambaran suram negeri yang kita cintai ini.Pada 2011 semuanya menjadi semakin jelas kepada siapa negara berpihak saat rakyat kecil diinjak-injak.Saat elite negara mulai bersekutu dengan modal, negara pun semakin menjauhi keadaban publik.
Maka memasuki 2012 ini pertanyaan besar yang mengemuka di depan kita, sanggupkah kita melakukan perubahan radikal untuk melahirkan keadaban publik baru dengan mengembalikan hak-hak rakyat yang telah dirampas selama ini. Kedaulatan rakyat yang dinyatakan selama ini sekadar kata-kata tanpa makna.Nyata tiada realitasnya.Kedaulatan rakyat hanyalah bahan pidato para pejabat.
Dalam realitas kehidupan sehari-hari, yang berdaulat sesungguhnya yang berkuasa, memiliki jabatan, dan mau bersekutu dengan para pemodal. Menghadapi situasi politik birokrasi yang makin nepotis dan penuh dengan kolusi, para pebisnis perlahanlahan memasuki dunia hitam. Bersekongkol untuk menghabisi rakyat kecil dengan berbagai cara.
Sekutu Elite-Pemodal
Harus dipahami, tugas pejabat publik adalah mengelola negara dalam mengatur kekayaan publik sebaik-baiknya, bukan memilikinya.Kekayaan publik semestinya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Ini tersirat jelas dalam konstitusi kita. Bumi dan kekayaannya harus diolah demi kemakmuran bersama.
Rumusan ini sebenarnya memberi amanat kepada pengelola negara untuk mengatur kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia demi rakyat. Sayangnya, para pejabat publikkerapkalitidakmemiliki tanggung jawab dan kesadaran sebagaimana penegasan dalam konstitusi tersebut.Konstitusi kerapkali ditafsirkan secara sembarangan dan mengarah pada kepentingan politik kekuasaan semata.
Ini membuat kesejahteraan sulit tercipta karena badan publik yang membuat kebijakan kerapkali bermain mata dengan pasar, dan sering berkolaborasi dengan komunitas bisnis hitam. Para pebisnis hitam memasuki dunia politik untuk melindungi diri. Politik menjadi arena perdagangan semata. Permainan mereka inilah yang kerapkali merugikan masyarakat. Alam Indonesia kering disedot oleh para mafia ini.
Di tingkat akar rumput diciptakan potensi konflik dan kekerasan, adu domba. Seringkali ini sebenarnya sekadar upaya mengalihkan masalah lebih besar,yakni rusaknya keadaan publik yang ditandai dengan kolusi elite politik yang memproduksi undang dengan kekuatan pasar hitam. Inilah yang membuat wajah keadaban publik menjadi muram karena tidak mampu menata pemerintahan yang efisien dan efektif untuk memberikan pelayanan publik sebaik- baiknya dan seadil-adilnya.
Badan publik selalu dipenuhi dengan “titipan politik”. Mereka kerapkali direpotkan manuver partai politik yang meminta jatah setoran untuk kepentingan partai dan pribadi. Karena itu, optimalisasi badan publik hanya bisa dilakukan bila kekuasaan politik berhenti melakukan praktik pemerasan terhadap badan publik negara.
Ketidakberdayaan Negara
Kepercayaan yang semakin meluntur kepada aparat pemerintah diperkuat dengan pemerintah yang kerap abai terhadap penderitaan rakyat. Ini semua melahirkan jurang sengsara yang semakin dalam. Kenyataan sosial menunjukkan kehidupan semakin sulit, persaingan yang semakin tidak wajar karena regulasi yang tak memihak kaum lemah, upaya mencari pekerjaan yang semakin sulit,dan seterusnya.Banyak kejadian yang mencoreng muka bangsa ini pada 2011.
Sebagian besar dipertontonkan dalam sebuah pertunjukan ketidakberdayaan negara mengemban fungsi aslinya sebagai pelindung warga.Negara justru terjebak dalam permainan dengan konglomerat hitam untuk tujuan politik kekuasaan tertentu. Sepak terjang politisi masih jauh dari harapan rakyat. Mereka kerap dinilai semakin memuakkan. Itulah alasan utama mengapa rakyat pun sering melakukan tindakan di luar kontrol.
Mereka tidak segansegan melakukan penghakiman massa, pembakaran, dan tindakan-tindakan anarkistis. Itu semua merupakan puncak dari kekesalan dan apatisme yang kuat terhadap peran negara. Potensi kekerasan ini pun semakin lama semakin meluas dalam berbagai segi, level,dan sebab. Sebuah pertanyaan tersisa dari tahun-tahun sebelumnya kembali mencuat.
Sejumlah tokoh pun silih berganti bersuara cemas.Mengapa aparat negara justru kerap dituding sebagai biang kerok berbagai pelanggaran HAM dan konstitusi? Mengapa pemimpin seolah diam menyaksikan semua tragedi itu tanpa langkah konkret pemihakan terhadap rakyat kecil sebagai korban? Kita pun bertanya, di mana aparatus negara yang seharusnya berfungsi mengemban tugas untuk melindungi rakyat dan menciptakan ketenteraman?
Dari berbagai persoalan yang ada, begitu muram memikirkan wajah masa depan bangsa ini. Tidak bisa tidak, kita membutuhkan sebuah loncatan berpikir yang tidak hanya bersikap reaktif serta hanya mementingkan kelompoknya. Dibutuhkan keseriusan semua elit politik untuk duduk bersama dalam menyikapi berbagai kekerasan yang potensial mengancam kehidupan bersama sebagai bangsa ini. Perubahan sekarang juga! Atau melihat Indonesia akan segera masuk museum sejarah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar