Selasa, 03 Januari 2012

Anatomi Pengaduan Konsumen 2011


Anatomi Pengaduan Konsumen 2011
Tulus Abadi, ANGGOTA PENGURUS HARIAN YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN INDONESIA
Sumber : KORAN TEMPO, 3 Januari 2012


Konsumen, dalam konteks sosio-ekonomi, seharusnya mempunyai peran yang amat strategis, bahkan setara dengan pilar ekonomi yang lain, yakni pelaku usaha (produsen). Namun realitasnya, fenomena itu acap tak terjadi: daya tawar konsumen amat lemah saat berhadapan dengan pelaku usaha, atau bahkan dengan pemerintah. Ini tecermin manakala pemerintah tidak aware akan persoalan yang dihadapi konsumen, baik yang bersifat mikro (sehari-hari), apalagi yang bersifat sistemik.

Data pengaduan konsumen Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia pada 2011--yang tersebar dalam berbagai komoditas ataupun kasus-kasus konsumen yang aktual, mengindikasikan hal itu. Selama 2011, Bidang Pengaduan YLKI telah menerima pengaduan konsumen secara tertulis sebanyak 525 kasus, dengan sebaran kasus "sepuluh besar" sebagai berikut: pertama, permasalahan perbankan 112 kasus (20,9 persen); kedua, permasalahan perumahan 76 kasus (14,3 persen); ketiga, permasalahan jasa telekomunikasi/multimedia 66 kasus (13,6 persen); keempat, permasalahan pelayanan ketenagalistrikan 57 kasus (11,3 persen); kelima, permasalahan pelayanan air oleh PDAM 38 kasus (7,5 persen); keenam, permasalahan pelayanan transportasi 32 kasus (6,4 persen); ketujuh, permasalahan leasing 22 kasus (4,7 persen); kedelapan, permasalahan otomotif 17 kasus (3,4 persen); kesembilan, permasalahan jasa wisata 11 kasus (1,9 persen); dan sisanya, kesepuluh, kasus pengaduan "lainnya". Selain itu, YLKI banyak menerima pengaduan serupa via telepon, e-mail, dan media jejaring sosial. Tapi pengaduan dimaksud tidak bisa ditindaklanjuti karena tanpa bukti-bukti dan alamat yang jelas. Berikut ini analisis singkat pengaduan dimaksud.

Kasus Perbankan

Masalah perbankan masih didominasi oleh pengaduan kartu kredit. Konfigurasi persoalan kartu kredit masih seputar perilaku debt collector yang tidak manusiawi dalam berinteraksi dengan konsumen, sekalipun karena konsumen tidak bisa membayar tagihannya. Jika dikaitkan dengan kasus aktual yang menimpa nasabah Citibank (kasus Irzen) yang meninggal, data pengaduan YLKI terbukti sangat relevan. Selain masalah perilaku debt collector, masalah kartu kredit yang signifikan adalah hilangnya kartu kredit milik konsumen, tapi pihak bank sangat lambat dalam merespons pengaduan konsumen. 

Petugas customer service bank sering hang jika dihubungi konsumen (tidak responsif), sehingga dalam waktu singkat account kartu kredit milik konsumen dibobol si maling. Bank terbukti tidak cekatan (tidak protektif) dalam menangani pengaduan konsumen. Bank Indonesia memang telah mengeluarkan regulasi baru terkait dengan hal ini. Misalnya, konsumen hanya boleh memiliki maksimum dua buah kartu kredit. Syarat minimal penghasilan pun menjadi makin ketat. Namun BI belum mampu membuat aturan yang tegas terkait dengan praktek debt collector, yang acap merugikan konsumen perbankan, khususnya nasabah kartu kredit.

Kasus Perumahan

Karakter pengaduan masalah perumahan masih terlihat konservatif dan ironis. Sebab, persoalan yang terjadi masih seputar pembangunan perumahan oleh developer yang tidak terwujud, plus penyerahan sertifikat rumah yang acap terlambat. Hal ini menunjukkan pengawasan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat (Kementerian Perumahan Rakyat) maupun pemerintah daerah sangat lemah, terutama terkait dengan pemberian izin. Pemerintah tidak selektif dalam memberikan izin operasional dan izin lokasi kepada developer. Dengan demikian, developer tidak memenuhi janjinya kepada konsumen, atau bahkan uang konsumen yang telah dibayarkan secara lunas dibawa kabur oleh developer.

Kasus Telekomunikasi

Kasus pencurian pulsa menjadi paling dominan dalam kasus ini. Memang setelah kasus ini mendapat sorotan publik secara meluas, terlihat kinerja Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mulai menggeliat. Misalnya, BRTI mengeluarkan surat edaran kepada semua operator dan content provider untuk mengembalikan pulsa milik konsumen yang telah dicaplok secara sepihak. Pada konteks mikro, langkah BRTI sudah benar, karena memang itu yang menjadi tuntutan konsumen. Namun BRTI lupa (atau sengaja), karena langkah itu tidak dibarengi dengan mekanisme pengawasan proses pengembalian pulsa dimaksud. Bagaimana, misalnya, jika konsumen yang pulsanya sudah dicaplok itu telah meninggal, dan/atau telah mematikan akses kartu prabayarnya? Pada konteks makro, baik Kementerian Komunikasi, BRTI, maupun kepolisian belum melakukan langkah signifikan untuk membongkar kasus pencurian pulsa yang patut diduga ada "mafia" yang bermain di belakangnya ini. Ataukah kasus ini sengaja "diendapkan" karena ada dugaan partai politik tertentu ikut bermain dalam kasus pencurian pulsa ini?

Public Services?

Selain kasus perbankan, perumahan, dan pencurian pulsa, pengaduan di YLKI memberi tengara bahwa masalah pelayanan publik patut dipertanyakan, khususnya yang terwakili oleh pengaduan kelistrikan (PT PLN), pengaduan air (PDAM), dan pengaduan layanan transportasi. Benar bahwa manajemen PT PLN--yang dikomandani Dahlan Iskan--telah berhasil mengatasi pemadaman bergilir di berbagai daerah. Namun kini karakter pengaduan masalah listrik bergeser seputar penertiban pemakaian tenaga listrik. Adapun pengaduan masalah air PDAM (berikut mitra swastanya) juga masih mengenaskan. Sebab, karakter pengaduannya tidak beranjak dari masalah kualitas air yang tidak memenuhi standar (berbau, kotor, dan lain-lain), plus frekuensi aliran air yang tidak menentu. Lalu apa gunanya Pemerintah Provinsi Jakarta bermitra dengan swasta asing jika kualitas pelayanannya masih kedodoran?

Kesimpulan, Saran

Seharusnya pelanggaran hak-hak dasar konsumen--yang kemudian konsumen menjadi subordinat dalam sistem ekonomi makro--tidak akan pernah terjadi jika semua pihak (pemerintah dan pelaku usaha) serius menegakkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Plus, dalam konteks kualitas pelayanan publik, pemerintah konsisten mengimplementasikan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang mengamanatkan adanya standar pelayanan yang jelas (standar pelayanan minimal). Tidak cukup bagi pemerintah piawai dalam membuat suatu undang-undang untuk melindungi konsumen dan publik secara luas, tapi kemudian memble dalam pengawasan serta penegakan hukumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar