Rabu, 11 Januari 2012

Mobil di Jalan Politik Indonesia


Mobil di Jalan Politik Indonesia
Bandung Mawardi, PENGELOLA JAGAT ABJAD SOLO
Sumber : KORAN TEMPO, 11 Januari 2012


Kabar itu datang dari Solo, Jawa Tengah. Joko Widodo selaku Wali Kota Solo ingin mengendarai mobil bermerek Kiat Esemka hasil rakitan para siswa di Solo sebagai mobil dinas. Pilihan ini hendak menunjukkan adab politik. Pesan Joko Widodo eksplisit: mobil dinas tak mesti mahal dan mewah. Joko Widodo justru memilih mobil seharga Rp 95 juta itu sebagai ejawantah kebersahajaan politik dan penghormatan terhadap keringat kaum muda dalam menggerakkan impian teknologi. Adab politik ini adalah tanda seru bagi mentalitas para elite politik saat mendefinisikan mobil sebagai arogansi, sikap gila hormat, hedonisme.

Sejarah (adab) politik di Indonesia memang identik dengan alat transportasi modern: kereta api, sepeda motor, mobil. Arus politik di awal abad XX dipengaruhi oleh mobil dan biografi elite politik. Mobil pun menjelma menjadi tanda kekuasaan. Pembangunan jalan-jalan di pelbagai kota menjadi panggung kekuasaan. Elite politik mengendarai mobil sebagai prosedur percepatan gerak, mobilitas gagasan, dramatisasi ideologi, semaian “kemadjoean”. Mobil-mobil melintasi jalan sebagai benda ajaib alias sihir modernitas. Mobil mengandaikan ada resapan rasionalitas modern akibat kausalitas kolonialisme-kapitalisme. Kehadiran mobil-mobil di Hindia Belanda adalah berkah-imperatif untuk laju politik (modern) dan arus deras narasi kapitalisme.

Kita bisa membuka halaman-halaman biografi Adam Malik berjudul Mengabdi Republik (1978). Modernisasi di Pematang Siantar (Sumatera Timur) mengakibatkan derita kaum kuli dan kemunculan golongan elite. Industri perkebunan oleh kolonial dan elite lokal mengubah Pematang Siantar menjadi “Tanah Dolar”. Adam Malik menganggap kondisi itu mempengaruhi usaha perdagangan si ayah. Keluarga Adam Malik pun moncer sebagai keluarga elite. Adam Malik mengingat: “.. pada tahun 1928, satu-satunya orang di seluruh Pematang Siantar yang mempunyai mobil sedan Buick adalah ayah saya. Kekayaan dan kedudukan beliau cukup banyak dan tinggi untuk termasuk ‘golongan elite’ di antara seluruh penduduk kota itu.” Mobil kentara menjadi representasi kelas sosial elite dan menandai afirmasi gagasan modern di negeri jajahan.

Mobil dalam biografi Adam Malik menandai laju ekonomi-politik di Sumatera. Mobil mengandung makna pembedaan nasib, puja modernitas, eksistensi elite. Kisah di Sumatera itu berbeda dengan pengisahan Ahmad Soebardjo saat kuliah dan menggerakkan Perhimpunan Indonesia di Belanda (1920-an). Otobiografi Ahmad Soebardjo berjudul Kesadaran Nasional (1978) mengenang babak historis saat mendapati ilham tentang perlambang pergerakan nasionalisme. Ilham itu mengacu ke mobil. Adegan menatap mobil justru menjadi titik mula manifestasi gerakan nasionalisme Indonesia.

Alkisah, Perhimpunan Indonesia diundang untuk mengikuti Kongres Mahasiswa Kristen di Driebergen (Belanda). Sultan Hamengku Buwono XVII juga ikut datang ke kongres. Adegan dramatis terjadi saat Sultan Hamengku Buwono XVII bergerak ke tempat acara mengendarai mobil dengan iringan panitia. Rombongan Ahmad Soebardjo tepat ada di belakang mobil Sultan Hamengku Buwono XVIII. Ahmad Soebardjo mengenang bahwa, saat memandang mobil Sultan Hamengku Buwono XVII, tampak ada bendera berlambang “gula kelapa” khas Yogyakarta. Konon, bendera bersejarah itu warisan dari para penguasa Majapahit.

Ahmad Soebardjo menatap bendera merah-putih itu dengan takjub. Bendera itu mengundang memori perlambang politik bagi pribumi di Nusantara. Warna merah berarti keberanian, dan warna putih berarti kesucian. Peristiwa dramatis itu diingat oleh Ahmad Soebardjo dalam sederet kalimat: “Begitulah, timbul dalam pikiran saya, menjadikan merah-putih sebagai lambang yang hidup bagi himpunan mahasiswa kami, dalam bentuk lencana dari perhimpunan.” Ilham itu kelak disepakati dalam rapat Perhimpunan Indonesia dengan penambahan gambar kepala kerbau di tengah merah-putih. Ilham politik itu mengikutkan narasi mobil.

Dua kisah mobil dalam biografi Adam Malik dan Ahmad Soebardjo turut menentukan pengertian-pengertian kita tentang mobil dalam arus (sejarah) politik Indonesia. Kapitalisme perkebunan telah melahirkan elite. Kelas ini memaknai diri dalam bingkai ekonomi-politik di masa kolonialisme dengan mobil. Kita juga mendapati jejak-jejak historis perlambang merah-putih sebagai manifestasi nasionalisme saat Ahmad Soebardjo mendapati ilham di mobil Sultan Hamengku Buwono XVIII. Barangkali ini dua cerita kecil untuk Indonesia, meski jarang tercantum di buku besar sejarah. Mobil memang menandai lakon kolonialisme-kapitalisme dan modernitas, tapi bisa ditafsirkan dalam bingkai nasionalisme, “kemadjoean”, dan adab politik.

Mobil adalah juru bicara arus modernitas di Indonesia. Rudolf Mrazek (2006) mengabarkan ada 51.615 mobil di Hindia Belanda pada tahun 1938. Indonesia melaju dengan mobil. Angka ini lekas melonjak fantastis saat abad XXI diartikan sebagai “zaman mobil”. Jalan macet, dilema parkir, nafsu konsumerisme, arogansi politik, puja hedonisme seolah jadi narasi mobil di Indonesia. Mobil telah merepotkan Indonesia. Mobil telah mengangkut pengertian politik kotor karena mobil dijadikan ikon korupsi. Mobil juga telah mengisahkan keruntuhan etika publik dari kalangan elite dan parlemen. Para elite dan kaum borjuis mengoleksi mobil sebagai ritus hedonisme. Mobil adalah ironi Indonesia.

Semua lakon mobil itu mendapat imbuhan dari simbolisme politik mobil ala Joko Widodo. Mobil itu representasi adab politik. Joko Widodo hendak mengucapkan kebersahajaan dalam menjalankan amanah rakyat tanpa kegenitan dan kemewahan. Eksistensi diri sebagai pejabat diartikan sebagai acuan “meladeni” dan “mengerti”. Simbolisme mobil ala Joko Widodo pun mengejek ulah elite politik di Indonesia. Mobil-mobil mahal para elite politik adalah kemubaziran uang rakyat. Laju kencang mobil para pejabat di jalan adalah kesombongan dan teror politik. Semua ini ditampik oleh adab politik ala Joko Widodo. Mobil justru mengandung arti kebersahajaan, kepatutan, dedikasi, integritas demi misi meladeni rakyat. Begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar