Merayakan
Natal di Rumah Eyang
Lies Marcoes Natsir, EDITORIAL JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber
: JIL, 2 Januari 2012
“Saya membiarkan proses
pengenalan anak-anak saya pada agama lain melalui cara yang wajar seperti ini.
Saya tidak ingin membangun prasangka seperti saya mendapatkannya di waktu
kecil. Anak-anak saya tumbuh dalam komunitas yang plural dan terbuka. Mereka
akan memiliki pergaulan yang lebih luas dari saya. Menjadi terbuka dan toleran
sangatlah penting bagi mereka.”
Oleh sebuah peristiwa
politik saya dipertemukan dengan keluarga Crist Sumarto, seorang penganut
Katolik yang sangat taat. Bahkan saya pun seperti menjadi anak sulung dalam
keluarga itu karena adik-adik angkat saya berumur di bawah saya. Anak-anak saya
pun kemudian menjadi punya eyang yang berbeda agamanya dari kami sebagai
Muslim.
Ketika masih di TK,
Reza, anak sulung saya selalu menunggu saat Natal ke rumah Eyang karena dia
tahu ada hadiah Natal baginya di bawah pohon Natal di rumah Eyangnya. Demikian
juga Tasya dan Boris, anak-anakku. Sejak minggu lalu mereka sudah sangat
excited mau menginap di rumah eyangnya bersama saudara-saudara angkatnya yang
lain.
Sejak minggu lalu pula
anak-anak saya sibuk berdiskusi dengan saudara angkat mereka tentang dress code
di hari Natal. Sementara saya dan adik-adik berdiskusi soal makanan yang hendak
kita share.
Bagi anak-anak saya,
perayaan Natal menjadi bagian dari hari hari yang menyeangkan, berkumpul dan
bergembira. Makanan hanyalah salah satu alasan untuk datang. Tapi kebersamaan,
menunggu saat mendebarkan mendapatkan hadiah adri Eyangnya merupakan sesuatu
yang selalu mereka tunggu di Hari Natal.
Suami saya, lahir dan
tumbuh dalam keluarga Minang yang luar biasa terbuka. Sejak SD dia sekolah di
lembaga pendidikan Katolik. Mertua saya adalah lulusan dari Perguruan Islam
Tawalib Padang Panjang. Dalam hari –hari senggangnya dia sering membaca kitab
seperti Bidayatul Mujtahid , kitab perbandingan mazhab. Ketika saya tanyakan
mengapa anak-anaknay di sekolahkan di lembaga pendidikan Katolik dia mengatakan
bahwa pada saat itu sekolah katolik adalah lembaga pendidikan yang terbaik di
Bandar Lampung.
Lantas apakah suami saya,
atau anak-anak saya menjadi ”tertarik” dan lalu menyeberang? Sejauh ini
ternmyata tidak. Kami tak pernah ragu soal itu. Sebab bagi saya ini bukan
persoalan tarik menarik agama. Ini soal perayaan keluarga, waktu yang tepat
untu berbagai kebahagiaan dan tentu saja berdoa. Dulu ketika masih di IAIN saya
biasanya ikut dengan ayah dan ibu angkat saya ke gereja. Sekedar ingin tahu
karena kebetulan saya mengambil jurusan perbandingan Agama. Dalam bahasa
penelitian ini semacam pengamatan terlibat. Sementara anak-anak saya, sama
sekali tak ingin menggangu Eyang mereka ketika pergi ke gereja. Biasanya kami datang
setelah Eyang putri dan kakung pulang dari gereja.
Saya membiarkan proses
pengenalan anak-anak saya pada agama lain melalui cara yang wajar seperti ini.
Saya tidak ingin membangun prasangka seperti saya mendapatkannya di waktu
kecil. Anak-anak saya tumbuh dalam komunitas yang plural dan terbuka. Mereka
akan memiliki pergaulan yang lebih luas dari saya. Menjadi terbuka dan toleran
sangatlah penting bagi mereka.
Saya juga membiarkan ini
karena nuansa kegamaan yang menghidupkan spiritualitas dapat tumbuh melalui
media keagamaan apapun. Saya tak ingin rasa keagamaan anak-anak saya
terkerangkeng oleh pengalaman spiritualitas yang terbatas. Jika mereka dapat
merasakan keindahan Tuhan melalui perayaan agama lain, mengapa saya harus
menghalanginya? Ketika saya di IAIN saya sering berpetualang ke daerah daerah
untuk menyaksikan ritual keagamaan.
Saya menikmati malam 1 syura
di Mesjid Demak, atau melihat orang menghabiskan malam Jum’at di Gunung Kawi.
Lain waktu saya menikmati matahari terbit di Gunung Bromo setelah menyaksikan
warga Tengger merayakan Kasodo, dan saya menyaksikan orang datang berkunjung ke
Wihara Laksamana Ceng Ho di Semarang. Hingga saat ini di rumah kami saya paling
menyukai bau dupa dari wihara tua di Bogor dekat Kebun raya.
Saya dapat merasakan getaran halus di dalam batin tiap kali mendengar rapalan doa yang dibacakan oleh dukun kepala di Tengger ketika memimpin doa Kasodo. Hamparan pasir Gunung Bromo di malam 14 bulan ke 10 perhitungan Jawa bagi saya sangat menggetarkan. Mengapakah saya tak ikut mengamini jika doa itu menyatakan syukur atas karunia tanah yang subur tanpa bencana, kehidupan yang damai dan aman, serta karunia sehat wal afiat? Mengapakah tidak saya ikut mengangkat syukur ketika seorang dukun di sebuah perhelatan sederhana di pelataran Gunung Kawi yang mengankat doa bagi tamunya yang telah lulus test dan akan berangkat sekolah ke Amerika?
Saya dapat merasakan getaran halus di dalam batin tiap kali mendengar rapalan doa yang dibacakan oleh dukun kepala di Tengger ketika memimpin doa Kasodo. Hamparan pasir Gunung Bromo di malam 14 bulan ke 10 perhitungan Jawa bagi saya sangat menggetarkan. Mengapakah saya tak ikut mengamini jika doa itu menyatakan syukur atas karunia tanah yang subur tanpa bencana, kehidupan yang damai dan aman, serta karunia sehat wal afiat? Mengapakah tidak saya ikut mengangkat syukur ketika seorang dukun di sebuah perhelatan sederhana di pelataran Gunung Kawi yang mengankat doa bagi tamunya yang telah lulus test dan akan berangkat sekolah ke Amerika?
Perayaan Natal semakin
dekat, anak-anak saya saling mengirim berita di BBM, dress code perayaan tahun
ini adalah merah. Otak saya mengingat –ingat adalahakn saya punya baju
merah. Anak saya mengingatkan saya puny akain batik yang merah menyala hadiah
dari seorang teman. Nah saya pun bersama anak-anak akan berhari natal di rumah
orang tua angkat saya, keluarga C Sumarto. Selamat Natal! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar