LAPORAN
DISKUSI JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Talal
Asad dan Antropologi Sekularisme
Siswo Mulyartono, IMAM FORUM MAHASISWA CIPUTAT
Sumber
: JIL, 2 Januari 2012
Sekularisme adalah peristiwa historis yang
tertanam (embedded) dalam konteks historis tertentu, yakni Eropa Barat.
Pengalaman Barat mengenai sekularisasi tidak bisa dijadikan sebagai standar
universal untuk negeri-negeri lain. Oleh karena itu, sekularisme yang selama
ini kerap dipandang sebagai kategori universal harus ditelaah dalam konteksnya
yang spesifik di Eropa Barat. Inilah tugas antropologi sekularisme.
Demikianlah gagasan pokok Talal Asad yang
menjadi tema diskusi JIL pada Kamis 22 Desember 2011. Tampil sebagai pembicara
adalah Ihsan Ali Fauzi, dosen Universitas Paramadina dan Ulil Abshar Abdalla,
pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL). Ihsan menulis makalah berjudul “Talal
Asad tentang Sekularisme dan Islam.” Diskusi yang dihadiri sekitar 50 orang ini
berlangsung khusyuk di ruang Teater Utan Kayu, Jakarta Timur. Ini adalah forum
bulanan Jaringan Islam Liberal yang berlangsung sejak tahun 2001.
Ihsan memulai ceramahnya dengan mengulas
biografi singkat Asad. Asad, menurutnya, adalah figur yang dibesarkan
dalam keluarga yang unik: seorang ayah yang terkenal, intelektual, Yahudi
anti-Zionis, pindah ke Islam, seorang mufassir; dan seorang Ibu yang berasal
dari keturunan ningrat tapi bukan intelektual, seorang muslimah yang taat.
Talal Asad pada awalnya belajar arsitektur di
Universitas Edinburgh, kemudian pindah ke antropologi di Universitas Oxford;
membaca beragam arus pemikiran dalam Marxisme; mendirikan kelompok diskusi
“kiri” tentang Timur Tengah. Selain itu Talal Asad juga mengajar di sekolah
kiri di Amerika Serikat, New School of Social Research.
Ihsan mencoba mengulas geneologi sekularisme model Asad. Dalam teori Asad geneologi sekularisme bermula dari gagasan tentang “the secular”. Yang terakhir ini bisa dibedakan tapi tidak bisa dipisahkan dari “the religious”. Gagasan tentang “the secular” kemudian berkembang menjadi “secularism” dan “secularization”.
Ihsan mencoba mengulas geneologi sekularisme model Asad. Dalam teori Asad geneologi sekularisme bermula dari gagasan tentang “the secular”. Yang terakhir ini bisa dibedakan tapi tidak bisa dipisahkan dari “the religious”. Gagasan tentang “the secular” kemudian berkembang menjadi “secularism” dan “secularization”.
Bagi Asad, ada perbedaan yang cukup jelas
antara ”yang sekular” sebagai kategori epistemologis dan sekularisme sebagai
sebuah doktrin politik. Di sini, “yang sekular” secara konseptual mendahului
doktrin sekularisme, dan kemudian keduanya mendahului “sekularisasi” sebagai
sebuah proses historis yang terjadi dalam konteks yang unik.
Ihsan menegaskan bahwa “yang sekular” adalah
“a concept that brings togheter certain behaviors, knowledges and sensibilities
in modern life”. “Yang secular”, bagi Asad, “is neither continuous with
the religious that supposedly preceeded it,” tapi “nor a simple break from it”.
Ihsan juga menyingung karya Asad yang
berjudul Formations of the Secular , karya paling eksplisit yang membahas
sekularisme. Dalam buku itu Asad menulis: “In my view the secular is neither
singular in origin nor stable in its historical identity, although it works
through a series of particular oppositions.” Masih dalam karya itu, Asad juga
menegaskan “The ‘religious’ and the ‘secular’ are not essentially fixed
categories ”. Pada intinya, Asad mencoba menentang pelbagai bentuk oposisi
biner. Itu sebabnya dia memakai teori geneologi ala Michel Foucault untuk
menelaah sekularisme.
Bagi Ihsan, geneologi sekularisme yang
ditawarkan Asad, baik dalam buku Formations of the Secular atau yang lain,
sebenarnya tak beda jauh dengan telaah “konvensional” tentang sekularisme yang
ada saat ini. Sekularisme dilihat oleh Asad sebagai “a political doctrine
[that] arose in modern Euro-America”.
Sekularisme bisa jadi memiliki “beberapa
asal-usul,” tapi bagi Asad, cerita mengenai sekularisme yang paling umum
dimulai pada peperangan agama di ke-16. Sesudah peperangan agama itulah Dunia
Kristen Barat mengadopsi prinsip “cuis regio, eius religio” (siapa berkuasa di
suatu kawasan, maka agamanya adalah agama kawasan itu).
Prinsip “cuis regio, eius religio” merupakan
benih-benih awal pemisahan wilayah agama dan politik yang merefleksikan
sekularisasi. Dalam geneologi sekularisme model Asad, dunia Kristen Barat
(Eropa)dilihat sebagai titik-tolak berkembangnya bentuk-bentuk sekularisme
modern. Pada titik ini, menurut Ihsan, Asad memiliki kesamaan dengan Charles
Taylor.
Tapi penting untuk diingat, Asad sendiri
mengklaim bahwa di Dunia Kristen Eropa, “it was only gradually, through
continuous conflict, that many inequalities were eliminated and that secular
authority replaced one that was ecclesiastical”. Dalam diktum itu, menurut Ihsan,
kita bisa menangkap pesan Asad bahwa ada situasi di mana belakangan semakin
alamiah bahwa yang seharusnya berkuasa bukanlah kelompok agamawan tetapi
kelompok non-agamawan.
Meski demikian, tegas Ihsan, Asad masih terus
bertanya, Apakah “we are to understand that the ideological roots of modern
secularism lie in Christian universalism.” Poin penting dalam pertanyaan
ini adalah: karena asal-usul sekularisme yang berasal dari Eropa, maka kita
tidak bisa mengangkatnya menjadi pengalaman universal.
Sekularisme berakar serta tertanam dalam konteks tertentu. Inilah yang disebut historical embededness (ketertanaman historis) oleh Asad. Konsep ketertanaman historis menempati kedudukan penting dalam seluruh arsitektur gagasan Asad.
Sekularisme berakar serta tertanam dalam konteks tertentu. Inilah yang disebut historical embededness (ketertanaman historis) oleh Asad. Konsep ketertanaman historis menempati kedudukan penting dalam seluruh arsitektur gagasan Asad.
Dalam pandangan Asad, perubahan “the secular”
menjadi “secularism” terjadi pada momentum ketika berlangsung proses
“(secualarism is) an enactment by wich a political medium (representasion of
citizenship) redefines and transcends particular and differentiating practices
of the self that are articulated through class, gender and religion.”
Ini artinya, sekularisme mengasumsikan paham
tertentu tentang agama yang berkembang di kalangan Kristen Protestan, yakni
agama sebagai iman yang personal, pribadi. Dalam sekularisme, iman digambarkan
Asad sebagai “inner state rather than outward practice, and a particular
distribution of pain which tries to curb the ‘inhuman excesses of what it
identifies as religion.’”
Pada titik inilah, menurut Ihsan, Asad
memiliki pandangan yang berbeda dari Taylor. Taylor masih melihat sekularisme
sebagai kategori yang universal, dengan ciri-ciri tertentu yang bisa diterapkan
di seluruh dunia, termasuk di kawasan di luar Barat. Asad menyangkal ini.
Beda dengan Taylor, Asad melihat sekularisme
sebagai proyek modern yang didesakkan oleh pihak yang punya kuasa besar, yakni
negara. Dan dalam sejarahnya yang belakangan, sekularisme mencerminkan
“European wish to make the world in its own image”.
Sementara itu, pembicara kedua, Ulil Abshar
Abdalla, menyebut dua buku Asad sebagai sumber penting untuk memahami
gagasannya tentang “yang sekular” dan sekularisme, yakni Formations of the
Secular dan Geneologi es of Religion. Pada yang pertama Asad mengenalkan konsep
“the secular”. Sedangkan pada yang kedua Asad berbicara mengenai “the
religious”. Kedua buku itu, menurut Ulil, saling mengandaikan dan pada intinya
mencoba mempersoalkan definisi mengenai agama dalam kajian-kajian agama yang
ada dalam kesarjanaan Barat.
Bagi Ulil, Formations of the Secular
merupakan usaha Asad untuk menggali “the secular” dan proses pembentukan
sekularisme sebagai doktrin politik dari kacamata antropologi. Ada dua hal yang
disorot oleh Ulil. Yang pertama , ia membahas bagaimana Asad menerangkan gejala
“the secular”. Kedua, ia memberikan komentar kritis terhadap metode yang
dipakai oleh Asad. Ulil juga menyodorkan telaah kritis terhadap gagasan sarjana
lain yang sangat dipengaruhi oleh Asad, yakni Saba Mahmood, penulis The
Politics of Piety.
Ulil mengambil contoh kecil, tetapi cukup
penting, dalam gagasan Asad tentang terbentuknya “the secular”. Melalui contoh
kecil ini, akan terlihat bagaimana Asad menunjukkan proses yang cukup kompleks
yang meenyebabkan munculnya gejala “the secular”.
Contoh kecil itu menyakut gagasan yang
berkembang di Eropa tentang “kesakitan”(the pain). mengenalkan konsep Asad
mengenai “The pain” atau kesakitan. Dalam Eropa pra-sekularisasi, kesakitan
dipahami sebagai bagian yang wajar dalam modus beragama – pengaruh dari konsep
teologis kekristenan yang menempatkan peristiwa penyaliban Yesus sebagai fokus
keberagamaan. Penyaliban adalah proses menanggung rasa sakit.
Dalam Eropa yang sudah mengalami
sekularisasi, kesakitan dianggap sebagai bagian dari dunia agama masa lampau
yang tak rasional. Rasa sakit adalah irasionalitas. Sekularisasi adalah proses
pembebasan dari rasa sakit itu, untuk digantikan dengan pengalaman lain,
yaitu kenikmatan (pleasure). Jika dalam dunia Eropa pra-sekularisasi, rasa
sakit diglorifikasi, pada Eropa pasca-sekularisasi, rasa sakit dikutuk dan harus
dihilangkan.
Dalam sejarah Eropa, sekularisme terkait
dengan dua ide penting, yaitu penciptaan sejarah (history making). dan
pemberdayaan (empowerment). Apa yang disebut dengan penciptakan sejarah dan
pemberdayaan di sini ialah kemampuan untuk melepaskan diri dari rasa sakitdi
satu pihak, dan pencapaian kenikmatan di pihak lain.
Asad mengkritik konsep sekularisme sebagai
proses yang terkait dengan dua gagasan itu (penciptan sejarah dan
pemberdayaan). Konsep sekularisme semacam ini sangatlah khas Barat. Konsep
sakit adalah contoh yang baik. Konsepsi sekularisme yang memandang sakit
sebagai sumber ketidak-berdayaan (disempowerment) tidaklah tepat.
Di luar konteks Barat, rasa sakit tidak
selalu identik dengan hilangnya daya dan kemanmpuan atau agency. Rasa sakit
bisa juga menjadi sumber kelahiran kemampuan baru, seperti dalam pengalaman
“menyakiti diri sendiri” dalam perayaan memperingati terbununya Husein oleh
komunitas Syiah. Asad menyebut rasa sakit yang justru melahirkan kemampuan ini
sebagai “agentive pain”. Setelah merasakan sakit itu, komunitas Syiah
memperoleh kemampuan baru, yakni pengalaman keagamaan yang kian intensif,
misalnya.
Di ujunga ceramahnya, Ulil mengemukakan
kritik atas pemikiran Asad. Bagi dia, salah satu kelemahan analisis Asad ialah
dia kerap terjebak dalam gejala “orientalisme terbalik” (reverse orientalism).
Yakni, dia melihat dunia di luar Barat sebagai dunia yang secara otentik
berbeda dengan Barat. Analisis model Asad kadang dipakai oleh sejumlah sarjana
seperti Saba Mahmood untuk “mengejek” para pemikir reformis Muslim yang
dianggap hanya semata-mata membebek saja dunia Barat. Teori “agency” Asad yang
anti-herois kadang dipakai oleh simpatisan teori-teori Asad seperti Saba itu
untuk melihat para reformis Muslim tersebut sebagai para aktor yang tak
memiliki “agency” yang otentik, sebab mereka hanyalah “mimicry” atau tiruan
dari Barat.
Mengapa, tanya Ulil, “agency” yang otentik
hanyalah jenis “agency” yang melahirkan
“difference”atau perbedaan dengan
Barat? Kenapa aktor-aktor di dunia Islam harus dibatasi geraknya hanya dalam
aktivitas diskursif yang melahirkan perbedaan dengan Barat? Kenapa kesamaan
dengan Barat tidak bisa dianggap sebagai artikulasi “agency” yang otentik pula.
Kenapa kaum elit yang “membarat” (Westernizing elite, istilah yang dipakai
Asad), hanya semata-mata dipandang sebagai subyek yang pasif saja menerima
pengaruh dari Barat?
Bukankah mereka bisa juga melakukan
kontekstualisasi gagasan-gagasan yang berasal dari Barat dalam kerangka tradisi
Islam? Bukankah kegiatan kontekstualisasi ini adalah bentuk dari “keberdayaan”
atau agency?
Berbeda dengan Ulil, Priyo Pratama, peserta
diskusi, menekankan pentingnya memunculkan istilah baru yang lebih membumi
mengenai sekularisme. Priyo menginginkan suatu sekularisme yang diambil dari
khazanah local dan dimengerti masyarakat lokal.
Sementara Luthfi Assyaukanie menanggapi
karakter para antropolog dan sosiolog belakangan ini yang tidak mau menjawab
pertanyaan penting mengenai masa depan agama. Ini berbeda dengan teoretikus
sekularisasi sebelumnya yang justru berkutat pada pertanyaan itu.
Tanggapan yang hampir mirip datang dari
Saidiman Ahmad, moderator. Saidiman secara khusus meminta Ulil menerangkan
bagaimana para sosiolog dan antropolog agama berbicara tentang kebangkitan
agama tapi pada saat yang sama ada proses liberalisasi dalam gerakan Islam
politik, misalnya. Ini ditandai dengan fenomena mutakhir partai-partai Islamis
pemenang Pemilu di negara-negara Arab yang sedang bertransisi demokrasi saat
ini. “Jangan-jangan tesis Charles Taylor bahwa sekarang ini adalah masa sekuler
adalah benar,” tegas Saidiman.
Untuk pertanyaan-pertanyaan ini Ulil
mengemukakan kembali keyakinannya mengenai masa depan demokrasi di negara-negara
Arab, keyakinan yang sama sudah beberapa ia kemukakan pada kolom mingguan di www.islamlib.com. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar