Kenapa
Dunia Islam Terbelakang?
Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber
: JIL, 2 Januari 2012
Ada tiga penyakit mental yang dianggap oleh
Arsalan sebagai “biang kerok” kemunduran dunia Islam: pesimisme (tasya’um),
rendah diri (al-istikhdza’) dan cepat putus asa (inqitha’ al-amal). Pada
penutup bukunya, Arsalan mengutip ayat yang dalam pandangannya merupakan kunci
kebangkitan dunia Islam, yakni Al-Ankabut (29):69. Bunyi ayat itu: wa
‘l-ladzina jahadu fina lanahdiyannahum subulana – mereka yang berjuang (jihad)
di jalanKu, Aku akan menunjukkan mereka jalan-jalan menuju Aku.
Pertanyaan tentang kenapa dunia Islam
terbelakang sudah kerap dikemukakan sejak lama. Orang yang pertama kali
mengajukan pertanyaan ini adalah Amir Syakib Arsalan (1869-1946), seorang
aktivis, pemikir dan sastrawan dari Libanon yang terkenal karena bukunya yang
berjudul Limadza Ta’akhkhar al-Muslimun wa Limadza Taqaddama Ghairuhum? (Kenapa
Umat Islam Terbelakang, dan Kenapa Umat Lain Maju). Buku ini terbit pertama
kali sebagai sebuah artikel panjang di Majalah Al-Manar yang dipimpin oleh
Rashid Ridha di Mesir pada pada 1936. Belakangan, artikel itu diterbitkan
sebagai buku pada 1940 dengan kata pengantar oleh Rasyid Ridha.
Kisah bagaimana buku ini terbit menarik untuk
dituturkan di sini. Buku Arsalan itu ditulis sebagai respon terhadap pertanyaan
yang diajukan oleh seorang pembaca Majalah Al-Manar dari Jawa bernama Muhammad
Basuni Imran. Surat itu dikirim ke redaksi Al-Manar pada bulan Rabi’ al-Akhir
1248 H (1929 M).
Oleh Rashid Ridha pertanyaan itu kemudian
dikirim ke Syakib Arsalan. Yang terakhir ini langsung tergerak menuliskan jawaban.
Kebetulan saja, saat menerima surat pertanyaan dari tanah Jawa itu, ia baru
saja kembali dari perjalanan ke Andalusia, negeri yang dulu, selama kurang
lebih tujuh abad, berada di bawah kekuasaan Islam (711-1492), dan kemudian
direbut kembali oleh bangsa Kristen di Eropa dalam peristiwa yang dikenal
dengan “reconquista”. Kenangan akan hilangnya tanah Islam itu membuat Arsalan
sedih. Tepat pada saat itulah, ia menerima surat dari Jawa. Dalam waktu tiga
hari ia menyelesaikan bukunya itu.
Apa penjelasan Arsalan tentang kemunduran
dunia Islam? Ada dua. Pertama, dalam pandangan Arsalan, bangsa-bangsa
non-Muslim maju karena mereka tetap berpegang pada tradisi keagamaan mereka
sendiri. Arsalan menyebut dua contoh: Jepang dan Eropa, simbol kemajuan dunia
pada awal abad ke-20. Dua dunia itu maju tanpa harus mengabaikan tradisi
keagamaan mereka. Penjelasan kedua, bangsa-bangsa itu maju karena kerja keras
untuk meraih kemajuan, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan.
Dalam pandangan Arsalan, kemajuan
bangsa-bangsa Islam hanya bisa dicapai melalui jalan yang sama yang ditempuh
oleh bangsa-bangsa non-Islam, yakni berpegang pada tradisi, serta kerja keras.
Hukum kemajuan berlaku secara “konsisten” bagi bangsa Islam dan non-Islam. Ada
tiga penyakit mental yang dianggap oleh Arsalan sebagai “biang kerok”
kemunduran dunia Islam: pesimisme (tasya’um), rendah diri (al-istikhdza’) dan
cepat putus asa (inqitha’ al-amal). Pada penutup bukunya, Arsalan mengutip ayat
yang dalam pandangannya merupakan kunci kebangkitan dunia Islam, yakni
Al-Ankabut (29):69. Bunyi ayat itu: wa ‘l-ladzina jahadu fina lanahdiyannahum
subulana – mereka yang berjuang (jihad) di jalanKu, Aku akan menunjukkan mereka
jalan-jalan menuju Aku.
“Jihad” adalah kata kunci yang disebut oleh Arsalan. Tetapi, ini bukanlah jihad dalam pengertian “perang suci” sebagaimana kita jumpai pada kelompok Islam garis keras. Baginya, jihad adalah kerja keras dan kesediaan untuk melakukan pengorbanan (al-tadlkhiyah).
“Jihad” adalah kata kunci yang disebut oleh Arsalan. Tetapi, ini bukanlah jihad dalam pengertian “perang suci” sebagaimana kita jumpai pada kelompok Islam garis keras. Baginya, jihad adalah kerja keras dan kesediaan untuk melakukan pengorbanan (al-tadlkhiyah).
Jawaban Arsalan, di mata kita sekarang,
mungkin terasa sederhana dan simplistik. Tetapi, ada pengamatannya yang cukup
tajam dan, saya kira, masih relevan hingga saat ini. Gagasannya bahwa kemajuan
harus bertopang pada tradisi, bukan malah memusuhinya, saya kira senada dengan
pandangan yang dikemukakan oleh banyak ilmuwan sosial pada abad ke-20.
Robert Wuthnow, seorang profesor sosiologi
dari Universitas Princeton, misalnya, mengemukakan tentang pentingnya peran
“community of discourse” dalam tiga perubahan penting di Eropa: Reformasi
Protestan, Pencerahan, dan Revolusi Sosialis. Apa yang oleh Wuthnow disebut
sebagai “komunitas wacana” adalah suatu arena perdebatan, di mana tradisi dan
kekinian saling berdialog. Unsur tradisi sangatlah penting di sana. Suatu
komunitas wacana menjadi kurang bermakna tanpa suatu tradisi yang melatarinya.
Apa yang dikemukakan oleh Wuthnow menggaungkan sebagian apa yang telah
dikemukakan oleh Arsalan sebelumnya, tentang pentingnya konteks tradisi dalam
mencapai suatu kemajuan.
Pertanyaan tentang alasan kemunduran dunia
Islam terus bertahan hingga saat ini. Sebuah tulisan pendek yang cukup
provokatif yang ditulis oleh seorang penulis Pakistan, Dr. Farrukh Saleem,
menarik untuk kita simak sejenak. Judul artikel itu “Why are Jews so powerful
and Muslim so powerless?”, dimuat di situs Blitz yang didirikan oleh Salah
Uddin Shoaib Choudhury, seorang wartawan Bangladesh yang mendedikasikan diri
untuk melawan ideologi kaum Jihadis Muslim. Dalam artikelnya itu, Saleem
mengemukakan sejumlah data yang menarik (validitas data-data ini bisa saja diperdebatkan).
Inilah sejumlah data perbandingan yang
dikemukakan oleh Saleem. Jumlah bangsa Yahudi di seluruh dunia saat ini adalah
14 juta. Sementara jumlah umat Islam adalah 1,4 milyar. Tetapi, keunggulan
numerik umat Islam ini tak berkorelasi dengan prestasi mereka dalam, misalnya,
bidang ilmu pengetahuan dan ekonomi. Selama 105 tahun sejarah hadiah Nobel,
sebanyak 180 Hadiah Nobel telah dimenangkan oleh bangsa Yahudi. Sementara, dari
1,4 milyar umat Islam, baru ada tiga ilmuwan/sastrawan Muslim yang memenangkan
hadiah tersebut (di luar Hadiah Nobel di bidang perdamaian).
Salah satu pemenangnya ialah Prof. Abdus
Salam dari Pakistan. Ia memenangkan Hadiah Nobel di bidang fisika pada 1979.
Yang sangat ironis, di negerinya sendiri, Abdus Salam tak diakui sebagai
seorang Muslim, karena ia pengikut kelompok Ahmadiyah.
Data lain yang dikemukakan Saleem: Jumlah
seluruh universitas di 57 negeri Muslim yang menjadi anggota Organisasi
Konferensi Islam (OIC/OKI) hanyalah sekitar 500. Sementara di Amerika Serikat
saja, terdapat 5.748 universitas. Di India, negeri dari mana Pakistan
memisahkan diri, ada 8.407 universitas. Perbandingan ini memang sangat
fantastis karena begitu “njomplang”.
Melihat perbandingan semacam ini, sangat
jelas di mana letak masalah yang dihadapai oleh dunia Islam, yaitu kemerosotan
pendidikan dan etos saintifik. Ini tentu menyedihkan mengingat sejarah masa
lampau Islam yang dikenal sebagai pembangun kebudayaan ilmu pengetahuan. Salah
satu cari utama peradaban Islam, menurut seorang orientalis terkenal Franz
Rosenthal, ialah ia merupakan peradaban pengetahuan (bisa dibaca dalam bukunya
yang berjudul Knowledge Triumphant [1970]).
Kunci kemajuan Islam di masa depan, menurut
Saleem, ia harus mengejar ketertinggalan yang cukup jauh di bidang pendidikan
dan riset. Saya kira, pengamatan Saleem ini sangatlah tepat. Jika kita kembali
kepada gagasan Arsalan sebelumnya, yang dibutuhkan oleh bangsa-bangsa Islam
saat ini adalah “jihad”, bukan dalam pengertian yang dipahami oleh kalangan
Islam garis keras; melainkan jihad intelektual, yakni kerja keras untuk meraih
kemajuan di bidang pengetahuan.
Itulah jalan kemajuan bagi dunia Islam di
masa depan. ●
mudah-mudahan impian kaum muslimin akan kemajuan islam dapat terwujud
BalasHapussekedar materi refensi tambahan
http://www.islamnyamuslim.com/2012/07/alasan-mengapa-kaum-muslimin-pada.html