Memantapkan
Konsolidasi Demokrasi
Irman Gusman, KETUA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA (DPD RI)
Sumber
: SINDO, 5 Januari 2012
Tulisan Wakil Ketua MPR RI
Hajriyanto Thohari, Kembali ke Konstitusi, yang terbit kemarin (4 Januari 2012)
di koran ini menarik untuk didiskusikan. Dalam tulisan itu,Hajriyanto membangun
argumen bahwa salah satu sumber dari berbagai persoalan bangsa ini adalah
kurangnya pendekatan konstitusi dalam praktik penyelenggaraan negara.
Tentu saja hal ini sejalan dengan pemikiran
DPD RI.Konstitusi harus senantiasa menjadi ruh dari semua aktivitas kehidupan
berbangsa dan bernegara. Karena itu, salah satu agenda yang cukup penting yang
akan didorong oleh DPD RI pada 2012 ini adalah amendemen UUD 1945. Pada
refleksi akhir 2011 DPD RI telah mewacanakan agenda ini sebagai salah satu
agenda penting.
Pada akhir 2011 melalui kelompok DPD di MPR RI, DPD RI menyelenggarakan Sarasehan Nasional dengan tema “Perubahan Kelima UUD 1945: Konsolidasi Demokrasi dan Jati Diri Bangsa” di Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen Senayan. Tujuannya untuk mendiskusikan signifikansi amendemen kelima UUD 1945 terhadap pemantapan konsolidasi demokrasi dan jati diri bangsa yang juga menghadirkan pimpinan MPR RI.
Sebagai bangsa yang memiliki jati diri Pancasila, kita memerlukan suatu landasan konstitusi yang kuat, terbuka pada perubahan dan kepentingan masyarakat yang berkembang. Tahun 2012 harus menjadi tahun konsolidasi demokrasi. Demokrasi harus diperkuat untuk kesejahteraan dan keadilan masyarakat, bukan sekadar hal-ikhwal prosedural.
Secara generik,demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Alat ukurnya sederhana: kedaulatan ada di tangan rakyat.Sejak empat kali amendemen UUD 1945 yang dilakukan MPR RI pada 1999, 2000, 2001, dan 2002, format sistem ketatanegaraan telah mengalami perubahan. Supremasi MPR berubah menjadi supremasi konstitusi. Kedaulatan sudah dikembalikan ke tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UU. Begitulah penegasan UUD 1945.
Hubungan antarlembaga negara juga berada dalam posisi yang sejajar dan seimbang. Tidak ada lembaga negara yang lebih tinggi dari lembaga negara yang lain. Presiden, MPR,DPR,DPD,MK,MA,KY, dan BPK merupakan lembagalembaga negara yang memiliki kewenangan yang berbeda, namun berada pada posisi yang sama-sama sejajar. Mekanisme check and balances antara cabang-cabang kekuasaan lembaga negara sudah semakin jelas meskipun pembagian kewenangan belum berimbang antara DPR dan DPD.
Meskipun begitu,sejak DPD RI hadir pada 2004 hasil amendemen ketiga UUD 1945 pada November 2001, banyak pertimbangan, pengawasan, dan kebijakan legislatif yang menggunakan pertimbangan kepentingan daerah. Artinya, proses demokratisasi sejak 1998 telah turut mendorong proses pelembagaan nilai-nilai demokrasi yang berbasis pada nilai-nilai universal seperti persamaan kedudukan di depan hukum, pelaksanaan pemilihan umum yang bebas dan demokratis,
pengakuan atas hak-hak sipil (kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, kebebasan beragama, dan kebebasan pers), terbukanya partisipasi politik, adanya checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan negara, serta pengawasan legislatif atas kekuasaan eksekutif. Pertanyaannya: apakah proses pelembagaan nilai-nilai demokrasi tersebut telah memperkuat sistem demokrasi yang kita anut?
Sebuah majalah ekonomi yang cukup bergengsi, Economist, merilis Global Democracy Index 2011 untuk mengukur derajat kualitas kehidupan demokrasi di 167 negara. Dari indeks itu, Indonesia menempati peringkat ke- 60 dengan skor 6,53 dengan kategori flawed democracy.Indeks ini lebih rendah dari Afrika Selatan di posisi ke-30, Slovenia di posisi ke-32,Estonia di rankingke-33,Taiwan di urutan ke-36, India di urutan ke-40,
Thailand posisi ke-57, Papua Nugini posisi ke-59, dan bahkan dari sebuah negara baru Timor Leste di urutan ke-42. Kesimpulan apa yang bisa kita tarik dari indeks tersebut? Tentu indeks ini mengindikasikan bahwa terdapat kelemahan implementasi nilai-nilai demokrasi jika diukur dari lima variabel yang digunakan Economist yakni pluralisme dan proses pemilihan umum,fungsi pemerintahan, kebebasan sipil, partisipasi politik, dan budaya politik.Meskipun Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, pada aspek implementasi nilai-nilai demokrasi kita masih dinilai cukup lemah.
Amendemen Kelima UUD 1945
Berkaca dari indeks di atas, kita memerlukan upaya untuk memantapkan konsolidasi demokrasi. Menurut seorang ahli demokrasi, Larry Diamond, esensi konsolidasi demokrasi adalah terbentuknya suatu perilaku dan sikap,baik di tingkat elite maupun massa, yang mencakup dan bertolak pada metode dan prinsip-prinsip demokrasi. Konsolidasi demokrasi terlihat pula dari proses pelembagaan nilai-nilai demokrasi di tingkat institusi negara.
Dalam pengertian itulah, kami mencoba meletakkan wacana amendemen UUD 1945 sebagai bagian penting dari upaya penguatan konsolidasi demokrasi.Konsolidasi demokrasi tentu saja membutuhkan konstitusi yang kuat, demokratis, dan terbuka pada ideide perubahan. Bukankah selama era otoritarian Orde Lama dan Orde Baru terjadi sakralisasi terhadap UUD 1945? Konstitusi seolah-olah barang keramat yang tidak bisa dibicarakan apalagi disentuh untuk diubah.
Konstitusi dimistiskan. Saat itu konstitusi sebelum amendemen sangat terbuka pada praktik-praktik otoritarian. Kini setelah diamendemen empat kali, muncul gagasan agar UUD 1945 disempurnakan. Tentu salah satu isu yang penting adalah penguatan peran DPD RI sebagai kamar kedua dalam rumpun lembaga legislatif, selain penguatan sistem presidensial, otonomi daerah, pemilahan pemilu nasional dan pemilu lokal, optimalisasi peran Mahkamah Konstitusi, penambahan pasal tentang HAM,
lima komisi negara independen, penajaman bab pendidikan dan perekonomian. Dari hasil survei, masyarakat mendukung penguatan peran DPD RI. Survei terbaru yang dilakukan Reform Institute pada November 2011 di 33 provinsi menyatakan, mayoritas responden 60,9% setuju RUU yang terkait dengan daerah harus mendapat persetujuan DPD RI sebagai lembaga perwakilan masyarakat daerah.
Begitu juga 69,6% responden juga setuju apabila DPD turut serta dalam mengawasi jalannya pemerintah pusat di daerah. Nah, untuk memperkuat kedua peran itu, peran DPD RI harus dimaksimalkan sebagai penyeimbang DPR untuk checks and balances sebagai bagian dari penguatan fungsi representasi politik.
Lalu kenapa kita mesti ragu untuk mengamendemen UUD 1945? Bukankah itu sama artinya kita membiarkan proses konsolidasi demokrasi menjadi lambat? Tulisan Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Thohari,seperti yang dikutip di awal tulisan ini,menjadi sangat relevan. Kita harus kembali ke konstitusi dan tentu saja konstitusi juga harus disempurnakan agar senantiasa sesuai spirit zaman. ●
Pada akhir 2011 melalui kelompok DPD di MPR RI, DPD RI menyelenggarakan Sarasehan Nasional dengan tema “Perubahan Kelima UUD 1945: Konsolidasi Demokrasi dan Jati Diri Bangsa” di Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen Senayan. Tujuannya untuk mendiskusikan signifikansi amendemen kelima UUD 1945 terhadap pemantapan konsolidasi demokrasi dan jati diri bangsa yang juga menghadirkan pimpinan MPR RI.
Sebagai bangsa yang memiliki jati diri Pancasila, kita memerlukan suatu landasan konstitusi yang kuat, terbuka pada perubahan dan kepentingan masyarakat yang berkembang. Tahun 2012 harus menjadi tahun konsolidasi demokrasi. Demokrasi harus diperkuat untuk kesejahteraan dan keadilan masyarakat, bukan sekadar hal-ikhwal prosedural.
Secara generik,demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Alat ukurnya sederhana: kedaulatan ada di tangan rakyat.Sejak empat kali amendemen UUD 1945 yang dilakukan MPR RI pada 1999, 2000, 2001, dan 2002, format sistem ketatanegaraan telah mengalami perubahan. Supremasi MPR berubah menjadi supremasi konstitusi. Kedaulatan sudah dikembalikan ke tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UU. Begitulah penegasan UUD 1945.
Hubungan antarlembaga negara juga berada dalam posisi yang sejajar dan seimbang. Tidak ada lembaga negara yang lebih tinggi dari lembaga negara yang lain. Presiden, MPR,DPR,DPD,MK,MA,KY, dan BPK merupakan lembagalembaga negara yang memiliki kewenangan yang berbeda, namun berada pada posisi yang sama-sama sejajar. Mekanisme check and balances antara cabang-cabang kekuasaan lembaga negara sudah semakin jelas meskipun pembagian kewenangan belum berimbang antara DPR dan DPD.
Meskipun begitu,sejak DPD RI hadir pada 2004 hasil amendemen ketiga UUD 1945 pada November 2001, banyak pertimbangan, pengawasan, dan kebijakan legislatif yang menggunakan pertimbangan kepentingan daerah. Artinya, proses demokratisasi sejak 1998 telah turut mendorong proses pelembagaan nilai-nilai demokrasi yang berbasis pada nilai-nilai universal seperti persamaan kedudukan di depan hukum, pelaksanaan pemilihan umum yang bebas dan demokratis,
pengakuan atas hak-hak sipil (kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, kebebasan beragama, dan kebebasan pers), terbukanya partisipasi politik, adanya checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan negara, serta pengawasan legislatif atas kekuasaan eksekutif. Pertanyaannya: apakah proses pelembagaan nilai-nilai demokrasi tersebut telah memperkuat sistem demokrasi yang kita anut?
Sebuah majalah ekonomi yang cukup bergengsi, Economist, merilis Global Democracy Index 2011 untuk mengukur derajat kualitas kehidupan demokrasi di 167 negara. Dari indeks itu, Indonesia menempati peringkat ke- 60 dengan skor 6,53 dengan kategori flawed democracy.Indeks ini lebih rendah dari Afrika Selatan di posisi ke-30, Slovenia di posisi ke-32,Estonia di rankingke-33,Taiwan di urutan ke-36, India di urutan ke-40,
Thailand posisi ke-57, Papua Nugini posisi ke-59, dan bahkan dari sebuah negara baru Timor Leste di urutan ke-42. Kesimpulan apa yang bisa kita tarik dari indeks tersebut? Tentu indeks ini mengindikasikan bahwa terdapat kelemahan implementasi nilai-nilai demokrasi jika diukur dari lima variabel yang digunakan Economist yakni pluralisme dan proses pemilihan umum,fungsi pemerintahan, kebebasan sipil, partisipasi politik, dan budaya politik.Meskipun Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, pada aspek implementasi nilai-nilai demokrasi kita masih dinilai cukup lemah.
Amendemen Kelima UUD 1945
Berkaca dari indeks di atas, kita memerlukan upaya untuk memantapkan konsolidasi demokrasi. Menurut seorang ahli demokrasi, Larry Diamond, esensi konsolidasi demokrasi adalah terbentuknya suatu perilaku dan sikap,baik di tingkat elite maupun massa, yang mencakup dan bertolak pada metode dan prinsip-prinsip demokrasi. Konsolidasi demokrasi terlihat pula dari proses pelembagaan nilai-nilai demokrasi di tingkat institusi negara.
Dalam pengertian itulah, kami mencoba meletakkan wacana amendemen UUD 1945 sebagai bagian penting dari upaya penguatan konsolidasi demokrasi.Konsolidasi demokrasi tentu saja membutuhkan konstitusi yang kuat, demokratis, dan terbuka pada ideide perubahan. Bukankah selama era otoritarian Orde Lama dan Orde Baru terjadi sakralisasi terhadap UUD 1945? Konstitusi seolah-olah barang keramat yang tidak bisa dibicarakan apalagi disentuh untuk diubah.
Konstitusi dimistiskan. Saat itu konstitusi sebelum amendemen sangat terbuka pada praktik-praktik otoritarian. Kini setelah diamendemen empat kali, muncul gagasan agar UUD 1945 disempurnakan. Tentu salah satu isu yang penting adalah penguatan peran DPD RI sebagai kamar kedua dalam rumpun lembaga legislatif, selain penguatan sistem presidensial, otonomi daerah, pemilahan pemilu nasional dan pemilu lokal, optimalisasi peran Mahkamah Konstitusi, penambahan pasal tentang HAM,
lima komisi negara independen, penajaman bab pendidikan dan perekonomian. Dari hasil survei, masyarakat mendukung penguatan peran DPD RI. Survei terbaru yang dilakukan Reform Institute pada November 2011 di 33 provinsi menyatakan, mayoritas responden 60,9% setuju RUU yang terkait dengan daerah harus mendapat persetujuan DPD RI sebagai lembaga perwakilan masyarakat daerah.
Begitu juga 69,6% responden juga setuju apabila DPD turut serta dalam mengawasi jalannya pemerintah pusat di daerah. Nah, untuk memperkuat kedua peran itu, peran DPD RI harus dimaksimalkan sebagai penyeimbang DPR untuk checks and balances sebagai bagian dari penguatan fungsi representasi politik.
Lalu kenapa kita mesti ragu untuk mengamendemen UUD 1945? Bukankah itu sama artinya kita membiarkan proses konsolidasi demokrasi menjadi lambat? Tulisan Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Thohari,seperti yang dikutip di awal tulisan ini,menjadi sangat relevan. Kita harus kembali ke konstitusi dan tentu saja konstitusi juga harus disempurnakan agar senantiasa sesuai spirit zaman. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar