Memperkecil
Ruang Gerak Mafia Anggaran
Makmun Syadullah, PENELITI UTAMA BADAN KEBIJAKAN FISKAL, KEMENTERIAN KEUANGAN
Sumber
: SUARA KARYA, 5 Januari 2012
Meski pemberantasan korupsi terus digalakkan, korupsi bukannya
semakin surut, sebaliknya semakin menjadi-jadi di negeri ini. Dalam beberapa
bulan terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disibukkan dengan berbagai
temuan kosupsi. Di antara berbagai temuan tersebut yang cukup menarik adalah
kasus suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Kasus ini dianggap
menarik karena diduga melibatkan berbagai pihak seperti kementerian keuangan
(kemenkeu), bahkan KPK pun telah memeriksa Menteri Keuangan (Menkeu) karena
turut menandatangani pengesahan anggaran senilai Rp 500 miliar untuk program
percepatan pembangunan infrastruktur daerah transmigrasi.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
(Fitra) Yuna Farhan menduga bahwa mafia anggaran bukan hanya diduga berada di
Badan Anggaran (Banggar) DPR, tetapi juga di lingkungan Kemenkeu. Hal senada
ditegaskan Ketua Koalisi Antiutang, Dany Setiawan, bahwa perumusan dan
kebijakan anggaran bukan hanya wewenang DPR, namun juga Kemenkeu. Bahkan,
Kemenkeu yang memiliki otoritas besar mengalokasikan penggunaan anggaran
kementerian dan lembaga negara. Dany juga menilai bahwa mafia anggaran di
Banggar DPR bermain untuk partainya dan kepentingan pribadinya sebagai seorang
politikus. Sementara itu, mafia anggaran di kementerian bekerja untuk menteri
yang membawahinya.
Pandangan Fitra dan Koalisi Antiutang yang cenderung tendinsius di
atas sangat menarik. Mungkin saja sebagian pandangan tersebut ada benarnya,
meski belum tentu secara keseluruhan benar. Pandangan ini seolah membuktikan
tesis yang diajukan oleh Lord Acton, bahwa kekuasan berkorelasi positif dengan
korupsi.
Tentu perlu pembuktian, apakah benar mafia anggaran selalu bekerja
untuk atasannya atau jangan-jangan sebaliknya yang terjadi, mereka bekerja
untuk memperkaya diri sendiri dan melempar tanggung jawabnya kepada atasannya.
Jawaban atas pertanyaan di atas dapat dirunut dari tahapan dalam penyusunan
anggaran.
Secara singkat, tahapan dalam proses penyusunan Anggaran Pendaptan
dan Belanja Negara (APBN) diatur dalam PP Nomor 21 Tahun 2004 tentang
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/ Lembaga (RKA-KL). Tahap
pertama, siklus penyusunan APBN dimulai dari Kementerian Keuangan dan
Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas yang melakukan penyusunan dan
perencanaan besaran pagu indikatif baik anggaran K/L maupun non-K/L. Proses
perencanaan penganggaran APBN dimulai dengan melakukan monitoring kegiatan
tahun berjalan yang digunakan sebagai angka dasar bagi perencanaan tahun
selanjutnya, dan perencanaan jangka menengah.
Dalam tahap ini kemungkinan mafia
anggaran mulai beroperasi kecil, karena proyek-proyek APBN belum dibahas. Tahap
kedua, setelah pagu indikatif ditetapkan, K/L menyusun rencana kerja.
Penyusunan rancangan rencana kerja ini berpedoman pada rencana kerja
pemerintah, rencana strategis K/L, dan pagu indikatif. Dengan keterbatasan
sumber daya yang tersedia, K/L harus menyusun program dan kegiatan berdasarkan
prioritas. K/L menyusun rencana kerja secara berjenjang sampai pada tingkat
satuan kerja, sehingga masing-masing satuan kerja dapat menentukan kegiatan
yang akan dilaksanakan disertai indikator kinerja atas keluaran yang akan
dihasilkan.
Tahap ketiga, pemerintah menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal
dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya ke DPR. Berdasarkan
kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, pemerintah
bersama-sama DPR membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran. Dengan hasil
pembahasan kebijakan umum dan prioritas anggaran serta mempertimbangkan
indikator kerangka ekonomi makro, Menteri Keuangan menetapkan Surat Edaran
tentang pagu sementara yang kemudian digunakan K/L untuk menyusun Rencana Kerja
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA-KL).
Dalam tahapan kedua dan ketiga
ini ada kemungkinan mafia anggaran mulai bekerja dengan cara menawarkan
kegiatan yang menjadi prioritas kepada para pengusaha dengan mengharapkan
sejumlah imbalan.
Tahap keempat, RKA yang disusun K/L disampaikan dan dibahas dengan
DPR. Hasilnya disampaikan kepada Menteri Keuangan dan Kementerian PPN/Bappenas.
Setelah dilakukan telaah oleh PPN/Bappenas dan Kemenkeu, pemerintah mengajukan
nota keuangan dan RAPBN beserta RUU APBN dan himpunan RKA-K/L kepada DPR untuk
dibahas bersama guna memperoleh persetujuan. Pada tahap inilah kemungkinan
besar para mafia anggaran kembali bekerja keras mendekati Banggar DPR untuk menggolkan
kegiatan yang sudah dirancang dengan para pengusaha.
Berdasarkan inilah kemungkinan ada benarnya, bahwa mafia anggaran
bukan hanya diduga berada di Badan Anggaran (Banggar) DPR, tetapi juga di
lingkungan Kemenkeu. Namun, dugaan bahwa Menkeu mengetahui praktik mafia
anggaran sangat kecil, mengingat peran DPR dalam menentukan penggunaan pos
anggaran dalam proses pembahasan anggaran, jauh lebih besar. Dengan kekuasaanya
yang semakin besar ini, DPR kemungkinan besar bisa menyalahgunakan wewenangnya.
Pandangan di atas dapat dibuktikan dengan respon negatif ketika
KPK memanggil para pimpinan Banggar untuk mendapatkan informasi dan klarifikasi
terkait dugaan korupsi yang dilakukan jaringan pengusaha, birokrasi
pemerintahan (khususnya di Kemenpora dan Kemenakertrans), serta oknum di
Banggar DPR yang secara mengejutkan menghentikan pembahasan RAP BN 2012 bersama
pemerintah. Bila DPR memang telah bekerja dengan benar, kenapa harus takut
dengan KPK?
Berdasarkan proses penyusunan anggaran dan kemungkinan terjadinya
penyelewengan, mafia anggaran dapat diperkecil ruang geraknya melalui
pengawasan yang ketat pada saat penentuan kegiatan K/L. Sedangkan untuk
memperkecil kolusi dengan DPR, sebaiknya kewenangan DPR diperkecil, karena
kewenangan yang terlalu besar berpotensi membuka peluang korupsi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar