Kamis, 05 Januari 2012

Memperkecil Ruang Gerak Mafia Anggaran

Memperkecil Ruang Gerak Mafia Anggaran
Makmun Syadullah, PENELITI UTAMA BADAN KEBIJAKAN FISKAL, KEMENTERIAN KEUANGAN
Sumber : SUARA KARYA, 5 Januari 2012


Meski pemberantasan korupsi terus digalakkan, korupsi bukannya semakin surut, sebaliknya semakin menjadi-jadi di negeri ini. Dalam beberapa bulan terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disibukkan dengan berbagai temuan kosupsi. Di antara berbagai temuan tersebut yang cukup menarik adalah kasus suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Kasus ini dianggap menarik karena diduga melibatkan berbagai pihak seperti kementerian keuangan (kemenkeu), bahkan KPK pun telah memeriksa Menteri Keuangan (Menkeu) karena turut menandatangani pengesahan anggaran senilai Rp 500 miliar untuk program percepatan pembangunan infrastruktur daerah transmigrasi.

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan menduga bahwa mafia anggaran bukan hanya diduga berada di Badan Anggaran (Banggar) DPR, tetapi juga di lingkungan Kemenkeu. Hal senada ditegaskan Ketua Koalisi Antiutang, Dany Setiawan, bahwa perumusan dan kebijakan anggaran bukan hanya wewenang DPR, namun juga Kemenkeu. Bahkan, Kemenkeu yang memiliki otoritas besar mengalokasikan penggunaan anggaran kementerian dan lembaga negara. Dany juga menilai bahwa mafia anggaran di Banggar DPR bermain untuk partainya dan kepentingan pribadinya sebagai seorang politikus. Sementara itu, mafia anggaran di kementerian bekerja untuk menteri yang membawahinya.

Pandangan Fitra dan Koalisi Antiutang yang cenderung tendinsius di atas sangat menarik. Mungkin saja sebagian pandangan tersebut ada benarnya, meski belum tentu secara keseluruhan benar. Pandangan ini seolah membuktikan tesis yang diajukan oleh Lord Acton, bahwa kekuasan berkorelasi positif dengan korupsi.

Tentu perlu pembuktian, apakah benar mafia anggaran selalu bekerja untuk atasannya atau jangan-jangan sebaliknya yang terjadi, mereka bekerja untuk memperkaya diri sendiri dan melempar tanggung jawabnya kepada atasannya. Jawaban atas pertanyaan di atas dapat dirunut dari tahapan dalam penyusunan anggaran.

Secara singkat, tahapan dalam proses penyusunan Anggaran Pendaptan dan Belanja Negara (APBN) diatur dalam PP Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/ Lembaga (RKA-KL). Tahap pertama, siklus penyusunan APBN dimulai dari Kementerian Keuangan dan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas yang melakukan penyusunan dan perencanaan besaran pagu indikatif baik anggaran K/L maupun non-K/L. Proses perencanaan penganggaran APBN dimulai dengan melakukan monitoring kegiatan tahun berjalan yang digunakan sebagai angka dasar bagi perencanaan tahun selanjutnya, dan perencanaan jangka menengah. 

Dalam tahap ini kemungkinan mafia anggaran mulai beroperasi kecil, karena proyek-proyek APBN belum dibahas. Tahap kedua, setelah pagu indikatif ditetapkan, K/L menyusun rencana kerja. Penyusunan rancangan rencana kerja ini berpedoman pada rencana kerja pemerintah, rencana strategis K/L, dan pagu indikatif. Dengan keterbatasan sumber daya yang tersedia, K/L harus menyusun program dan kegiatan berdasarkan prioritas. K/L menyusun rencana kerja secara berjenjang sampai pada tingkat satuan kerja, sehingga masing-masing satuan kerja dapat menentukan kegiatan yang akan dilaksanakan disertai indikator kinerja atas keluaran yang akan dihasilkan.

Tahap ketiga, pemerintah menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya ke DPR. Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, pemerintah bersama-sama DPR membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran. Dengan hasil pembahasan kebijakan umum dan prioritas anggaran serta mempertimbangkan indikator kerangka ekonomi makro, Menteri Keuangan menetapkan Surat Edaran tentang pagu sementara yang kemudian digunakan K/L untuk menyusun Rencana Kerja Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA-KL). 
Dalam tahapan kedua dan ketiga ini ada kemungkinan mafia anggaran mulai bekerja dengan cara menawarkan kegiatan yang menjadi prioritas kepada para pengusaha dengan mengharapkan sejumlah imbalan.

Tahap keempat, RKA yang disusun K/L disampaikan dan dibahas dengan DPR. Hasilnya disampaikan kepada Menteri Keuangan dan Kementerian PPN/Bappenas. Setelah dilakukan telaah oleh PPN/Bappenas dan Kemenkeu, pemerintah mengajukan nota keuangan dan RAPBN beserta RUU APBN dan himpunan RKA-K/L kepada DPR untuk dibahas bersama guna memperoleh persetujuan. Pada tahap inilah kemungkinan besar para mafia anggaran kembali bekerja keras mendekati Banggar DPR untuk menggolkan kegiatan yang sudah dirancang dengan para pengusaha.

Berdasarkan inilah kemungkinan ada benarnya, bahwa mafia anggaran bukan hanya diduga berada di Badan Anggaran (Banggar) DPR, tetapi juga di lingkungan Kemenkeu. Namun, dugaan bahwa Menkeu mengetahui praktik mafia anggaran sangat kecil, mengingat peran DPR dalam menentukan penggunaan pos anggaran dalam proses pembahasan anggaran, jauh lebih besar. Dengan kekuasaanya yang semakin besar ini, DPR kemungkinan besar bisa menyalahgunakan wewenangnya.

Pandangan di atas dapat dibuktikan dengan respon negatif ketika KPK memanggil para pimpinan Banggar untuk mendapatkan informasi dan klarifikasi terkait dugaan korupsi yang dilakukan jaringan pengusaha, birokrasi pemerintahan (khususnya di Kemenpora dan Kemenakertrans), serta oknum di Banggar DPR yang secara mengejutkan menghentikan pembahasan RAP BN 2012 bersama pemerintah. Bila DPR memang telah bekerja dengan benar, kenapa harus takut dengan KPK?

Berdasarkan proses penyusunan anggaran dan kemungkinan terjadinya penyelewengan, mafia anggaran dapat diperkecil ruang geraknya melalui pengawasan yang ketat pada saat penentuan kegiatan K/L. Sedangkan untuk memperkecil kolusi dengan DPR, sebaiknya kewenangan DPR diperkecil, karena kewenangan yang terlalu besar berpotensi membuka peluang korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar